Nathaniel Alvaro, pewaris muda salah satu perusahaan terbesar di negeri ini, hidup dalam bayang-bayang ekspektasi sang ibu yang keras: menikah sebelum usia 30, atau kehilangan posisinya. Saat tekanan datang dari segala arah, ia justru menemukan ketenangan di tempat yang tak terduga, seorang gadis pendiam yang bekerja di rumahnya, Clarissa.
Clarissa tampak sederhana, pemalu, dan penuh syukur. Diam-diam, Nathan membiayai kuliahnya, dan perlahan tumbuh perasaan yang tak bisa ia pungkiri. Tapi hidup Nathan tak pernah semudah itu. Ibunya memiliki rencana sendiri: menjodohkannya dengan Celestine Aurellia, anak dari sahabat lamanya sekaligus putri orang terkaya di Asia.
Celeste, seorang wanita muda yang berisik dan suka ikut campur tinggal bersama mereka. Kepribadiannya yang suka ikut campur membuat Nathan merasa muak... hingga Celeste justru menjadi alasan Clarissa dan Nathan bisa bersama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nitzz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
22. Perang yang Tak Terucap
Beberapa hari setelah pesta ulang tahun itu, suasana rumah Nathan kembali normal. Atau setidaknya, tampak normal di permukaan. Madeline sibuk dengan kegiatan sosialnya, Nathan kembali ke kantor dengan rutinitas padat, dan Clarissa kembali tidur di kamar pelayannya semenjak madeline pulang.
Clarissa mulai sering terlihat di rumah, membantu urusan-urusan kecil atau hanya sekadar duduk di ruang keluarga sambil membaca majalah mode. Pelayan lain sempat melirik sinis. Karena Clarissa berlaga seperti pemilik rumah.
Namun bagi Celeste, atmosfer rumah terasa berbeda. Ada hawa tak kasat mata yang membuatnya sedikit waspada, halus, tapi menusuk.
Clarissa semakin sering ‘berada di sekitarnya’, seperti bayangan yang tak bisa dihindari. Saat Celeste sedang membersihkan lukisan tua di lorong lantai atas, Clarissa tiba-tiba muncul dan berdiri di ambang pintu.
“Kamu rajin, ya. Padahal bukan tugas kamu,” katanya sambil tersenyum.
Celeste menoleh dan tersenyum sopan. “Aku hanya ingin membantu.”
Clarissa menatapnya beberapa detik sebelum ikut duduk di kursi dekat jendela. “Kamu tahu, aku bersyukur ada kamu di rumah ini. Kamu pintar, sopan, dan bisa diandalkan.”
“Terima kasih,” jawab Celeste hati-hati.
“Tapi… kadang, terlalu banyak membantu juga bisa jadi masalah, ya. Apalagi kalau sampai masuk ke urusan orang lain tanpa diminta.”
Celeste terdiam. Kalimat itu tidak terdengar seperti teguran, tapi juga bukan pujian. Ia menatap Clarissa, berusaha membaca maksud sebenarnya.
“Aku hanya melakukan apa yang menurutku benar,” jawab Celeste pelan.
Clarissa tersenyum lagi, tapi kali ini senyum itu terasa tajam. “Tentu saja. Tapi kan nggak semua orang suka dicampuri, apalagi kalau urusan hati.”
Celeste menunduk pelan. Tidak ingin memperpanjang percakapan, ia berdiri dan pamit meninggalkan ruangan dengan sopan. Tapi di dalam dadanya, ada sesuatu yang mengganjal. Clarissa tahu. Dan Clarissa sedang bermain.
*
Hari-hari berikutnya, hal-hal kecil mulai terasa aneh bagi Celeste.
Salah satu bukunya hilang dari kamar. Sendal favoritnya ditemukan basah kuyup di teras, meski ia yakin meletakkannya di dekat tempat tidur malam sebelumnya. Bahkan teh favoritnya, yang biasa ia simpan sendiri.. entah kenapa rasanya jadi berbeda.
Bukan kejadian besar. Tapi cukup membuatnya bertanya-tanya.
Lalu, suatu sore, Celeste berjalan ke dapur untuk membuat teh. Di sana, ia mendapati Clarissa sedang duduk santai sambil memotong buah.
“Oh, kamu mau teh? Aku tadi udah bikinin. Di meja.”
“Terima kasih,” katanya pelan, lalu duduk dan meminum teh itu perlahan.
Tapi baru seteguk, perutnya terasa aneh. Bukan sakit, tapi mual dan tak nyaman. Celeste menyembunyikan ekspresinya, lalu perlahan meletakkan gelas itu kembali ke meja.
“Kamu nggak suka?” tanya Clarissa dengan nada manis.
Celeste tersenyum tipis. “Kayaknya aku sedang nggak enak badan. Mungkin nanti saja.”
“Oh… sayang banget. Padahal aku pakai resep dari YouTube, katanya bisa bikin tenang,” katanya sambil tertawa kecil.
Celeste hanya mengangguk dan bangkit berdiri. Ia bisa merasakan tatapan Clarissa mengikuti langkahnya keluar dari dapur. Dan di detik itu, ia tahu: ini bukan lagi soal Nathan saja.
Clarissa sedang mencoba mengusirnya. perlahan, halus, tapi pasti.
*
Sementara itu, Nathan mulai menyadari bahwa Celeste semakin sering menghindar. Bukan secara terang-terangan, tapi setiap kali ia masuk ke ruangan, Celeste entah sedang keluar, berpaling, atau mengalihkan perhatian ke hal lain.
“Celeste,” panggil Nathan suatu pagi saat ia sedang menyiram tanaman di taman belakang.
Celeste menoleh, kaget. “Iya?”
“Kamu sibuk banget, ya, akhir-akhir ini?”
Celeste tersenyum. “Lumayan. Banyak hal kecil yang perlu dibereskan.”
Nathan mengangguk pelan, lalu mendekat. “Kamu tahu… kamu bisa santai juga. Kamu bukan pembantu di sini.”
“Aku tahu,” jawab Celeste lembut.
Nathan memperhatikan wajahnya. “Tapi kamu kayaknya... beda. Kayak sedang menjauh.”
Celeste menunduk. “Aku cuma nggak mau ganggu.”
“Ganggu siapa?” tanya Nathan tajam.
Celeste tidak menjawab. Ia hanya tersenyum lalu berpaling. Tapi dalam hatinya, pertahanan yang selama ini ia bangun mulai retak. Ia tahu Nathan peduli. Tapi itu tidak cukup untuk membuatnya tetap tinggal.
*
Malam harinya, saat Nathan dan Clarissa duduk di ruang keluarga, Clarissa mulai membuka topik baru.
“Kamu nyaman ya, Nathan, kalau Celeste terus ada di rumah ini?”
Nathan mengernyit. “Maksud kamu?”
“Bukan apa-apa. Cuma… dia kelihatan terlalu terlibat. Terlalu dekat. Aku kadang merasa nggak bebas.”
Nathan menatap Clarissa dengan bingung. “Celeste bukan orang luar. Dia anak dari sahabat Mama. Dan selama ini dia justru bantu banget.”
Clarissa tersenyum manis. “Iya sih. Tapi kamu tahu kan, bantuannya itu… kadang terlalu berlebihan. Aku aja jadi segan sendiri. Kadang aku mikir, jangan-jangan dia lebih suka kamu daripada yang kita kira.”
Nathan terdiam.
Kata-kata itu mengendap di benaknya. Tapi bukan karena ia mempercayainya, melainkan karena hatinya menolak membantah.
Clarissa meraih tangan Nathan. “Aku cuma nggak mau ada orang ketiga dalam hubungan kita. Aku serius sama kamu, Nath. Tapi kalau kamu juga serius, ya… tolong jaga jarak sama Celeste.”
Nathan menarik napas panjang. Ia tidak menjawab langsung. Tapi di dadanya, ada gejolak yang tak bisa ia kendalikan. Ia tahu, hari-hari ke depan tidak akan semudah sebelumnya.
Dan di lantai atas, Celeste berdiri diam di balik pintu, mendengar semuanya.
Untuk pertama kalinya, ia merasa bukan hanya menjalani misi. Tapi berada dalam pusaran permainan yang tidak pernah ia pilih.