Gendhis harus merelakan pernikahan mereka berakhir karena menganggap Raka tidak pernah mencintainya. Wanita itu menggugat cerai Raka diam-diam dan pergi begitu saja. Raka yang ditinggalkan oleh Gendhis baru menyadari perasaannya ketika istrinya itu pergi. Dengan berbagai cara dia berusaha agar tidak ada perceraian.
"Cinta kita belum usai, Gendhis. Aku akan mencarimu, ke ujung dunia sekali pun," gumam Raka.
Akankah mereka bersatu kembali?
NB : Baca dengan lompat bab dan memberikan rating di bawah 5 saya block ya. Jangan baca karya saya kalau cuma mau rating kecil. Tulis novel sendiri!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss Yune, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11
POV Raka
.
.
Dua bulan berlalu sejak Gendhis pergi. Kehidupan tanpanya seperti berjalan di dalam bayangan. Rumah ini, yang dulu terasa hangat dengan kehadirannya, kini hanya dipenuhi kekosongan. Setiap sudutnya mengingatkanku pada dia—senyum hangatnya, tawa ringannya, bahkan amarah kecilnya yang dulu kusangka tidak berarti apa-apa.
Namun, pagi ini terasa berbeda. Aku terbangun dengan rasa mual yang menusuk. Kepalaku terasa berat, dan perutku seolah bergolak. Aku mencoba mengabaikannya, mengira mungkin hanya karena telat makan atau kurang tidur.
“Raka, kamu baik-baik saja?” tanya Bu Yeni, ibuku, yang tiba-tiba muncul di depan pintu kamar.
Ibuku tidak tega padaku, walau dia marah dan mengatakan tidak menerimaku untuk menginjakkan kaki di rumah ibu, dia tidak tega pada anak satu-satunya ini. Aku merasa bersalah karena telah membuat menantu kesayangannya bersedih.
Aku mengangguk pelan, meski tubuhku terasa lemas. “Nggak apa-apa, Bu. Cuma pusing sedikit.”
Ibuku menatapku curiga. “Mukamu pucat sekali. Kamu sudah makan?”
Aku hanya menggeleng. Tidak ada nafsu makan sama sekali. Bahkan aroma makanan dari dapur membuatku semakin mual. Bukan hanya itu saja, aku juga sedih karena setiap melihat dapur. Selalu saja teringat akan sosok Gendis yang sangat aku rindukan.
Hari itu, rasa mual dan lelah terus menghantui. Aku mencoba bekerja seperti biasa, tetapi tubuhku tidak mau diajak kompromi. Beberapa kali aku harus berhenti untuk duduk karena merasa pusing.
“Raka, kamu ini kenapa sih?” suara ibuku yang khawatir menyadarkanku. Dia sudah lama duduk di ruang tamu, memperhatikan gerak-gerikku yang tidak seperti biasa.
“Aku nggak tahu, Bu,” jawabku jujur. “Mungkin cuma masuk angin.”
Namun, ibuku tidak mudah percaya. “Masuk angin apa muntah-muntah terus begini? Mukamu pucat, badanmu lemas. Aku nggak mau ambil risiko. Aku panggil dokter saja.”
Aku mencoba membantah, tetapi ibuku tetap bersikeras. Tidak butuh waktu lama sampai seorang dokter datang ke rumah.
"Ibu akan memanggilkan dokter. Kamu harus terus sehat untuk menemukan menantu Ibu."
Dokter memeriksaku dengan teliti, mulai dari tekanan darah hingga suhu tubuh. Aku duduk di sofa dengan lemas, sementara ibuku berdiri di samping, menunggu dengan cemas.
“Bagaimana, Dok?” tanya ibuku, nyaris tidak sabar.
Dokter melepas stetoskopnya dan tersenyum tipis. “Tidak ada yang salah secara fisik. Semua tanda-tanda vitalnya normal.”
Aku mengernyit. “Kalau begitu, kenapa saya merasa seperti ini, Dok? Saya mual, pusing, bahkan kadang muntah.”
Aku berpikir mungkin kondisiku ini terjadi karena aku terlalu banyak pikiran. Akan tetapi, tidak ada sama sekali makanan yang cocok di lidahku.
Dokter menatapku dengan pandangan penuh pertimbangan. “Kadang, gejala seperti ini bukan disebabkan oleh masalah fisik, tapi lebih kepada kondisi psikologis atau emosional. Apakah Anda sedang mengalami tekanan atau beban pikiran yang berat?”
Pertanyaan itu membuatku terdiam. Apa ini karena Gendhis? Tapi, bagaimana mungkin? Keberadaannya begitu menguncang jiwaku.
“Iya, mungkin dia memang sedang banyak pikiran,” jawab ibuku sebelum aku sempat mengatakan apa-apa.
Dokter mengangguk. “Kalau boleh saya menebak, ini mirip dengan kondisi yang disebut sindrom couvade.”
“Sindrom apa?” tanya ibuku bingung.
“Sindrom couvade,” jelas dokter. “Ini kondisi di mana seorang pria mengalami gejala yang mirip dengan kehamilan pasangannya. Biasanya, ini terjadi karena adanya keterikatan emosional yang kuat atau stres yang berhubungan dengan kehamilan.”
Aku membeku. “Tunggu, Dok... itu artinya...?”
Dokter tersenyum lembut. “Bisa jadi pasangan Anda sedang hamil. Apakah istri Anda menunjukkan tanda-tanda kehamilan?”
Dokter tentu tidak tahu kalau istriku tidak ada di rumah ini. Akan tetapi, aku terkejut sekaligus sedang mengetahui kemungkinan yang terjadi.
Ibuku menatapku dengan penuh harapan. “Raka, jawab, Nak. Apa Gendhis hamil?”
Aku menggeleng pelan. “Aku... aku nggak tahu, Bu.”
Sepeninggal dokter, suasana rumah terasa hening. Aku duduk di sofa, mencoba mencerna semua yang baru saja kudengar. Jika benar Gendhis hamil, itu berarti aku akan menjadi seorang ayah. Tapi, kenapa dia pergi tanpa memberitahuku?
Ibuku, yang sejak tadi diam, tiba-tiba berbicara dengan suara gemetar. “Raka, kalau benar Gendhis hamil, kenapa dia harus pergi? Mengapa kamu berbuat sesuatu yang membuat dia terluka hingga dia harus pergi?"
Kata-kata itu menusukku seperti belati. Aku tahu aku telah menyakiti Gendhis, tapi aku tidak pernah menyangka semuanya akan berakhir seperti ini.
“Aku nggak tahu, Bu,” jawabku akhirnya. “Aku nggak tahu apa yang terjadi. Tapi aku harus menemukannya. Aku harus tahu yang sebenarnya. Tidak mungkin dia menginginkan perpisahan bila dia sedang dalam kondisi hamil."
Ibuku mengangguk. “Cari dia, Raka. Jangan biarkan menantu kesayanganku menderita sendirian. Kalau dia memang sedang hamil, dia butuh kamu di sisinya.”
***
Malam itu, aku memutuskan untuk mengambil langkah lebih serius. Aku menghubungi salah satu orang detektif swasta untuk mencari tahu keberadaan Gendhis. Dua bulan ini, aku hanya mengandalkan insting dan informasi dari teman-teman dekat, tapi semuanya nihil.
Kali ini, aku tidak akan menyerah.
Beberapa hari kemudian, aku menerima kabar yang mengejutkan. Salah satu orang suruhanku berhasil melacak keberadaan Gendhis di sebuah kota kecil yang berjarak beberapa jam dari sini.
Dia bekerja di sebuah kafe milik temannya. Mendengar itu, hatiku terasa campur aduk. Senang karena akhirnya aku menemukan petunjuk, tapi juga sedih membayangkan dia harus menjalani semuanya sendirian.
Tanpa berpikir panjang, aku memutuskan untuk pergi ke sana. Mengurus izin selama seminggu untuk mencari keberadaan istriku. Aku harap informasi tersebut benar.
Setibanya di kota itu, aku langsung menuju alamat yang diberikan oleh orang suruhanku. Kafe itu tampak sederhana, dengan papan nama yang terbuat dari kayu. Aku duduk di dalam mobil, memperhatikan orang-orang yang keluar masuk, berharap bisa melihat sosok yang kurindukan.
Namun, setelah beberapa jam menunggu, Gendhis tidak juga muncul. Aku mulai kehilangan kesabaran. Aku keluar dari mobil kemudian menanyakan pada seseorang yang bisa aku mintai tolong.
“Tolong tanyakan apakah Gendhis bekerja di sini,” perintahku kepada salah satu orangku.
Beberapa menit kemudian, dia kembali dengan jawaban yang membuatku lega sekaligus frustrasi.
“Benar, Pak. Ibu Gendhis bekerja di sini. Tapi, sekarang dia sedang libur.”
Aku menghela napas. “Baiklah. Cari tahu di mana dia tinggal.”
Setelah mendapatkan informasi, aku menuju ke kontrakannya. Tapi, lagi-lagi aku tidak menemukan dia di sana. Tetangga kontrakannya mengatakan bahwa dia sering berjalan kaki ke pasar atau toko terdekat untuk membeli kebutuhan sehari-hari. Aku memutuskan untuk menunggu di dekat jalan menuju kontrakannya.
Matahari mulai terbenam ketika aku akhirnya melihatnya. Gendhis berjalan perlahan dengan menenteng kantong plastik berisi susu dan beberapa barang lainnya. Dia tampak lelah, tapi wajahnya tetap memancarkan kehangatan yang selalu membuatku jatuh cinta.
Hatiku berdebar kencang. Aku ingin memanggil namanya, tapi suaraku seolah tertahan di tenggorokan. Aku hanya bisa berdiri di sana, memperhatikannya mendekat.
Ketika dia semakin dekat, aku tahu saatnya telah tiba.
“Gendhis...”
Dia berhenti, terkejut mendengar suaraku. Matanya membelalak, dan kantong plastik di tangannya hampir terlepas.
“Raka?” bisiknya, suaranya bergetar.
Wanita itu lebih gemuk dari bisanya, tampak dia ingin lari dari hadapanku. Aku segera meraih tangannya dan memeluknya. "Aku merindukanmu, cintaku. Tolong jangan lari dariku," ucapku sambil mendekapnya erat.
***
Bersambung...
Terima kasih telah membaca...
Aku akan mengadakan give away untuk lima orang dengan memberikan saldo dana, ya. Akan aku lihat dari akun yang memberikan dukungan teratas. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan komentar, like, dukungan berupa vote atau poin ya. Pengumuman akan aku berikan diakhir bulan Januari. Terima kasih, Kakak Pembaca ❣️
Ambisinya bikin otaknya jd gk waras.. mending jd ja* lang aja sekalian..
sekarang bisa bilang begitu ga mau menikah, belum ketemu aja kamu sama pawang yg klop, bakal lebih bucin nanti.