Dewasa🌶🌶🌶
"Apa? Pacaran sama Om? Nggak mau, ah! Aku sukanya sama anak Om, bukan bapaknya!"
—Violet Diyanara Shantika—
"Kalau kamu pacaran sama saya, kamu bakalan bisa dapetin anak saya juga, plus semua harta yang saya miliki,"
—William Alexander Grayson—
*
*
Niat hati kasih air jampi-jampi biar anaknya kepelet, eh malah bapaknya yang mepet!
Begitulah nasib Violet, mahasiswi yang jatuh cinta diam-diam pada Evander William Grayson, sang kakak tingkat ganteng nan populer. Setelah bertahun-tahun cintanya tak berbalas, Violet memutuskan mengambil jalan pintas, yaitu dengan membeli air jampi-jampi dari internet!
Sialnya, bukan Evan yang meminum air itu, melainkan malah bapaknya, William, si duda hot yang kaya raya!
Kini William tak hanya tergila-gila pada Violet, tapi juga ngotot menjadikannya pacar!
Violet pun dihadapkan dengan dua pilihan: Tetap berusaha mengejar cinta Evan, atau menyerah pada pesona sang duda hot?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HANA ADACHI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
23. Obat
Di dalam mobil yang melaju kencang, Violet terus menggeliat di kursi penumpang.
Tubuhnya tampak resah, keringat dingin membasahi pelipisnya.
"Om… tolong Om… panas…" rintihnya dengan suara bergetar, jemarinya meraba-raba kulit lehernya sendiri.
William mengatup rahangnya keras.
Ia berusaha tetap fokus menyetir, tapi sulit menahan kemarahan yang berkecamuk di dadanya.
"Sialan! Aku harus memberi pelajaran pada bajingan itu!" gumamnya dengan nada penuh dendam.
Pikirannya berkelindan cepat.
Ia tahu efek obat itu sangat kuat, dan Violet jelas tidak dalam kondisi sadar sepenuhnya.
Membawanya ke rumah sakit mungkin adalah pilihan paling logis, tetapi…
Violet akan dipermalukan ketika sadar nanti.
Tidak.
William harus menanganinya sendiri.
Namun, di sebelahnya—
Violet semakin gelisah.
Jemari gadis itu turun ke bahunya, lalu ke dadanya, seakan berusaha meredakan sensasi terbakar di tubuhnya.
William melirik sekilas, dan napasnya tercekat.
"Hei, jangan buka bajumu!" katanya cepat, langsung menangkap tangan Violet sebelum semakin jauh.
Tapi sudah terlambat.
Pakaiannya telah meluncur ke bangku belakang.
William menegang.
Sial!
Mata Violet kabur dan berkabut, tubuhnya sedikit gemetar.
"Aku… nggak tahan lagi, Om… panas banget…"
William mengeram dalam hati.
Ia menarik napas kasar, mencoba menekan gejolak yang menyerangnya dari berbagai arah.
Tanpa pikir panjang, ia mengulurkan tangan ke jok belakang, meraih jaketnya.
Lalu, dengan gerakan cepat, ia menyampirkan jaket itu ke tubuh Violet yang sudah setengah telanjang.
Gadis itu masih megerang dan menggeliat, tapi William tidak peduli.
Ia menginjak gas lebih dalam.
Kecepatan mobil bertambah.
Ia harus segera membawa gadis itu ke tempat yang aman sebelum sesuatu yang lebih buruk terjadi.
...----------------...
Begitu sampai di apartemen, ia segera turun dan menggendong Violet. Gadis itu merintih kecil, tangannya mencengkeram kerah kemeja William.
"Om... tolong aku..." bisiknya dengan suara yang terdengar putus asa.
"Sabar, kita hampir sampai," jawab William cepat.
Sampai di dalam, ia langsung membawa Violet ke kamar mandi. Dengan satu gerakan, ia menyalakan shower air dingin dan tanpa ragu, membiarkan air menyiram tubuh Violet.
"Ahhh!" Violet tersentak.
"Maaf, tapi ini satu-satunya cara," gumam William.
Ia mengguyurkan air ke wajah dan tubuh gadis itu, memastikan suhu tubuhnya turun. Tubuh Violet masih bergerak-gerak gelisah. Tampaknya siraman air dingin tidak serta merta membuatnya sembuh. Ia pun kini mulai melepas kain perlindungan terakhirnya.
"Sh—t!" William buru-buru memalingkan muka. Pemandangan yang ada di depannya sekarang membuatnya kesulitan menahan diri. Tapi ia sadar saat ini kondisi gadis itu sedang dalam pengaruh obat. William tidak mau menjadi pria pengecut yang memanfaatkan situasi seperti ini.
"Om, sentuh aku Om, aku ga tahan lagi Om," Violet sekarang malah sudah bangkit dari bathub dan mendekati William. William terbelalak saat gadis itu mulai memeluknya dengan erat.
"Hei, tunggu, Purple! Jangan ke sini! Please!" William mundur selangkah, napasnya memburu. Hasrat di dalam dirinya bergejolak liar, tapi ia menggertakkan gigi, berusaha mempertahankan kewarasannya.
Violet, yang masih terpengaruh obat, terus merintih sambil meraih tangan William.
Tak ingin mengambil risiko lebih jauh, William menghela napas tajam. Dengan satu gerakan cepat, ia mengangkat tubuh gadis itu dan menggendongnya ke bahu layaknya membawa karung.
"Maaf, Purple, ini demi kebaikanmu," gumamnya, lalu membawa gadis itu ke kasur.
"Om... Ah... Tolong, om..." Violet terus merintih, tubuhnya masih gelisah karena efek obat yang beredar dalam darahnya.
William menelan ludah. Gadis itu terus meronta dan menempel padanya, bahkan buah dadanya yang besar itu pun kini sudah menempel pada dada bidang William. Sekarang William bisa merasakan tubuhnya juga mulai panas. Tapi ia menggeleng cepat, berusaha meneguhkan hati.
"Enggak bisa begini, aku enggak boleh khilaf."
Dengan sigap, William menarik selimut tebal dan membungkus tubuh Violet dengan erat, memastikan gadis itu tidak bergerak liar.
"Maaf, Purple. Ini demi kebaikanmu," katanya.
Setelah memastikan Violet aman, William menghela napas panjang, lalu ia pun keluar dari kamar dan menutup pintu rapat-rapat. Sekarang, William terpaksa bermain solo untuk meredakan hasratnya yang naik gara-gara Violet.
...----------------...
Saat sinar matahari mulai menerobos celah tirai, Violet mengerjapkan mata. Kepalanya masih terasa berat, dan tubuhnya tak bisa digerakkan sama sekali. Dahi gadis itu mengernyit ketika kesadarannya perlahan kembali.
Begitu matanya terbuka sepenuhnya, ia langsung terbelalak.
Ini bukan kamarnya.
Dan kenapa tubuhnya dibungkus selimut seerat ini? Ia menggeliat, mencoba melepaskan diri, tapi semakin lama, ia menyadari ada yang janggal.
“Sebentar… di mana aku?” gumamnya, masih setengah sadar.
Pikiran Violet mulai menyusun potongan ingatan semalam. Ia ingat dirinya pulang dari festival dengan hati yang hancur gara-gara Evan. Setelah itu, ia pergi ke klub untuk minum-minum… lalu…
Gelap.
Ia tak ingat apa pun setelahnya.
Mata Violet beredar ke sekeliling ruangan, dan jantungnya langsung berdegup kencang saat mengenali di mana ia berada.
“Loh, ini kan kamarnya Om William? Kok aku bisa ada di sini?!”
Violet menggeliat lebih keras dan—
“AAAAAKKKKK!! KENAPA AKU TELANJANG?!”
Pintu kamar tiba-tiba terbuka dengan keras.
"Purple! Ada apa? Kamu baik-baik saja?”
Violet menoleh cepat. Begitu melihat William berdiri di ambang pintu, dengan refleks ia meraih bantal dan melemparkannya ke arah pria itu.
“AAAAAAKKKK! JANGAN MASUK, DASAR MESUM!”
William buru-buru mundur, mengangkat kedua tangannya tanda menyerah. “Maaf, maaf! Saya nggak bermaksud apa-apa!”
Violet masih panik. Nafasnya memburu saat ia berusaha menarik selimut lebih erat ke tubuhnya. “Om! Kok aku bisa ada di sini?! Terus...kenapa aku nggak pakai baju?! Apa yang udah Om lakuin ke aku semalam?! Om pasti udah ngapa-ngapain aku, kan?! Iya kan?!”
William menghela napas panjang, berusaha tetap sabar meski tuduhan itu membuatnya sebal.
“Nggak! Saya nggak ngapa-ngapain kamu! Sumpah!”
“Tapi kok aku bisa ada di sini dan...” Violet menatap dirinya sendiri, lalu ke arah William. “Terus bajuku mana?!”
“Kamu nggak ingat kejadian semalam?” tanya William.
Violet menggeleng cepat.
William menutup mata sejenak, sebelum mulai menjelaskan, “Semalam kamu yang lagi mabok nelepon saya. Begitu saya dateng ke klub buat jemput kamu, kamu udah dibawa ke hotel sama cowok brengsek yang ngasih kamu obat perangsang.”
“Hah?!” Violet terbelalak.
“Untung saya datang tepat waktu. Saya bawa kamu ke sini buat ngobatin kamu,” lanjut William.
"Ngobatin aku?" Violet mencoba mencerna ucapan William. Tatapannya kembali terarah ke tubuhnya yang sekarang tidak ada benang sehelai pun. "Jadi, Jangan-jangan Om sama aku udah—"
"Nggak! Saya nggak ngobatin seperti yang kamu pikirkan! Karena Kamu ngeluh kepanasan terus, jadi saya mandiin kamu pake air dingin!"
Violet menegang. “Mandiin aku?!”
William menggaruk tengkuknya, canggung. “Iya. Itu satu-satunya cara biar efek obatnya mereda.”
Violet makin panik. “Terus siapa yang nyopot bajuku?!”
“Ya kamu sendiri.”
Mata Violet membelalak. “Jadi… jadi… om udah liat semuanya?!”
William terdiam sejenak, lalu menghela napas dan mengangguk pelan. “Ya, gimana lagi? Kamu ada di depan saya dalam kondisi seperti itu, jadi…”
“AAAAAAAKKKK!!!”
Bantal kembali melayang ke wajah William.
“Dasar mesum!”
ngakak brutal ya allah
"mertuaku, mantan musuh bebuyutan ku..
atau
"mertuaku, besty SMA ku?
kalau sempat tau, habis kau om jadi dendeng balado..🤣🤣🤣