Prolog
Hujan deras mengguyur malam itu, membasahi jalanan berbatu yang dipenuhi genangan air. Siena terengah-engah, tangannya berlumuran darah saat ia berlari melewati gang-gang sempit, mencoba melarikan diri dari kematian yang telah menunggunya. Betrayal—pengkhianatan yang selama ini ia curigai akhirnya menjadi kenyataan. Ivana, seseorang yang ia anggap teman, telah menjebaknya. Dengan tubuh yang mulai melemah, Siena terjatuh di tengah hujan, napasnya tersengal saat tatapan dinginnya masih memancarkan tekad. Namun, sebelum kesadarannya benar-benar menghilang, satu hal yang ia tahu pasti—ia tidak akan mati begitu saja.
Di tempat lain, Eleanor Roosevelt menatap kosong ke luar jendela. Tubuhnya kurus, wajahnya pucat tanpa kehidupan, seolah dunia telah menghabisinya tanpa ampun. Sebagai istri dari Duke Cedric, ia seharusnya hidup dalam kemewahan, namun yang ia dapatkan hanyalah kesepian dan penderitaan. Kabar bahwa suaminya membawa wanita lain pulang menghantamnya seperti belati di dada
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon d06, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 27 canggung
Pagi itu, kamar terasa kosong.
Cedric terbangun sendirian. Matanya masih terasa berat, dan tubuhnya sedikit lemas, tetapi demamnya sudah jauh berkurang. Ia melirik sekeliling, mencari sosok Eleanor, tetapi perempuan itu tidak ada. Sesaat, Cedric merasa aneh. Dia pergi tanpa membangunkanku?
Mengingat bagaimana semalam Eleanor merawatnya, perasaan malu muncul di dadanya. Dia melihatku dalam keadaan lemah, bahkan mengetahui aku mabuk laut. Cedric mengepalkan tangannya, kesal pada dirinya sendiri. Aku seharusnya tidak terlihat seperti ini di hadapan seorang wanita.
Mengembuskan napas berat, Cedric akhirnya keluar dari kamar. Di dek kapal, ia melihat teman-temannya sedang sarapan bersama di meja panjang. Eleanor masih belum terlihat.
“Pagi, Cedric,” sapa Reynard tanpa mengangkat kepalanya dari piring.
Cedric hanya mengangguk dan mengambil tempat duduk. Di hadapannya ada sup ikan dan roti, tetapi selera makannya masih belum kembali.
“Tidak makan?” tanya Alistair dengan nada santai.
Cedric terdiam sesaat. Dalam kepalanya, ia mengingat makanan yang Eleanor buat semalam. Hangat, kaya rempah, dan membuat tubuhnya lebih baik. Tanpa berpikir panjang, Cedric menoleh ke salah satu pelayan.
“Panggil kepala koki.”
Semua yang duduk di meja itu saling bertukar pandang. Sejak kapan Cedric memanggil kepala koki hanya untuk makanan?
Tak butuh waktu lama, kepala koki datang dengan wajah bingung.
“Tuan Cedric, ada yang bisa saya bantu?”
Cedric menatapnya dengan ekspresi datar. “Buatkan sesuatu yang berkuah dan berdaging.”
Kepala koki tampak ragu. “Apakah ada permintaan khusus, Tuan?”
Cedric hampir mengatakan sesuatu tetapi terhenti. Apa aku benar-benar ingin memakan makanan yang Eleanor buat semalam?
Reynard yang memperhatikan gelagatnya mengangkat alis. “Tumben sekali kau pemilih soal makanan.”
Alistair ikut menimpali. “Benar. Biasanya kau tidak peduli selama itu bisa dimakan.”
Cedric hanya mendengus pelan. Ia tidak ingin menjawab pertanyaan itu, tetapi pikirannya kembali ke satu hal.
Di mana Eleanor?
Cedric tidak ingin menunjukkan bahwa ia sedang mencari seseorang, tetapi matanya tetap sesekali melirik ke sekeliling.
Di mana Eleanor? Sejak tadi, ia tidak melihat perempuan itu di mana pun.
“Eleanor ke mana?” akhirnya Cedric bertanya, mencoba terdengar tidak terlalu peduli.
Luthair, yang sejak tadi diam, menyesap tehnya sebelum menjawab, “Pagi-pagi sekali dia sudah pergi ke dek atas. Mungkin sedang menghirup udara segar.”
Cedric mengangguk kecil, tetapi pikirannya masih terpaku pada perempuan itu.
Kenapa aku penasaran?
Tak ingin berlarut-larut dalam pikirannya sendiri, Cedric akhirnya menyendok sup yang dihidangkan oleh kepala koki. Tetapi, begitu suapan pertama masuk ke mulutnya, ekspresinya langsung berubah.
Rasanya berbeda.
Jauh dari apa yang Eleanor buat semalam.
Mungkin sup ini lebih kaya rasa dan teknik memasaknya lebih sempurna, tetapi tetap saja… tidak sama.
“Ada yang salah?” tanya Reynard yang menyadari perubahan ekspresi Cedric.
Cedric meletakkan sendoknya dan menghela napas pendek. “Tidak, hanya…” Ia terdiam sejenak, memilih kata-kata yang tepat. “Sudah lama tidak makan sesuatu yang dibuat dengan tangan seseorang, bukan sekadar makanan yang dimasak untuk memenuhi kebutuhan.”
Kali ini, bukan hanya Reynard dan Alistair, tetapi juga Brian dan Luthair yang menatap Cedric dengan heran.
“Apa kau baru saja memuji masakan seseorang?” Alistair terkekeh pelan. “Siapa orang beruntung itu?”
Cedric hanya mendengus kecil, tidak menjawab. Tetapi dari ekspresinya, teman-temannya seolah sudah bisa menebak jawabannya.
Tanpa menunggu lebih lama, Cedric bangkit dari tempat duduknya.
“Aku akan ke atas,” katanya singkat, lalu meninggalkan meja makan.
Reynard memiringkan kepalanya. “Sepertinya aku tahu siapa yang dia cari.”
Luthair hanya tersenyum tipis, sementara Brian menahan tawa.
Alistair menghela napas sambil melipat tangannya di dada. “Aku penasaran, kapan dia akan sadar.”
...🌷🌷🌷...
Cedric menaiki tangga menuju dek atas, mencari sosok Eleanor. Langkahnya terhenti saat melihat perempuan itu berdiri di tengah beberapa awak kapal, sibuk menjelaskan sesuatu.
Eleanor tampak serius, tangannya cekatan saat menunjukkan cara mengikat simpul pada seutas tali. Gerakannya terampil, suaranya jelas dan tegas. Para awak kapal yang mengelilinginya memperhatikan dengan seksama, beberapa dari mereka mencoba Eleanor berdiri di tengah beberapa awak kapal, menjelaskan dengan telaten cara mengikat tali agar tidak mudah lepas. Jemarinya bergerak lincah, menunjukkan simpul demi simpul, sementara para awak kapal memperhatikannya dengan penuh minat.
“Kalian harus memastikan ujung tali ini melewati sini sebelum menariknya,” ujarnya, memperagakan dengan hati-hati. Seorang awak kapal mencoba mengikuti instruksinya, namun simpulnya masih kurang kencang. Eleanor tersenyum, mengambil tali itu, lalu memperbaikinya.
“Kau punya tangan yang terampil, Nona Eleanor,” salah satu awak kapal berkomentar. Yang lain ikut mengangguk setuju, mengakui bahwa keterampilannya cukup mengesankan.
Namun, ketika Cedric muncul di antara mereka, suasana langsung berubah. Para awak kapal yang tadi santai dan penuh semangat kini menjadi lebih kaku. Mereka menundukkan kepala sedikit, lalu berpura-pura sibuk dengan tugas masing-masing. Eleanor menoleh, melihat Cedric berjalan mendekat dengan ekspresi yang sulit ditebak.
Tanpa berpikir panjang, Eleanor mengulurkan tangannya, menyentuh pipi Cedric. Ia sedikit terkejut dengan dirinya sendiri, tapi tangannya tetap di sana, merasakan suhu tubuhnya. “Panasmu sudah turun,” gumamnya, seolah berbicara pada dirinya sendiri.
Cedric tidak langsung merespons, hanya menatap Eleanor dengan tatapan tajam yang sulit diartikan. Eleanor baru menyadari apa yang ia lakukan—bersikap terlalu akrab, terlalu peduli. Ia menarik tangannya perlahan, mencoba mengabaikan rasa canggung yang tiba-tiba muncul.
“Kau sebaiknya tetap banyak istirahat,” lanjutnya, kali ini suaranya lebih pelan.
Cedric mengangkat alis, sudut bibirnya sedikit tertarik, tetapi ia tidak berkata apa-apa. Ia hanya memperhatikan Eleanor, seolah mencoba memahami apa yang sebenarnya berubah dari dirinya.
Eleanor merasa canggung setelah menyadari tindakannya barusan. Ia menarik tangannya perlahan dari wajah Cedric, lalu mengalihkan pandangannya ke arah para awak kapal yang masih tampak waspada dengan kehadiran sang bangsawan.
Namun, sebelum suasana semakin aneh, seorang pelayan datang menghampiri Cedric dengan ekspresi cemas.
"Yang Mulia, ada masalah dengan perbekalan kita," ucapnya dengan suara pelan namun tegas.
Cedric menoleh, alisnya langsung berkerut. "Masalah apa?"
Pelayan itu menunduk sedikit, tampak ragu sebelum akhirnya berbicara. "Perbekalan kita hampir habis."
Keheningan singkat menyelimuti mereka. Eleanor mengangkat kepalanya, sementara para awak kapal saling pandang dengan ekspresi bingung.
Cedric semakin mengernyit. "Bagaimana bisa? Kita baru berlayar dua hari, dan aku sudah memastikan ada tambahan perbekalan sebelum berangkat."
Pelayan itu menelan ludah sebelum menjawab. "Saat badai melanda, beberapa peti perbekalan terlepas dari tempatnya dan jatuh ke laut. Tidak ada tali penyangga, dan keadaan terlalu berbahaya untuk mengambilnya kembali."
Wajah Cedric semakin mengeras, rahangnya mengatup kuat. Ia tidak menyangka masalah ini bisa terjadi secepat ini.
Para awak kapal mulai gelisah, saling berbisik satu sama lain. Eleanor mengamati situasi dengan tenang, meski dalam hatinya ia menyadari betapa genting keadaan ini.
Cedric menghela napas panjang, menenangkan pikirannya. "Kita akan membahas ini lebih lanjut. Pastikan perbekalan yang tersisa dikelola dengan baik."
Pelayan itu mengangguk dan segera pergi, sementara Cedric tampak berpikir keras. Eleanor memandangnya sejenak, lalu berkata dengan suara datar, "Sepertinya kita harus mencari solusi sebelum keadaan menjadi lebih buruk."
Cedric menoleh padanya, menatapnya beberapa saat sebelum akhirnya mengangguk. "Ya, dan kita harus segera menemukannya."
suka banget sama alurnya, pelan tapi ada aja kejutan di tiap bab...
lanjut up lagi thor