Diaz, CEO yang menjual bunga dan coklat setiap hari Sabtu. Dia mencari wanita yang cocok dengan sepatu kaca biru milik ibunya. Apa sebenarnya tujuan mencari wanita itu? Memangnya tidak ada wanita lain? Bukankah bagi seorang CEO sangat mudah mencari wanita mana pun yang diinginkan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon El Nurcahyani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menguji Eriva adalah Leri
Bab 12
Leri resmi menjadi anak angkat Tuan Asher hari ini. Setelah pertemuan bisnis pagi tadi, mereka kembali ke kantor Asher Corp dengan satu mobil. Sepanjang perjalanan, Tuan Asher mulai membuka pembicaraan dengan Leri, mencoba memberinya gambaran tentang dunia yang akan ia masuki.
“Lili, mulai sekarang, kau harus belajar memahami lika-liku dunia bisnis. Di sini, tak hanya kemampuan akademis yang dibutuhkan, tapi juga strategi, keberanian mengambil risiko, dan insting,” ujar Tuan Asher dengan nada lembut namun tegas.
Leri mendengarkan dengan saksama. Sebagai mahasiswa berprestasi yang menerima beasiswa sampai jenjang sarjana dari Tuan Asher, ia merasa tak asing dengan ilmu baru. Namun, ia tahu bahwa pengalaman di dunia nyata berbeda dari teori yang ia pelajari di kampus.
Tuan Asher menambahkan, “Aku dan mamimu sudah sepakat menjadikanmu anak kami karena kami melihat potensimu yang besar. Kau akan jadi bagian penting dari Asher Corp, dan aku yakin kau bisa membawa perubahan besar.”
Leri tertegun. Ia belum sepenuhnya terbiasa dengan kedekatan seperti ini, apalagi saat Tuan Asher meminta dirinya mulai memanggilnya dengan sebutan "Papi."
“Panggil aku Papi, ya. Mulai sekarang, kau bukan hanya tanggung jawab Asher Corp, tapi juga keluarga kami.”
“Ba-baik... Papi,” jawab Leri dengan ragu, namun ia mencoba membiasakan diri. Meskipun beberapa kali ia tanpa sadar tetap menyebut Tuan Asher dengan sebutan"Tuan," ia melihat senyum hangat Tuan Asher yang memintanya untuk terus mencoba.
###
Di Kantor Mahendra Corp
Sementara itu, di kantor Mahendra Corp, Diaz sedang berbincang dengan sahabat dekat sekaligus asistennya, Samir. Di sela-sela obrolan, Diaz mengungkapkan sebuah keyakinan yang terus mengganggunya sejak pertemuan dengan Eriva.
“Samir, aku punya firasat kuat kalau Eriva sebenarnya adalah Leri,” kata Diaz, melipat tangan di dadanya sambil bersandar di kursi kerjanya.
Samir mengangkat alis. “Leri lagi? Bisa kah persentase pikiranmu pada Leri hanya sedikit? Utamakan urusan kantor. Lagi pula, Leri kecil dan sekarang pasti sangat berbeda. Sulit untuk mengenali hanya dari gerak-gerak dia saat kecil. Seseorang bisa berubah, Diaz...!"
“Aku tahu, tapi aku tidak bisa mengabaikan perasaan ini. Ada sesuatu yang familiar tentangnya,” jawab Diaz mantap.
Samir terdiam sejenak, lalu menyeringai kecil. “Oke, kalau kau yakin, kenapa tidak kau uji saja dia? Misalnya dengan sepatu kaca biru peninggalan nenek buyutmu itu.”
Diaz mengernyit, terlihat berpikir. “Aku memang mempertimbangkannya. Sepatu kaca itu sudah lama menjadi simbol keluarga kami. Katanya, siapa pun wanita yang cocok mengenakan sepatu itu adalah jodoh yang ditakdirkan untuk keturunan Mahendra.”
Samir tertawa kecil. “Haha, tapi heran, kau percaya dengan hal seperti itu? Bagaimana jika ukuran kakinya tidak sesuai? Bukankah setiap orang memiliki ukuran kaki yang berbeda? Dan kalau misal ukurannya sesuai, bagaimana jika wanita itu orang yang sangat menjijikkan?"
Diaz tersenyum tipis. “Entahlah. Sepatu itu punya makna spesial di keluargaku. Mungkin bukan hanya soal ukuran, tapi lebih kepada... takdir.”
Samir mengangguk, lalu memberikan ide. “Kalau begitu, coba pancing Nona Eriva untuk mencoba sepatu itu. Tapi jangan sampai dia merasa seperti sedang diuji. Buat kesannya lebih natural, bukan seperti sayembara.”
Diaz mengangguk pelan. “Ide yang bagus. Aku akan mencobanya. Jika dia benar Leri, aku harus tahu alasan dia menyembunyikan identitasnya.”
Samir tersenyum lebar, menepuk pundak Diaz. “Semoga berhasil, Tuan Diaz. Semoga kali ini hatimu tidak salah menebak.” Samir meledek sahabatnya dengan sebutan 'Tuan.'
Di ruangan itu, Diaz memandang keluar jendela, memikirkan rencana untuk mendekati Eriva tanpa membuatnya merasa terpojok. Sementara itu, jauh di lubuk hatinya, ia berharap Leri benar-benar kembali, meskipun dengan identitas baru.
Setelah selesai berdiskusi dengan Samir, Diaz kembali sibuk dengan pekerjaannya. Namun, selang beberapa saat, pintu ruangannya diketuk pelan. Sebelum Diaz sempat menjawab, Monic masuk dengan senyum cerah.
“Diaz, aku ada ide! Bagaimana kalau kita makan siang bersama? Ada restoran baru di dekat sini, nyaman banget untuk ngobrol,” ujar Monic penuh semangat.
Diaz mengangkat wajahnya dari dokumen yang sedang ia baca. “Monic, aku sedang sibuk. Makan siangnya lain kali saja.”
Monic tidak menyerah begitu saja. Ia mendekat dan duduk di kursi depan meja Diaz, melemparkan tatapan memelas. “Kau selalu sibuk, Diaz. Apa aku terlalu mengganggumu? Kita kan dulu sering menghabiskan waktu bersama. Ingat masa-masa kita di kampus dulu? Kita sangat dekat. Kenapa sekarang seperti ada jarak?”
Diaz menghela napas panjang. “Monic, aku tidak punya waktu untuk nostalgia. Dan kalau kau masih membahas soal buruknya Leri... aku tidak suka.”
Monic terdiam sejenak, lalu menunduk. Namun, ia segera tersenyum kecil, mencoba mencairkan suasana. “Baiklah, aku janji tidak akan membahas soal Leri lagi. Lagipula, aku ingin membantu kau, Diaz. Aku juga ingin tahu keberadaan Leri, kalau memang dia masih hidup.”
Diaz menatap Monic skeptis. “Kau yakin akan membantu? Kau bukan tipe orang yang mudah mempercayai hal-hal seperti ini.”
“Diaz, aku serius. Kalau kau ingin berjualan bunga atau apa pun demi mencari jejak Leri, aku akan mendukungmu,” ucap Monic, nadanya penuh tekad.
Meskipun Diaz masih ragu dengan kesungguhan Monic, ia menyadari bahwa menjaga hubungan baik dengannya bisa membawa manfaat.
Diaz berpikir, mungkin Monic bisa menjadi bagian kecil dari rencananya untuk mendekati Eriva. Lagipula, memiliki Monic di sekitarnya akan memberikan "warna" tidak monoton dalam hidupnya yang selama ini hanya fokus pada pembuktian tentang Eriva dan masa lalu.
Diaz mengangguk akhirnya. “Baik, Monic. Ayo kita makan siang. Tapi aku tidak ingin pembicaraan kita mengarah ke hal-hal yang tidak perlu.”
Monic tersenyum lebar. “Siap, Diaz! Aku janji kita hanya akan bicara yang santai-santai saja.”
###
Restoran yang Nyaman
Monic membawa Diaz ke sebuah restoran kecil bergaya klasik dengan suasana yang hangat. Lampu gantung bergaya vintage dan alunan musik instrumental menciptakan suasana yang cocok untuk mengobrol santai. Mereka duduk di meja dekat jendela dengan pemandangan taman kecil di luar.
“Kau suka tempat ini?” tanya Monic sambil membuka menu.
Diaz mengangguk, meskipun tatapannya masih dingin. “Cukup nyaman.”
Monic tertawa kecil. “Masih sama seperti dulu, kau selalu sulit menunjukkan perasaanmu.”
Mereka memesan makanan, dan Monic memulai pembicaraan ringan tentang pekerjaannya dan rencana bisnis kecilnya. Diaz hanya mendengarkan sesekali sambil memberi tanggapan singkat.
Namun, di tengah pembicaraan, Monic akhirnya bertanya dengan hati-hati, “Diaz, boleh aku tanya sesuatu? Apa sebenarnya yang membuatmu begitu yakin kalau Eriva adalah Leri?”
"Dari mana kau tahu tentang pikiranku?" tegas Diaz.
"Aku wanita, Diaz. Mencari informasi tentang crush nya itu hal yang mudah," ucap Monic dengan sedikit malu. Dia mengakui bahwa Diaz adalah crush nya.
Diaz menatap Monic dengan tajam. “Aku tidak ingin membahas itu.”
Monic mengangkat tangan tanda menyerah. “Baiklah, aku tidak akan menyinggung soal itu. Tapi kalau kau butuh bantuanku untuk apa pun, aku di sini, Diaz.”
Diaz hanya mengangguk pelan, merasa bahwa Monic mungkin bisa menjadi bagian dari strategi untuk menguji Eriva. Sementara itu, ia juga memikirkan bagaimana caranya untuk memancing Eriva tanpa membuatnya merasa terpojok.
Di saat yang sama, Monic merasa puas karena berhasil mendapatkan waktu berdua dengan Diaz, meskipun ia tahu ada dinding besar yang masih memisahkan mereka. Ia bertekad untuk perlahan-lahan mendekati Diaz, bahkan jika itu berarti terlibat dalam urusan tentang Leri.
Bersambung...