Seorang kakak yang terpaksa menerima warisan istri dan juga anak yang ada dalam kandungan demi memenuhi permintaan terakhir sang Adik.
Akankah Amar Javin Asadel mampu menjalankan wasiat terakhir sang Adik dengan baik, atau justru Amar akan memperlakukan istri mendiang Adiknya dengan buruk?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Noor Hidayati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Makan Malam
"Mahira tunggu Mahira!" Amar menghentikan Mahira dengan menarik tangannya sampai Mahira berputar menghadapnya.
Sementara itu, Mahira masih sekuat tenaga bersikap tenang dan menyembunyikan wajahnya sesaat untuk menghapus air matanya yang tak tertahan, kemudian kembali menatap Amar.
"Ya, apa kak Amar membutuhkan sesuatu?"
"Mahira ayo kita pergi."
Mendengar itu Mahira tak bisa menahan air matanya, buliran bening jatuh di hadapan Amar yang tengah menatapnya dengan penuh penyesalan.
"Tidak perlu, ini sudah sangat larut." ujar Mahir yang mengalihkan pandangannya untuk melepaskan tangan Amar lalu kembali meninggalkannya. Namun dengan cepat Amar kembali menarik tangan Mahira dan menariknya ikut bersamanya.
"Kak Amar... kak Amar..." dengan tertatih-tatih Mahira mengimbangi langkah Amar yang begitu cepat, tapi tak sedikitpun Amar bergeming sampai Mahira menginjak gaunnya sendiri dan nyaris terjatuh.
"Mahira!" barulah Amar menoleh kebelakang menangkap tubuh Mahira. Setelah itu tanpa ragu Amar mengangkat tubuh Mahira sehingga Mahira terkejut dan tak bisa berkata-kata.
Mahira terus menatap Amar yang menggendongnya dengan tatapan lurus ke depan. Memaksanya untuk pergi ditengah malam buta. Pandangan Mahira terhenti ketika Amar menekan kunci mobil dan menurunkan tubuhnya di kursi depan.
Sementara Amar sempat menghentikan pandangannya pada Mahira yang juga tengah menatapnya saat menarik tanganya karena tertindih punggung Mahira. Tidak ada kata-kata yang terucap dari keduanya sampai akhirnya Amar yang lebih dulu menurunkan pandangannya. Setelah itu Amar masuk dan meninggalkan rumah.
Tidak menanyakan Mahira ingin makan apa, atau mau makan dimana sebagai basa-basi, Amar langsung membawa Mahira ke restoran mewah yang buka 24 jam.
Sebetulnya Mahira sudah enggan untuk makan mengingat ini sudah dinihari, tapi karena Amar memaksanya, akhirnya Mahira hanya mengikuti Amar yang menyuruhnya masuk ke restoran tersebut.
Begitu langkah kakinya masuk suasana sunyi sangat terasa di ruangan yang sebegitu megah namun tak ada pengunjungnya. Namun sapaan ramah dari para pegawai restoran tetap mereka lakukan.
"Selamat datang..."
"Mari silahkan..."
Amar dengan langkah tegapnya menggenggam tangan Mahira, sehingga Mahira hanya terperangah mengikuti Amar yang bebas memilih meja. Setelah itu Amar menarik kursinya ke belakang dan mempersilahkan Mahira duduk.
Meskipun wajahnya tetap kaku dan tanpa ekspresi tapi tindakannya cukup membuat kesedihan Mahira perlahan hilang.
"Silahkan Tuan... Nyonya..." ucap pelayan sembari menyodorkan buku menu pada mereka.
Tidak membutuhkan waktu lama untuk Amar menentukan pilihannya. Berbeda dengan Mahira yang kebingungan menentukan apa yang harus ia makan karena nama-nama menu makanan yang sulit Ia mengerti.
"Mau makan apa Nyonya..." Pelayan sampai menanyakan itu pada Mahira. Namum Amar langsung menegurnya.
"Istriku sedang memilih, jika istriku sudah menentukan pilihannya, istriku akan memberitahu mu!"
Mendengar Amar menyebutnya istri untuk pertama kalinya. Terlebih didepan orang lain, membuat Mahira berbunga. Namun rasa bahagianya segera Ia tepis mengingat kekecewaan yang sudah berkali-kali Amar torehkan di hatinya.
"Aku makan steak saja." ujar Mahira sambil meletakkan buku menu itu di meja.
"Baik Nyonya, untuk minumnya?"
"Minum...." Mahira kembali membuka buku untuk memilih minuman.
Dengan sabar Amar membiarkan Mahira memilih apa yang Ia inginkan, bahkan Pelayan pun tak berani lagi mendesak Mahira supaya lebih cepat menentukan pilihannya.
"Mojito Original," ucap Mahira menyerahkan buku menu itu.
"Baiklah, karena semua makanan yang ada disini fresh jadi kami membutuhkan waktu untuk memasaknya, dimohon Tuan dan Nyonya sabar menunggu." ujar Pelayan yang kemudian meninggalkan mereka.
Kini tinggal Amar dan Mahira yang saling berhadapan. Susana yang sepi seharusnya menjadi malam romantis bagi pasangan, namun justru membuat Mahira canggung ketika Amar terus menatapnya.
"Apa penampilan ku berlebihan, atau justru berantakan karena aku sempat tertidur?" gumam Mahira yang menjadi tidak percaya diri dengan penampilannya. Tangannya kesana kemari, memegang kedua pipinya secara bergantian, lalu menggaruk leher belakangnya kemudian beralih menaikkan bagian dadanya yang sebenarnya tidak menampakkan asetnya.
"Tidak perlu merasa gugup, penampilan mu sudah terlihat cantik."
Mendengar Amar mengatakan itu sontak membuat Mahira melongo tak percaya. "Bagaimana mungkin puncak Dieng itu memujiku?" gumam Mahira dalam hati.
Bersambung...