NovelToon NovelToon
Serunai Cinta Santriwati

Serunai Cinta Santriwati

Status: sedang berlangsung
Genre:Romansa Fantasi / Fantasi Wanita
Popularitas:338
Nilai: 5
Nama Author: Lalu LHS

Fahira Hidayati tak pernah menyangka akan terjebak begitu jauh dalam perasaannya kini. Berawal dari pandangan mata yang cukup lama pada suatu hari dengan seorang ustadz yang sudah dua tahun ini mengajarnya. Sudah dua tahun tapi semuanya mulai berbeda ketika tatapan tak sengaja itu. Dua mata yang tiba-tiba saling berpandangan dan seperti ada magnet, baik dia maupun ustdz itu seperti tak mau memalingkan pandangan satu sama lainnya. Tatapan itu semakin kuat sehingga getarannya membuat jantungnya berdegup kencang. Semuanya tiba-tiba terasa begitu indah. Sekeliling yang sebelumnya terdengar riuh dengan suara-suara santri yang sedang mengaji, tiba-tiba saja dalam sekejap menjadi sepi. Seperti sedang tak ada seorangpun di dekatnya. Hanya mereka berdua.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lalu LHS, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

#1 awal kisah

Ustadz Pahlevi terlihat masih sibuk membolak-balik lembaran demi lembaran buku absen di depannya. Satu persatu santriwati yang telah selesai melaksanakan shalat ashar berjamaah, mulai berdatangan ke kelasnya tapi ia belum juga mengangkat kepalanya. Cuaca siang yang begitu terik,masih menyisakan hawa panasnya di lantai maupun di atas atap ruang belajar yang terbuat dari asbes. Suasana menjadi gerah. Memaksa peluh-peluh berhamburan keluar di sekujur tubuh.

Para santriwati kompak menatap ke arah Ustadz Pahlevi yang masih saja seperti tidak peduli dengan kedatangan mereka. Beberapa diantara mereka bahkan ada yang terlihat melukis wajah ustadz Pahlevi. Sesekali diringi canda kecil dari bisik-bisik mulut mereka.

Ustadz Pahlevi mendesah panjang sambil menutup absensi di tangannya. Diusapnya pelan keringat yang mengali r di sela-sela tepi kopiahnya. Satu persatu ia mulai memandangi wajah santriwati di depannya. Ustadz Pahlevi meperbaiki posisi kopiahnya.

"Udaranya panas sekali ya," Ustadz Pahlevi tersenyum. Kitab di tangannya mulai dibukanya. Para santriwati serempak membuka kitabnya.

"Halaman berapa?" Tanya Ustadz Pahlevi. Para santriwati saling pandang. Yang lain mulai sibuk membolak-balik lembaran kitabnya. Belum juga ada jawaban dari mereka. Itu membuat Ustadz Pahlevi menghela nafas panjang dengan wajah memperlihatkan ketidaksenangannya sebab para santri di depannya belum juga menjawab pertanyaannya.

"Ini ciri-ciri santri yang setelah pulang dari kelas,kitab-kitabnya langsung dimasukkan lemari. Gak diulang-ulangi pelajarannya," kata Ustadz Pahlevi.

"Halaman dua puluh satu,Ustadz,"

Ustadz Pahlevi melirik. Suara serak Fahira Hidayati membuyaran keheningan setelah untuk beberapa saat para santri hanya terdiam menundukkan kepala mereka mendengar kata-kata Ustadz Pahlevi.

"Nah, ini dia santri favorit saya. Tapi sayang jawabnya telat." Fahira Hidayati tersenyum malu sembari menundukkan kepalanya.

"Ok, kalau begitu, buka halaman dua puluh satu. Dan ingat selanjutnya saya tidak mau kalian lupa lagi halaman pelajaran kalian. Saya tidak suka," sambung Ustadz Pahlevi.

"Minimal kalian bisa tandai batas pelajaran kalian dengan bolpoin. Terus terang, saya merasa tersinggung dan merasa tak dihargai."

Suasana masih terasa menegangkan. Imbas dari kata-kata Ustadz Pahlevi, membuat santri hanya bisa terdiam. . Suasana yang menurut Ustadz Pahlevi tidak akan mendukung suasana taklim di kelas itu. Dia harus segera mencairkan suasana.

Ustadz Pahlevi mendesah panjang. Ia menatap satu persatu wajah-wajah santri di depannya. Mereka terlihat tegang menundukkan kepala mereka.

"Emh....., tapj kayaknya ada yang kurang ya. Tenggorokanku seperti terasa gatal. Kira-kira ada yang tahu penyebabnya?" kata Ustadz Pahlevi mencoba mencairkan suasana. Para santri yang menyadari nada bicara Ustadz Pahlevi mulai terdengar santai, mulai berani mengangkat kepala mereka. Mereka juga segera mengerti maksud dari Ustadz Pahlevi. Mereka sudah mengerti betul karakter Ustadz Pahlevi. Seorang yang humoris dan menyenangkan. Tapi jika sudah marah, ia tak segan-segan mengeluarkan santri dari kelasnya dan tak memperbolehkannya lagi masuk ke kelasnya.

"Kopi pahit,Ustadz!" jawab mereka serempak. Mereka serempak bangkit hendak ke dapur untuk membuatkan Ustadz Pahlevi kopi. Ustadz Pahlevi tersenyum.

"Ya jangan semuanya dong. Bagaimana kalau saya yang memilih," kata Ustadz Pahlevi memberikan penawaran. Mereka semua menganggukkan kepala sambil melirik ke arah dua orang teman mereka yang selalu menjadi langganan Ustadz Pahlevi ketika ingin dibuatkan kopi. Mereka yakin, dua orang itulah yang akan dipilih Ustadz Pahlevi.

"Karna hanya kamu yang ingat pelajaran pada hari ini, maka saya minta kamu yang akan membuatkan saya kopi," kata Ustadz Pahlevi. Serempak mereka meoleh ke arah Fahira Hidayati. Ternyata kali ini pilihan Ustadz Pahlevi jatuh pada Fahira Hidayati. Merekapun kemudian duduk kembali.

Fahira tersenyum malu. Mukanya memerah. Jantungnya berdegup kencang ketika namanya disebut Ustadz Pahlevi. Dengan langkah pelan dan kepala yang tertunduk, Fahira Hidayati melangkah menuju pintu.

"Eh, tunggu sebentar,"

Fahira Hidayati menghentikan langkahnya dan membalikkan tubuhnya perlahan dengan kepala tetap tertunduk.

"Ingat, gulanya sedikit saja ya. Seukuran ujung sendok," kata Ustadz Pahlevi sambil mempraktikkannya dengan dua jarinya tanpa melihat ke arah santriwati itu. Santriwati itu tersenyum menganggukkan kepala dan segera melangkah ke dapur.

"Baik, selagi menunggu teman kalian yang lagi buat kopi, silahkan kalian berdoa,"

Merekapun mulai berdoa. di ruangan lain juga mulai terdengar bersahut-sahutan doa yang sama.

Sementara di dapur, Fahira Hidayati masih tertegun sendiri menatap gelas di depannya. Jantungnya masih berdegup kencang. Akhirnya hijab yang selama ini menutupinya dari pandangan Ustadz Pahlevi tersingkap juga. Harapannya untuk dikenal Ustadz idamannya akhirnya menjadi kenyataan. Dia berharap, mulai hari ini, dialah yang akan sering disuruh Ustadz Pahlevi membuatkannya kopi.

Sebelumnya ia dan teman-temannya yang lain selalu merasa kecewa dan iri. Setiap kali Ustadz minta dibuatkan kopi, selalu saja yang disuruh adalah orang yang sama. Kalau tidak Baiq Arini, pasti pilihannya jatuh pada Emi. Kata teman-temannya yang lain, Ustadz Pahlevi selalu meminta keduanya membuatkannya kopi, selain karna keduanya cantik, keduanya juga punya mental di atas rata-rata santri yang lain. Dan yang tak kalah penting adalah keduanya bisa membuat kopi sesuai keinginan Ustadz Pahlevi. Dia tak menapikan bahwa keduanya memang memiliki paras yang cantik. Tapi jika hanya terkait rasa kopi, dia juga bisa membuatnya.

Terdengar langkah kaki seperti menuju ke arah dapur . Fahira Hidayati terbuyar dari lamunannya dan buru-buru menyeduh kopi di depanya.

"Kopinya sudah selesai?" Terdengar kata-kata setengah berbisik dari arah belakang. Fahira Hidayati menoleh. Tampak Amelia, teman dekatnya berdiri di doan pintu dapur.

"Sudah," Jawab Fahira Hidayati sambil meletakkan gelas di atas nampan. Ia kemudian menarik tangan Amelia agar mendekat ke arahnya.

"Ada apa sih," kata Amelia setengah kaget. Fahira Hidayati meletakkan jari telunjuknya di bibirnya memberi isyarat agar Amelia diam. Fahira Hidayati kemudian mengambil sendok dan memberikannya kepada Amelia.

"Cicipilah sedikit. Aku takut rasanya gak sesuai permintaan Ustadz," kata Fahira Hidayati setengah berbisik. Takut terlalu lama di dapur, Amelia segera meraih gelas dan mengambil seukuran satu sendok dn mencicipinya.

Amelia mengangguk, meletakkan gelas dan mengacungkan jempolnya ke arah Fahira Hidayati.

"Bagus! Mantap!" kata Amelia. Setelah itu ia langsung mengangkat gelas dan memberikannya kepada Fahira Hidayati. Fahira Hidayati hanya tersenyum walaupun degup jantungnya masih terasa keras membayangkan reaksi Ustadz Pahlevi ketika nanti mencicipi kopi buatannya.

"Ayo, cepatlah! Ustadz sudah terlalu lama menunggu," kata Amelia sambil melangkah lebih dulu di depan Fahira Hidayati.

Keringat bercucuran dari sela-sela jilbab Fahira Hidayati saat langkah kakinya mulai memasuki ruang kelas.

Melihat itu, Ustadz Pahlevi menyingkirkan beberapa kitab di atas meja untuk memberi sedikit ruang untuk segelas kopi yang dibuatkan untuknya. Setelah itu ia mempersilakan Fahira Hidayati untuk meletakkannya.

"Aku kira kamu sudah jadi bubuk kopi," kata Ustadz Pahlevi sambil melirik ke arah jam di tangannya. Fahira Hidayati hanya tersenyum sambil menyeka keringat yang berkumpul di bawah hidungnya. Setelah itu ia membalikkan badannya hendak duduk.

"Sebentar dulu. Aku mau mencoba kopi buatanmu." Ustadz Pahlevi memperbaiki posisi duduknya. Fahira Hidayati membalikkan tubuhnya pelan dan segera menundukkan kepalanya.

"Kamu santri baru ya di kelas ini," Kata Ustadz Pahlevi." Fahira Hidayati tidak menjawab. Dia hanya tersenyum sambil sesekali melirik ke arah teman-temannya. Berharap teman-temannya membantunya menjawab pertanyaan Ustadz Pahlevi.Ditambah lagi dengan serak yang terasa di kerongkongannya membuat ia tidak percaya diri menjawab pertanyaan Ustadz Pahlevi.

"Sudah lama Ustadz," Serempak para santri menjawab. Fahira Hidayati menghela nafas pelan dan Ustadz Pahlevi menatap wajah santriwati yang masih menundukkan kepalanya. Ustadz Pahlevi mengernyitkan dahinya.

"Santri lama." Ustadz Pahlevi memperhatikan Fahira Hidayati dengan seksama. Dia merasa heran karna selama ini tidak pernah melihat gadis itu.

"Berapa tahun kamu ikut kelasku," Tanya Ustadz Pahlevi.

"Sudah dua tahun, Ustadz." Lagi-lagi para santriwati serempak menjawab. Fahira Hidayati yang ditanya lagi-lagi hanya bisa tersenyum.

Ustadz Pahlevi menganggukkan kepalanya. Ia kemudian mengambil kopinya dan mulai menyeruputnya perlahan.

"Aaagh....Sudah dua tahun ikut kelas ini? kemana saja kamu, kenapa aku tidak pernah melihat kamu. Jangan-jangan kamu duduknya paling belakang terus ya," Desah Ustadz Pahlevi sebelum menyeruput kopinya untuk kedua kalinya. Ia lalu mengarahkan pandangannya ke arah Fahira Hidayati.

"Kamu tahu kenapa aku menyuruhmu membuat kopi dengan sedikit gula?" Fahira Hidayatii tersenyum sambil menggelengkan kepalanya pelan.

"Karna senyummu sudah terlalu manis. Nanti kalau gulanya terlalu banyak, kopinya kemanisan."

Tiba-tiba suara riuh terdengar dari mulut para santriwati. Sedangkan Fahira Hidayati semakin menundukkan kepalanya. Wajahnya terlihat memerah. Beberapa kali ia mengusap peluh di wajahnya.

"Sst.....,sudah,sudah..., bercanda sedikit biar gak tegang. Tapi jangan terlalu ribut, takut kelas sebelah terganggu," Ustadz Pahlevi menoleh ke arah Fahira Hidayati di sampingnya.

"Maaf ya, ayo kamu boleh duduk," kata Ustadz Pahlevi mempersilahkannya duduk.

Suasana yang tadinya riuh perlahan menjadi sepi.Ustadz Pahlevi kembali membuka absensi di samping kitabnya.

"Oh ya, nama kamu siapa?" tanya Ustadz Pahlevi kepada Fahira Hidayati.

"Fahira Hidayati," kata Fahira Hidayati dengan suara pelan hingga nyaris tak terdengar. Ustadz Pahlevi lebih memajukan telinganya. Tapi tetap tak bisa mendengar dengan jelas ketika Fahira Hidayati itu mengulang menyebut namanya.

"Fahira Hidayati, Ustadz," kata santriwati serempak. Ustadz Pahlevi menganggukkan kepalanya sambil memperhatikan deretan nama di dalam absen. Satu persatu nama di dalam absen ditandainya dengan bolpoin hingga terhenti pada nama Fahira Hidayati. Melihat ke kolom yang lain, nama Fahira Hidayati termasuk daftar santri di kelasnya yang nilainya di atas rata-rata. Ustadz Pahlevi pun merasa heran dengan dirinya sendiri karna seharusnya, santri yang nilainya bagus akan selalu jadi topik ingatan bagi siapapun guru yang mengajarnya.

Ustadz Pahlevi kemudian mulai membuka pelajaran. Para santri khidmat mengikuti pelajaran.

Tak terasa matahari sudah tinggal separuh di ufuk barat. Suara lantunan shalawat penanda datangnya waktu maghrib sudah terdengar dari arah masjid pesantren. Ustadz Pahlevi pun mengakhiri pengajiannya. Para santriwati segera bergegas kembali ke kamar masing-masing untuk bersiap-siap melaksanakan shalat magrib berjamaah.

Fahira Hidayati terkejut. Di pintu utama asrama, Ustadz Pahlevi, dengan langkahnya yang penuh wibawa seperti sedang menuju ke arah mushalla. Para santri yang lainpun mulai terdengar riuh dengan kedatangan Ustadz Pahlevi yang tak biasanya. Tapi dengan teratur mereka segera turun dari mushalla dan berbaris memberi penghormatan kepada Ustadz Pahlevi. Mereka saling pandang ketika Ustadz Pahlevi naik ke atas mushalla.

"Loh, kalian kok masih di bawah. Kalian sudah shalat?" tanya Ustadz Pahlevi ketika menyadari para santriwati masih ada di bawah.

"Belum, Ustadz!" kata mereka serempak.

"Terus, apalagi yang kalian tunggu. Ayo naik, ntar waktu keburu habis,"

Merekapun segera naik masih berbisik satu sama lain. Baru kali ini Ustadz Pahlevi masuk asrama putri dan mengimami shalat santri putri.

****

Waktu terus berlalu. Para santri pun telah menyelesaikan rutinitas mereka melakukan shalat isya berjamaah. Beberapa santri yang bertugas mengambil makanan untuk makan malam santri, sudah meletakkan keranjang-keranjang plastik besar berisi kotak makanan di teras mushalla. Para santri mulai berkerumun memeriksa keranjang-keranjang menurut kamar masing-masing.

Amelia masih berdiri di teras mushalla. Dia nampak sedang memperhatikan sekelilingnya. Tinggal satu kotak makanan yang masih tersisa di dalam keranjang. Itu milik Fahira Hidayati. Tak biasanya ia pergi sebelum mengambil jatah makanannya.

"Hadijah!" Amelia memanggil seseorang yang lewat tak jauh di depannya. Orang yang dipanggil Hadijah datang menghampiri.

"Apa kamu melihat Fahira?" tanya Amelia.

Hadijah mengernyitkan dahinya. Seperti sedang mengingat-ingat.

"Kayaknya di kamar deh. Tadi aku lihat dia buru-buru turun dari mushalla. Coba kamu cek, mungkin saja dia lagi kurang sehat," kata Hadijah. Amelia menganggukkan kepalanya. Ia kemudian mengambil jatah makanan Fahira Hidayati dan melangkah menuju kamar Fahira Hidayati.

1
MEDIA YAQIN Qudwatusshalihin P
good
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!