Pernikahan Brian Zaymusi tetap hangat bersama Zaira Bastany walau mereka belum dikaruniai anak selama 7 tahun pernikahan.
Lalu suatu waktu, Brian diterpa dilema. Masa lalu yang sudah ia kubur harus tergali lantaran ia bertemu kembali dengan cinta pertamanya yang semakin membuatnya berdebar.
Entah bagaimana, Cinta pertamanya, Rinnada, kembali hadir dengan cinta yang begitu besar menawarkan anak untuk mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon alfajry, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Papa Brian
Zaira mendapat kabar dari Andre tentang percakapannya dengan Brian waktu itu di apartemennya. Kabar bahwa Brian akan meninggalkan Rina jika Ziara tidak mengizinkannya untuk bersama perempuan lain agar mendapatkan anak.
Mendengar itu, Zaira cukup senang. Artinya, Brian benar-benar bisa menyelesaikan masalahnya sendiri. Bukankah itu tanda bahwa Brian lebih memilihnya dari pada masa lalunya?
Hari ini, suasana hati Zaira sedikit membaik. Dia membeli kopi di kafe depan rumah sakit tempatnya bekerja.
Suasana kafe sedang tidak ramai. Karena ini memang belum jam istirahat.
Saat sedang memilih pesanan di kasir, seseorang berdiri di sebelah Rinnada. Ikut memilih menu.
"Mas, ice mocchachino, es nya 3 batu saja, ya".
Suara orang itu membuat Zaira menoleh ke sebelah kirinya. Begitu juga orang itu.
"Ah. Dokter rupanya." Senyuman lebar di bibirnya. Tidak menyangka bertemu Zaira di kafe ini.
Zaira tersenyum. Lalu memandang lagi ke arah menu. "Ice Fluffy Latte". Ucapnya pada Barista.
Dia memberikan uang selembaran merah. "Sekalian, sama dokter Zaira, ya". Ucapnya pada kasir.
"Oh, tidak perlu repot-repot, Nada." Tolak Zaira yang sudah mengeluarkan uangnya. Dia memang tidak berniat hutang apapun dengan wanita di sebelahnya ini.
"Saya tidak kerepotan kok, dokter." Ucapnya tersenyum ramah sambil menunggu pesanannya.
"Terimakasih". Ucap Zaira yang memaksa dirinya tersenyum.
"Jangan sungkan, dokter. Kebetulan hari ini saya sedang senang". Katanya sambil memelintir ujung rambutnya.
"Benarkah?"
"Ya." Nada menerima pesanannya. "Karena pacar saya ternyata benar-benar tidak bisa melupakan saya. Bukankah itu bagus, dokter?" Senyumnya mengambang disana. Seperti meminta persetujuan dokter Zaira.
"Sangat bagus. Selamat ya." Dokter Zaira memujinya.
"Terimakasih, dokter. Saya permisi." Nada berlalu dengan bibir yang masih bersunggingkan senyuman.
Zaira enggan melihat kepergiannya. Entah mengapa tingkah wanita itu mengusik dirinya. Jika dirinya tahu wanita itu akan ke kafe ini, dia pasti tidak jadi datang.
Tapi, kenapa dia memesan pesanan yang sama dengan kesukaan mas Bian?
Zaira menepis prasangkanya. Semua orang juga suka mokacino dengan sedikit es, kan? Batinnya.
Zaira baru keluar dari kafe dengan menggenggam segelas kopinya. Ponselnya berdering. Dia mengambilnya di kantong. Wajahnya tersenyum saat melihat nama di layar ponsel. Panggilan dari Papa Brian.
"Halo, Pa." Sapa Zaira ramah.
Namun suara dari sana terasa mencekam. Senyum yang ia rekah menghilang. Zaira mengambil langkah seribu. Dia menuju ruangan yang disebut Brian melalui ponsel papanya.
Brian berdiri melihat Ziara datang dengan wajah panik.
"Papa kenapa, mas?" Napasnya tersengal.
"Aku juga tidak tahu. Papa sedang diperiksa."
Zaira ingin memberikan kopi yang di tangannya kepada Brian. Tetapi, di tangan Brian sudah ada gelas kopi yang sama.
Melihat itu, Zaira berpikir, kapan Brian membelinya. Karena sedari tadi ia tak melihat batang hidung Brian di kafe itu.
Pintu terbuka, seorang dokter keluar dari ruangan itu.
"Dokter Zaira, apakah bapak Zaymusi orang tua anda?" Ini Dokter Wino, dokter Spesialis Paru yang menangani Papa Brian.
"Mertua saya, dokter. Bagaimana kondisinya?"
"Bisa bicara sebentar, dok." Pinta dokter Wino.
Zaira memberikan kopinya pada Brian dan mengikuti dokter Wino beberapa langkah. Mereka berbicara berdua. Terlihat sangat serius.
Brian menatap kopi yang di berikan Zaira. 'Apakah mereka bertemu lagi?' Batin Brian.
Zaira masuk ke dalam ruangan mertuanya. Melihatnya masuk, lekaki tua itu tersenyum. Di sebelahnya, Brian sedang duduk sambil sesekali memainkan ponselnya.
"Pa, kenapa tidak cerita". Zaira duduk di seberang Brian.
"Papa tidak sangka, jadi seperti ini". Ucapnya serak. "Bagaimana kabarmu, nak?" Tanya mertuanya. Dia lelaki yang hangat seperti Brian. Zaira merasa nyaman dengan mertuanya yang sudah seperti ayah kandung baginya.
"Baik, Pa."
"Papa kenapa, sayang?" Tanya Brian sambil memasukkan ponselnya ke dalam saku celananya.
"Nanti Papa akan rontgen ya, supaya hasilnya lebih jelas. Untuk diagnosis awal, sepertinya papa terkena bronkitis." Zaira menjelaskan apa yang dikatakan dokter yang memeriksa mertuanya tadi.
"Papa sudah duga". Katanya sambil terbatuk-batuk. "Terlalu banyak asap disana. Rata-rata teman Papa merokok".
"Setelah ini, Papa tidak boleh dekat dengan perokok, ya. Bisa lebih fatal nanti." Ucap Zaira perhatian.
"Iya, anakku." Papa menyentuh pipi Zaira. Ia amat menyayangi menantunya ini.
Tok..tok..
Seorang perawat masuk. "Mari pak, kita mulai pemeriksaan lanjutan". Perawat itu membawa kursi roda, dan membawa mertua Zaira ke ruang rontgen.
"Aku menunggu disini" kata Brian pada Zaira. Zaira mengangguk dan mengikuti perawat itu.
💣💣💣💣💣
"Bagaimana kondisi papamu, Yan?" Andre bertanya setelah menutup pintu ruangan Brian.
"Bronkitis. Papa selalu berdekatan dengan perokok". Jawabnya sambil membaca sekilas berkas-berkas yang ia pegang.
"Ck!. Selalu saja orang yang tak merokok yang kena!" Decak Andre sebal.
"Mau bagaimana lagi. Orang-orang egois memang selalu ada dimana-mana". Ujar Brian santai.
Andre duduk di sofa "benar sekali yang anda katakan, pak". Sahutnya tersenyum sambil melirik ke arah Brian.
Brian berdehem. Sedikit merasa tersindir dengan kata-katanya sendiri.
"Ada apa?" Tanya Brian mengalihkan pembicaraan.
"Tidak ada. Hanya ingin melihat kondisimu" Andre menaikkan kaki kanannya ke atas kaki kiri.
"Tidak ada yang perlu kau khawatirkan. Zaira menolak itu dan akupun akan meninggalkan Rina". Jawabnya cuek tak memandang Andre.
"Baguslah. Aku bahagia mendengarnya. Selamat ya, kau telah menyelamatkan harga dirimu". Andre berdiri hendak keluar. Hanya itu yang dia ingin dengar.
"Harga diriku?" Brian meletakkan kertas-kertas yang ia pegang.
"Ya. Kesetiaan itu harga mati. Tanpa alasan." Jelas Andre. Lagi-lagi sengaja menyinggung Brian.
"Aku tidak akan menduakan Zaira. Aku pernah berjanji itu. Dia juga tak memberi toleransi pada perselingkuhan. Aku cukup paham dan tahu harus bertindak apa." Ucapnya menegaskan pada Andre bahwa ia tak melakukan apa-apa.
"Baiklah". Andre berjalan menuju pintu. Kemudian berbalik menghadap Brian "Belajarlah dari Papamu bagaimana cara mencintai satu wanita saja. Dia pandai menilai perempuan. Lihatlah bagaimana caranya memperlakukan istrimu itu." Andre membuka pintu lalu keluar tanpa mendengarkan lagi ocehan Brian yang di telinganya hanya seperti omong kosong.
Lagi, Brian terdiam menatap pintu yang baru saja Andre tutup. Kata-katanya sangat mengena di hatinya.
Beberapa tahun lalu, Brian menceritakan tentang dirinya dan Rinnada yang tak bisa menyatu. Lantas Papanya menepuk-nepuk pundaknya dan mengatakan bahwa tidak semua hal yang kita suka bisa kita miliki. Ada yang sifatnya sementara. Jika tidak nyaman maka sebaiknya tinggalkan. Karena masih banyak wanita baik di dunia ini.
Begitulah kira-kira yang pernah papanya katakan. Hingga saat Papanya pertama melihat Zaira. Ia langsung dekat dengannya. Lalu papa mengacungkan jempolnya pada Brian yang artinya ia pandai memilih wanita. Saat itulah, Brian merasa bangga dan bahagia, karena hidupnya berjalan dengan sangat lancar.
Bersambung.....
cow gk tahu diuntung