Pengingat bahwa Aku tidak akan pernah kembali padamu. "Nico kamu bajing*n yang hanya menjadi benalu dalam hidupku. aku menyesal mengenal dan mencintai mu."
Aku tidak akan bersedih dengan apa yang mereka lakukan padaku. "Sindy, aku bukan orang yang bisa kamu ganggu."
Aku tidak akan membiarkan siapapun menyakitiku kembali
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Syari_Andrian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tapi ini belum selesai...
Sementara itu, di ruangan yang lebih pribadi, Rey dan Nisa berdiskusi lebih lanjut.
"Nisa, aku ingin kamu tetap fokus pada kuliahmu. Biarkan aku dan Kakek Arfan yang mengatur semua ini," kata Rey dengan nada serius.
"Tapi Rey, aku tidak bisa hanya duduk diam dan menunggu. Aku harus terlibat," Nisa membalas dengan tegas.
Rey mendekat, menatap Nisa dengan mata yang penuh perhatian. "Aku mengerti perasaanmu, tapi aku juga tidak mau kamu terluka. Kita harus bermain cerdas."
Nisa menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan pikirannya. "Oke, tapi aku ingin tahu semua yang terjadi. Jangan ada yang disembunyikan dariku."
"Deal," Rey setuju. "Aku akan memberitahumu segalanya. Sekarang, ayo kita lihat rencana Kakek Arfan."
Mereka kembali ke ruang tamu, di mana Kakek Arfan dan Pak Roni sedang mempelajari peta kota. Mereka tengah mendiskusikan titik-titik yang mungkin menjadi markas musuh.
"Rey, Nisa, kami menemukan sesuatu yang menarik," kata Kakek Arfan sambil menunjuk sebuah lokasi di peta. "Kami mencurigai bahwa Sindy bersembunyi di sini."
"Bagaimana kita bisa memastikan itu?" tanya Rey.
Pak Roni menjawab, "Kami akan mengirim tim untuk menyelidiki. Kita tidak bisa bertindak tanpa informasi yang pasti."
Nisa menatap peta dengan seksama. "Kalau begitu, kita harus cepat. Sindy pasti sudah merencanakan langkah berikutnya."
Kakek Arfan mengangguk setuju. "Benar. Kita harus selalu selangkah lebih maju dari mereka."
"Baiklah, ayo kita bergerak," kata Rey, memimpin diskusi ke tahap berikutnya. "Kita tidak akan memberikan mereka waktu untuk merencanakan apapun."
Beberapa jam kemudian, di markas mereka, Rey, Nisa, Kakek Arfan, dan Pak Roni menyusun rencana detail untuk menghadapi Sindy dan kelompoknya. Mereka memutuskan untuk membagi tim menjadi dua: satu tim untuk menyelidiki lokasi yang dicurigai, dan satu tim lagi untuk tetap berjaga di vila sebagai tindakan pencegahan.
"Rey, kamu dan aku akan memimpin tim ke lokasi itu," kata Kakek Arfan. "Kita perlu memeriksa tempat itu secara langsung."
Rey mengangguk. "Baik, Kakek. Kita harus berhati-hati. Aku tidak ingin ada yang terluka."
Nisa tampak cemas. "Rey, aku ingin ikut dengan kalian."
Rey menatapnya dengan lembut. "Nisa, aku butuh kamu tetap di sini dan memastikan vila ini aman. Kita tidak tahu apa yang Sindy rencanakan. Aku perlu tahu bahwa kamu aman."
Nisa menunduk, menahan kekhawatirannya. "Baiklah, tapi tolong berhati-hati."
Pak Roni melangkah mendekat. "Nisa, kamu bisa membantu dari sini. Pantau komunikasi kita dan berikan informasi apa pun yang kamu dapatkan."
Nisa mengangguk. "Oke, aku akan lakukan yang terbaik."
Kakek Arfan melihat sekeliling. "Kita bergerak sekarang. Waktu adalah kunci."
Rey, Kakek Arfan, dan tim mereka segera meninggalkan vila, menuju lokasi yang dicurigai. Nisa tetap di ruang komunikasi, memantau setiap pergerakan mereka melalui saluran radio. Hatinya terus berdebar, berharap semua akan berjalan lancar.
Di sisi lain, Sindy dan kelompoknya mulai merasakan kehadiran lawan. Sindy yang sudah menjalani operasi plastik, kini menjadi sosok yang hampir tak dikenali, merencanakan serangan balasan.
"Pastikan kita siap," perintah Sindy kepada anak buahnya. "Kita tidak bisa membiarkan mereka mengganggu rencana kita."
Anak buahnya mengangguk. "Kami siap, Nyonya. Mereka tidak akan tahu apa yang menghantam mereka."
Ketegangan semakin memuncak. Di dua sisi berbeda, kedua kelompok ini bersiap untuk pertempuran yang menentukan.
°°°°°
Langkah kaki semakin dekat, dan Rey tahu mereka harus bergerak cepat.
"Ambil dokumen-dokumen itu dan kita pergi sekarang," bisik Rey dengan nada tegas.
Anggota timnya mengangguk, memasukkan dokumen-dokumen penting ke dalam tas mereka. Namun, sebelum mereka bisa bergerak lebih jauh, pintu ruangan terbuka dengan tiba-tiba, dan beberapa orang anak buah Sindy masuk dengan senjata teracung.
"Jangan bergerak!" teriak salah satu dari mereka.
Rey mengangkat tangan, menunjukkan bahwa mereka tidak berniat menyerang. Namun, matanya terus mengamati situasi, mencari celah untuk melawan. Dia tahu bahwa menyerah bukanlah pilihan.
"Kami hanya ingin bicara dengan Sindy," kata Rey, mencoba mengulur waktu.
Anak buah Sindy saling pandang, tampaknya ragu. Tapi sebelum mereka bisa memberikan jawaban, suara langkah kaki lain terdengar dari lorong, diikuti oleh suara ledakan kecil. Rey tersenyum tipis; itu adalah isyarat dari tim kedua yang sudah berada di posisi.
Di tengah kekacauan yang ditimbulkan oleh ledakan kecil itu, Rey dan timnya bergerak cepat. Mereka menyerang, membuat anak buah Sindy terkejut dan tidak sempat bereaksi. Dalam hitungan detik, ruangan itu kembali hening dengan anak buah Sindy tergeletak di lantai.
"Bagus," kata Rey kepada timnya. "Sekarang kita harus menemukan Sindy sebelum dia bisa kabur."
Mereka bergerak keluar dari ruangan, melanjutkan perjalanan menuju pusat gedung. Sementara itu, di ruang kontrol, Sindy menyadari bahwa situasinya semakin buruk. Dia melihat anak buahnya dikalahkan satu per satu melalui layar monitor.
"Dia lebih kuat dari yang aku perkirakan," gumam Sindy sambil menggertakkan gigi. "Tapi ini belum selesai."
Dia menekan tombol di meja kontrol, memberikan perintah terakhir kepada sisa anak buahnya. "Persiapkan semuanya. Kita akan menghadapi mereka di ruang utama."
Sementara itu, Rey dan timnya terus maju. Setiap langkah membawa mereka lebih dekat ke Sindy, tetapi mereka tahu bahwa pertempuran terbesar masih menunggu di depan.