"Bagaimana mungkin Yudha, kau memilih Tari daripada aku istri yang sudah bersamamu lebih dulu, kau bilang kau mencintaiku" Riana menatap Yudha dengan mata yang telah bergelinang air mata.
"Jangan membuatku tertawa Riana, Kalau aku bisa, aku ingin mencabut semua ingatan tentangmu di hidupku" Yudha berbalik dan meninggalkan Riana yang terdiam di tempatnya menatap punggung pria itu yang mulai menghilang dari pandangan nya.
Apa yang telah terjadi hingga cinta yang di miliki Yudha untuk Riana menguap tidak berbekas?
Dan, sebenarnya apa yang sudah di perbuat oleh Riana?
Dan apa yang membuat persahabatan Tari dan Riana hancur?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dwiey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
The Emergence of Thought
Tari datang membawa dua gelas teh, satu di masing-masing tangannya.
Dengan langkahnya yang pelan, ia menuju kamarnya sambil bersenandung kecil.
Klek.
Tari mendorong pintu kamar dengan kakinya, masuk sambil membawa senyum ceria di wajahnya.
"Ri, aku buatkan teh untukmu," ucapnya sambil menyodorkan gelas di tangan kirinya kepada Riana.
Riana yang sedang bersandar di tempat tidur, sibuk dengan ponselnya, mendongak sejenak. Rambut panjangnya yang tergerai hingga sepinggang menyentuh kasur, memberikan kesan anggun pada siapapun yang melihatnya.
"Terima kasih, Tar," balas Riana sambil tersenyum tipis, menerima gelas dari tangan Tari.
"Terima kasih, Tar," jawab Riana sambil tersenyum kecil.
Tari balas tersenyum, lalu mengangguk. "Kamu lagi apa sih, serius banget tuh lihat HP?" tanyanya sambil melirik sekilas ke arah layar ponsel Riana yang kini tergeletak di sampingnya.
"Ah, ini..." Riana menunduk sedikit, menghindari tatapan Tari. "Aku lagi buka-buka media sosial, cari info soal pengobatan tradisional, siapa tahu ada yang cocok buat... kondisi aku." Suaranya melemah di akhir kalimat, dan ekspresinya berubah sendu.
Mendengar itu, Tari langsung mengerutkan kening.
"Hati-hati loh Ri. Banyak penipuan di medsos soal pengobatan kayak gitu. Lagian, aku kan udah bilang nggak ada yang salah sama kau. Itu bukan cuma kata aku, tapi kata dokter spesialis langsung, kan? Kau juga yang cerita waktu itu." Tari menatap sahabatnya dengan sorot tajam, lalu melanjutkan, "lalu kenapa sekarang kamu jadi sibuk cari-cari hal nggak jelas kek gini?"
Riana menghela napas panjang sebelum menjawab. "Ibu mertua aku, Tar. Kemarin malam ibu bilang... kalau aku nggak bisa hamil juga, aku harus bujuk Yudha buat cari istri lagi."
Ucapan itu membuat Tari langsung menegang. Gelas teh yang ia pegang hampir terlepas.
"APA?! Apa nenek lampir itu udah nggak waras?!" Wajah Tari memerah karena amarah. "Dimana otaknya pas ngomong kayak gitu ke kamu?!"
Tari memang tidak pernah menyukai Yudha ataupun keluarganya. Sejak awal, saat Riana memutuskan menikah dengan Yudha, Tari sudah merasa ada yang salah. Ia bahkan ingat dengan jelas hari pernikahan sahabat nya, saat orang tua Yudha tersenyum, tapi senyum itu hanya formalitas.
Tari, sebagai seorang penulis yang terbiasa membaca ekspresi orang, tentunya tau bahwa senyum itu tidak tulus.
"Ri, kamu jangan dengerin ibu mertuamu itu. Kalau kamu terus mikirin omongannya, kamu cuma makin stres nanti. Dan stres itu yang malah bikin kondisi kamu tambah buruk," ujar Tari sambil meletakkan gelas teh milik Riana di meja kecil di samping tempat tidur.
Tari menatap Riana dengan mimik wajah serius. "Udah, dari pada kamu scroll medsos nggak jelas, mending kamu istirahat dulu. tidur sekarang, biar pikiran kamu lebih tenang."
Tanpa menunggu persetujuan, Tari mengambil gelas teh dari tangan Riana, meletakkannya di meja, lalu mulai menata selimut sahabatnya. "Udah, tidur ya," katanya sambil sedikit memaksa Riana berbaring.
"Terima kasih, Tar," kata Riana dengan senyum tipis.
Tari hanya mengangkat bahu, menutupi rasa pedulinya dengan nada santai. "Udah lah, santai aja. Kita kan udah sahabatan dari lama. Sekarang kamu tidur, biar aku bisa kerja. Masih ada naskah yang harus aku kelarin malam ini."
Ia mengambil gelas tehnya, berjalan keluar kamar, tapi berhenti sejenak di ambang pintu.
Melihat Riana masih menatapnya, ia tersenyum lebar. "Udah tidur, ntar aku nyusul."
Tari menutup pintu perlahan, meninggalkan Riana sendirian.
Riana menarik napas panjang. Senyumnya perlahan memudar, dan pikirannya kembali melayang ke pembicaraannya dengan ibu Sely semalam.
Kata-kata ibu mertuanya kembali terngiang, memenuhi pikirannya yang sudah penuh akan berbagai prasangkanya.
...----------------...
Riana duduk di ruang tamu rumah ibu mertuanya, Ibu Sely, dengan gugup.
Malam itu, tepat pukul 7, Riana datang memenuhi panggilan mendadak.
Rumah mereka hanya berjarak 15 menit dengan motor, jadi ia datang sendiri. Suaminya itu belum pulang dari kantor, biasanya ia tiba di rumah sekitar jam 8 paling lambat sekitar jam 9 malam.
Ibu Sely duduk berhadapan dengannya, wajahnya serius seperti biasa, tanpa senyum.
"Riana, sampai sekarang kamu masih belum ada tanda-tanda juga, ya?" ucap Ibu Sely dengan nada datar.
Riana tertegun, hatinya langsung terasa sesak. "Maaf, Bu... Ria juga sedang berusaha. Tolong pengertian dari Ibu," jawabnya pelan, menundukkan kepala dengan ekspresi sendu.
Ibu Sely mendesah, seolah sudah memprediksi jawaban itu. "Ibu sudah menduga kamu akan bilang begitu. Itu sebabnya ibu minta kamu datang malam ini. Ada hal penting yang ingin ibu bicarakan."
Kata-kata itu membuat Riana semakin gelisah. Tangannya mulai meremas ujung bajunya, mencoba menenangkan diri. Ada sesuatu dalam nada suara ibu mertuanya yang membuatnya cemas.
"Kamu harus bujuk Yudha untuk menikah lagi," ucap Ibu Sely tiba-tiba. Kata-kata itu meluncur begitu saja, tanpa ragu. "Ibu nggak minta kalian bercerai, karena ibu peduli sama kalian. Tapi kalian butuh keturunan. Ibu juga akan bicara sama Yudha, tapi ibu tahu dia pasti menolak. Karena itu, ibu mau kamu yang bicara. Dia lebih mendengar kamu daripada ibunya sendiri."
Nada terakhir itu terdengar seperti tuduhan, penuh dengan emosi terpendam.
Mata Riana membelalak. "Bu... bagaimana mungkin saya meminta Yudha untuk menikah lagi?" katanya dengan suara lirih, hampir seperti bisikan.
Ibu Sely bangkit, berjalan mendekat, lalu menarik kursi di samping Riana dan duduk di sana. Ia menatap langsung ke mata menantunya.
"Riana, ibu benar-benar minta tolong. Siapa lagi yang bisa ibu andalkan selain kamu? Yudha selalu mendengarkan kamu," katanya, kali ini dengan nada lebih lembut, nyaris memohon.
Riana menggigit bibir bawahnya, perasaannya bercampur aduk. "Ibu... biarkan aku memikirkan ini. Tolong beri aku waktu," ujarnya dengan suara bergetar.
Ibu Sely tersenyum tipis, tapi matanya tetap tajam. "Baiklah, Riana. Ibu beri kamu waktu sampai akhir minggu ini. Kalau kamu tidak memberikan jawaban, ibu akan menganggap kamu setuju."
Lalu Ibu Sely memeluk tubuh Riana dengan pelukan lembut, menepuk punggungnya perlahan.
"Ibu harap kau setuju dan membantu ibu mencari calon istri kedua untuk Yudha, secepatnya," ujarnya dengan senyum menyeringai, tatapan matanya terlihat menyipit.
...----------------...
Riana terbangun dengan napas memburu. Kepalanya terasa berat, dan jantungnya berdetak kencang. Mimpi yang ia alami terlalu nyata.
Di mimpinya Yudha mencium perut seorang wanita berambut pendek. Wanita itu sedang hamil, dan mereka berdua terlihat bahagia. Sementara Riana hanya berdiri dari jendela, menonton suaminya bersama wanita lain.
Ia mengusap wajahnya perlahan, mencoba mengatur napas. Riana terus teringat ucapan ibu mertuanya seperti racun yang menjalar kesegala sudut pikirannya.
"Bujuklah Yudha untuk menikah lagi Riana."
Riana menelan ludah,tenggorokannya terasa kering. Ia mengalihkan pandangan ke samping, melihat Tari yang tertidur pulas..
Wajah sahabatnya itu tampak tenang, bahkan sesekali bibirnya sedikit bergerak, seperti bermimpi sesuatu yang menyenangkan.
Riana menatapnya lama, tapi ia sibuk berkutat dengan pikirannya .
Riana memeluk lututnya, seluruh tubuhnya terasa menggigil sekarang.
"Haruskah aku benar-benar melakukan itu?" pikirnya.
"Bagaimana mungkin aku membiarkan suamiku menikah dengan wanita asing yang bahkan tidak kukenal," pikir Riana, hatinya terasa seperti diremas.
Ia terdiam, membiarkan pikirannya mengulang-ulang kalimat itu.
"Wanita asing..." gumamnya lirih, hampir seperti bertanya pada dirinya sendiri.
Matanya perlahan bergerak ke samping, melihat Tari yang sedang tidur nyenyak. Nafasnya terdengar teratur, wajahnya terlihat damai.
Riana tetap diam di posisinya. Tubuhnya tidak bergerak, tapi matanya terus terpaku pada Tari.
"Tari..." suaranya nyaris seperti bisikan, "kau sahabatku, kan?" Sebuah senyuman miring muncul di wajahnya, tapi senyum itu terlihat kosong dan entah kenapa terlihat mengerikan.
Malam itu, Riana membuat sebuah keputusan. Sesuatu yang ia butuhkan, yang selama ini ia cari, ternyata ada di hadapannya selama ini.