Pada abad ke-19, seorang saudagar China yang kaya raya membawa serta istri dan anaknya menetap di Indonesia. Salah satu anak mereka, Jian An, tumbuh menjadi sosok yang cerdas dan berwibawa. Ketika ia dewasa, orang tuanya menjodohkannya dengan seorang bangsawan Jawa bernama Banyu Janitra.
Pada malam pertama mereka sebagai suami istri, Banyu Janitra ditemukan tewas secara misterius. Banyak yang menduga bahwa Jian Anlah yang membunuhnya, meskipun dia bersikeras tidak bersalah.
Namun, nasib buruk menghampirinya. Jian An tertangkap oleh orang tidak dikenal dan dimasukkan ke dalam sumur tua. berenang di permukaan air sumur yang kini tidak lagi berada di abad ke-19. Ia telah dipindahkan ke kota S, tahun 2024. Dalam kebingungannya, Jian An harus menghadapi dunia yang jauh berbeda dari yang ia kenal, berusaha menemukan jawaban atas misteri kematian suaminya dan mencari cara untuk kembali ke masa lalu yang penuh dengan penyesalan dan rahasia yang belum terungkap.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NinLugas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
22
Saka merasa bingung dan khawatir melihat Jian An begitu rapuh. Hatinya merasa tidak tenang, melihat wanita yang baru ia nikahi itu menangis. Ada sesuatu yang lebih dalam yang tersembunyi di balik air mata Jian An, dan Saka tidak bisa menahannya untuk tidak bertanya-tanya. Apa yang sebenarnya terjadi? pikirnya dalam hati.
Saka memandang Jian An dengan mata yang penuh perhatian, mencoba mencari tahu apa yang membuat wanita itu begitu terpuruk. Ia ingin sekali memberikan kenyamanan, tapi kata-kata terasa begitu sulit keluar. Semua yang ada di benaknya hanyalah ingin melindungi Jian An, namun ia tidak tahu apa yang seharusnya ia lakukan untuk membuatnya merasa lebih baik.
Jian An mengusap wajahnya dengan tangan, berusaha menghapus air mata yang masih menetes. Ia merasa canggung dan malu, tapi ia tahu bahwa Saka pasti bisa merasakannya—rasa sakit yang tidak bisa ia sembunyikan. "Aku... aku hanya merasa sangat bingung," katanya akhirnya, suaranya terdengar rapuh. "Semua ini terlalu cepat, dan aku belum sepenuhnya mengerti apa yang terjadi."
Saka menghela napas panjang, lalu mendekati Jian An. Ia berdiri di sampingnya dan dengan lembut menepuk punggungnya. "Aku tidak tahu apa yang kamu rasakan, Jian An," ujarnya pelan, "Tapi aku ingin kamu tahu bahwa aku ada di sini untukmu. Kalau kamu butuh waktu, kita bisa meluangkan waktu bersama-sama. Tidak perlu terburu-buru."
Jian An menatap Saka dengan mata yang penuh keraguan, namun ia merasa sedikit tenang dengan kata-kata itu. Mungkin, hanya mungkin, ada seseorang yang peduli padanya di dunia yang asing ini.
"Ada apa Jian An? Kamu hamil?" Tanya kakek ketika melihat Saka dan Jian An datang kembali.
"Kakek, kami tidak secepat itu." Saka memotong pembicaraan.
Kakek Saka menatap keduanya dengan tatapan tajam, seolah ingin memastikan kebenaran dari kata-kata Saka. Namun, ekspresi wajahnya tetap tenang, meskipun ia masih merasa ada sesuatu yang aneh dalam situasi ini. Saka, yang sudah terbiasa dengan ketegasan kakeknya, merasa sedikit cemas. Namun, ia tetap berusaha untuk menjaga ketenangan.
Jian An yang masih sedikit merasa canggung, hanya bisa menunduk. Ia merasa tak nyaman dengan pertanyaan mendalam dari Kakek Saka. Apalagi, ini adalah pertama kalinya ia bertemu dengan orang yang begitu penting dalam hidup Saka. "Kami hanya baru menikah beberapa hari yang lalu, Kakek," ujar Jian An dengan suara lembut, berusaha menjelaskan.
Kakek Saka mengangguk pelan, meskipun masih menyimpan rasa penasaran. "Baiklah, aku hanya ingin memastikan. Tak ada yang lebih penting daripada keluarga." Ia menatap keduanya dengan pandangan yang lebih lembut. Saka menghela napas, merasa sedikit lega, tetapi ia tahu bahwa kakeknya tetap akan menjaga jarak sampai ia merasa yakin dengan keadaan ini.
Saka kemudian mengalihkan pembicaraan. "Kakek, aku ingin berbicara tentang rencana bisnis yang perlu segera kita bahas." Ia mencoba untuk memfokuskan percakapan pada hal lain agar suasana menjadi lebih santai.
Namun, Jian An masih merasa gelisah. Ia ingin tahu lebih banyak tentang keluarga Saka dan apa yang diharapkan darinya dalam hubungan ini. Namun, ia tahu bahwa sekarang bukan waktu yang tepat untuk bertanya lebih banyak. Semua terasa begitu baru dan asing baginya.
***
Sesampainya di rumah besar Saka, Jian An merasa sedikit canggung. Rumah yang sangat luas itu terasa asing, dengan setiap sudutnya tampak mewah dan terawat. Ia diberikan kamar tamu yang berada di lantai dua, sebuah ruang besar dengan jendela besar yang menghadap ke taman depan rumah. Meskipun terasa nyaman, namun ada perasaan ganjil yang menggelayuti dirinya. Di satu sisi, ia merasa lega karena bisa tinggal di tempat yang aman, tetapi di sisi lain, peraturan yang diberikan Saka terasa agak membatasi kebebasannya.
Saka, yang sebelumnya sudah memberitahunya bahwa ada beberapa aturan yang harus dipatuhi, menjelaskan dengan tegas tentang privasi yang harus dijaga. "Kamar ini adalah milikmu sementara, tetapi jangan berpikir untuk keluar larut malam atau berjalan-jalan sendirian di luar rumah tanpa pemberitahuan. Aku juga meminta agar kamu mengunci pintu kamar setiap malam," ucap Saka, dengan nada yang agak serius. "Aku tahu ini mungkin terdengar aneh, tetapi ada alasan tertentu untuk semua ini."
Jian An hanya mengangguk, merasa kebingungannya semakin bertambah. Ia tidak tahu harus bagaimana menghadapi peraturan-peraturan ini, yang terkesan lebih mengarah pada proteksi berlebihan. "Kenapa harus begitu, Saka?" tanyanya pelan, meski ia sudah menahan rasa penasaran dalam hati.
Saka menatapnya dengan penuh perhatian. "Aku hanya ingin kamu aman. Tempat ini tidak seaman yang kamu kira, dan aku tidak ingin ada yang mencurigakan terjadi padamu. Selain itu, di rumah ini, banyak hal yang belum kamu ketahui, termasuk orang-orang yang bisa saja tidak terlalu ramah padamu."
Jian An merasa sedikit terkejut mendengar hal tersebut, tetapi ia juga bisa merasakan bahwa Saka benar-benar peduli padanya. Meski peraturan yang ditetapkan terkesan terlalu ketat, ia tahu bahwa Saka hanya ingin melindunginya dari segala hal yang berpotensi membahayakan. Namun, rasa penasaran tentang apa yang dimaksud Saka tentang "orang-orang yang tidak ramah" membuatnya semakin gelisah.
"Baiklah, aku mengerti," jawab Jian An akhirnya, meskipun ada perasaan campur aduk dalam dirinya. Ia tahu, hidupnya di rumah Saka akan penuh dengan hal-hal yang tidak ia mengerti, tapi satu hal yang pasti ia harus bisa menyesuaikan diri dengan kehidupan baru ini.
Malam semakin larut, dan suasana di kamar yang luas itu terasa hening. Jian An terbaring di atas ranjang, matanya tertuju pada langit-langit kamar yang dihiasi oleh lampu-lampu lembut yang memberikan kesan tenang. Namun, pikirannya tidak bisa terhenti berputar. Banyak hal yang memenuhi kepalanya, mulai dari peraturan aneh yang diberikan Saka, hingga perasaan asing yang ia rasakan di rumah ini. Ia merasa seperti seorang yang terjebak dalam dunia yang sangat berbeda, terpisah jauh dari dunia yang ia kenal.
Perutnya yang berbunyi pelan mengingatkannya pada satu hal yang lebih mendesak—lapar. Ia belum makan malam sejak pagi tadi dan perutnya mulai terasa kosong. Namun, Jian An ragu untuk turun ke dapur atau mencari makanan sendiri, karena ia tidak tahu apa yang diharapkan atau diizinkan di rumah ini. Apakah Saka mengharapkan ia tetap berada di kamar? Ataukah ada aturan lain yang harus diikuti?
Dengan perlahan, ia bangkit dari ranjang dan menatap ke arah pintu kamar. Dalam keheningan malam itu, suara-suara rumah yang besar ini semakin terasa mencekam. Jian An menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan dirinya. Ia merasa seakan berada di sebuah dunia yang berbeda, tempat yang jauh dari segala hal yang pernah ia kenal. Tapi, di saat-saat seperti ini, ia tidak bisa menahan perasaan kesepian yang datang begitu saja.
Dengan perlahan, Jian An keluar dari kamar dan menuju ke dapur, meskipun sedikit cemas. Dapur itu tampak bersih dan rapi, seolah siap menyambut siapa saja yang datang. Ia membuka lemari es dan menemukan beberapa bahan makanan yang tampak cukup untuk membuat makanan ringan. Namun, tiba-tiba ia teringat akan kata-kata Saka yang mengingatkan untuk tidak keluar rumah tanpa pemberitahuan—termasuk ke dapur.
"Apakah aku melakukan hal yang salah?" gumamnya pelan, sambil mengaduk-aduk bahan makanan yang ada. Ia merasa bingung, terperangkap dalam kebingungan tentang apa yang seharusnya ia lakukan di sini, apakah ia sudah melanggar aturan atau tidak. Tapi, perutnya yang lapar mengalahkan kebimbangannya, dan ia memutuskan untuk melanjutkan.
Ketika ia sedang sibuk dengan makanannya, suara langkah kaki terdengar di luar dapur, dan Jian An terhenti sejenak, menahan napas.
Jian An yang sedang sibuk menyiapkan makanan terkejut mendengar teriakan keras dari arah belakang. Tanpa sempat berbalik, ia merasa panik saat mendengar suara Saka yang jatuh ke lantai. Dengan cepat, ia berbalik dan melihat Saka terjatuh, matanya terpejam, dan tubuhnya tampak kaku. Jian An terperangah, merasa khawatir jika ada yang tidak beres.
Namun, yang membuatnya lebih bingung adalah reaksi Saka. Di matanya, ia melihat Saka terkejut, bahkan sangat terkejut, seolah ia baru saja melihat sesuatu yang mengerikan. Jian An menatap dirinya sendiri, berpakaian hianfu dengan rambut panjang yang terurai, dan ia langsung memahami apa yang terjadi. Pakaian tradisional itu memang memberikan kesan misterius, ditambah dengan rambut panjangnya yang tergerai. Dalam pandangan Saka, Jian An mungkin terlihat seperti hantu atau makhluk lain dari dunia lain.
Jian An mendekat dan memanggil nama Saka dengan cemas, "Saka, kamu kenapa?" Ia berusaha mengangkat tubuh Saka yang tergeletak di lantai, merasa panik karena tidak tahu apa yang harus dilakukan. Tapi, reaksi Saka benar-benar membingungkan—terlihat jelas bahwa ia sangat ketakutan, hingga membuatnya pingsan. Jian An merasa frustasi dan tak tahu harus bagaimana.
Dengan hati-hati, Jian An mencoba untuk menenangkan dirinya dan mengingat apa yang telah dia pelajari tentang dunia ini. Ia harus melakukan sesuatu untuk membangunkan Saka dan tidak membuat keadaan semakin buruk. Ia sedikit menepuk pipi Saka, berharap bisa membangunkannya. Namun, perasaan cemas dan bingung membuat langkahnya tidak yakin.
"Saka... bangunlah," ucapnya pelan, masih merasa tak percaya dengan reaksi Saka. Apakah ia benar-benar membuat kesalahan besar hanya karena penampilannya yang tidak biasa?