Pantas saja dia sudah merasa curiga pada sampul buku itu yang tidak biasa. Alih-alih sekedar buku cerita biasa, ternyata itu adalah buku kehidupan terbuka dari masa depan beberapa orang, termasuk Victoria Hain. Sebuah tokoh dengan nama yang sama dengannya.
Sebuah tokoh yang kini dihidupi oleh jiwanya.
“Astaga, jadi aku adalah kakaknya antagonis?”
Adalah informasi paling dasar dalam cerita ini.
Alih-alih sebagai pemeran utama, Victoria Feyar berakhir menjadi kakak dari antagonis perempuan bernama Victoria Hain, yang akan mati depresi karena sikap dingin suaminya.
“Baiklah, mari kita ceraikan Kakak protagonis pria sebelum terlambat.” Adalah rencana Victoria, demi melindungi dirinya dan adik pemilik tubuh dari dua Kakak beradik pencabut nyawa.
Untungnya ini berhasil, meski bertahun kemudian Victoria dibuat kesal, karena mereka tidak sengaja kembali terlibat dalam situasi utama pada konflik cerita itu dimulai.
“Kakak Ipar, mohon bantu kami....”
-
“Dalam mimpimu.” -- Victoria.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Blesssel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 8
Elena menatap mansion mewah di depannya dengan mata berbinar. Dalam hidup dia hanya bisa melihat hal seperti ini dari luar, tapi sekarang dia akan masuk dan melihat sendiri betapa megah mansion sang Bos.
Ekor mata Elena tanpa sadar kembali melirik Raphael. Sosok tegap itu ditambah dengan wajah rupawan benar-benar seperti cerita di negeri dongeng. Membuat Elena berharap dia adalah Cinderella nya.
“Sekretaris.” — “Sekretaris?” — “Sekretaris!”
“Hey kau dipanggil Pak Raphael.”
“Eh botak botak, apa?”
Elena melata seperti orang bodoh, manakala dikejutkan si supir dari khayalan. Raphael yang melihat ini kesal sekali sebenarnya, tapi dia memilih diam dan tidak mengatakan apapun.
“Maaf maaf Pak, saya, eh Pak—”
“Hei jaga sopan santunmu. Ini kediaman utama dan di dalam ada Nyonya, jadi bersikaplah sopan.”
Mendengar teguran dari Sang Supir lagi, Elena jelas tidak menerima. “Kau yang diam saja, kau itu hanya supir!” Hina Elena yang langsung melangkah mengekori Raphael masuk.
Ketika sesampainya mereka di dalam, para pelayan kediaman Hain segera bertindak keluar untuk membawa masuk barang-barang.
Sementara Elena yang melihat interior mewah bergaya klasik modern, sampai kesusahan menelan ludah.
“Dimana Nyonya?”
Pertanyaan ini membuat para pelayan saling menatap canggung. Bagaimana tidak, ini adalah pertama kalinya Raphael mempertanyakan Victoria, apalagi dengan caranya yang menggunakan kata Nyonya.
Tapi belum sempat mereka menjawab, Victoria tiba-tiba muncul dari arah pintu masuk. “Aku disini.”
Semua mata tertuju menatap Victoria yang tampil dengan rambut barunya. Raphael sendiri harus mengedipkan matanya beberapa kali, untuk memastikan dia tidak berhalusinasi.
Victoria memakai dress tertutup tapi tetap ketat dengan warna merah polos. Sebuah warna yang mendukung penampilan barunya, yang telah memiliki rambut oranye. Meski sedikit menyala, setidaknya sentuhan make-upnya tipis, nampak baik kali ini.
Raphael sendiri bingung harus bagaimana, Victoria jelas telah melakukan permintaanya untuk berpenampilan baik. Hanya entah kenapa, rambut oranye wanita itu tampak seperti pemberontak untuk Raphael. Tapi begitu tidak mungkin bagi dia mempermasalahkan hal itu di depan orang lain.
“Kamu darimana?”
“Aku baru tiba, ada sedikit urusan tadi. Oh, … dan siapa ini?”
Meski sempat terkejut dengan penampilan Victoria, Elena segera menguasai dirinya. Dia cukup percaya diri saat ini, karena walaupun Victoria cantik tapi menurut Elena dia terlalu gemuk, jadi dia merasa diri lebih baik.
“Saya Elena, Sekretaris pak Raphael.”
Elena tidak menyembunyikan niatnya. Saat mengatakan dia adalah sekretaris pak Raphael, dia memilih memandang Raphael daripada Victoria. Sebuah sikap kecil yang bisa menjadi aneh sebenarnya.
Tapi Victoria yang mendengar nama itu, teringat sebuah karakter bodoh dan ceroboh yang menyukai Raphael juga.
Victoria tanpa sadar menarik senyuman remeh yang ditangkap Elena. Langsung saja, hal ini memprovokasi harga diri Elena yang memang tidak seberapa.
“Dia membantuku membawa barang kemari.”
Victoria mengangguk, tidak mengerti kenapa Raphael repot-repot menjelaskan. Namun saat dia kembali menatap Elena, ada sebuah perasaan nakal yang ingin melihat seberapa konyol wanita itu akan pergi.
“Kalau begitu kau pasti lelah, bagaimana kalau ikut duduk makan bersama kami?”
Alis Raphael mengernyit, dia hendak menolak ide itu tapi kalah cepat dengan Elena yang berburu kesempatan. “Terimakasih atas tawarannya Nyonya.”
Victoria tersenyum dan mengangguk, mengajak Elena ke ruang makan.
“Victoria aku ingin bicara,” tahan Raphael.
Tapi meskipun Raphael berujar pada Victoria, Elena menjadi yang pertama memandang dengan ekspresinya yang mengeras. Hal yang ditangkap Victoria ini, membuatnya hampir tertawa di tempat.
“Mm, … Pelayan tolong antar Nona Elena ke ruang makan lebih dahulu.”
Tahu bahwa mata Elena masih tak melepaskan dirinya, Victoria menaruh tangan di lengan Raphael, yang jelas juga membuat Raphael terkejut.
Dia hanya bisa memandang dan terus memandang, ditengah kebingungannya dibawah ke ruang makan. Tapi tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan, Elena mencoba mengorek informasi dari para pelayan. “Istri pak Hain benar-benar cantik dan baik, kalian pasti sangat terjamin bekerja disini.”
Pujian ini jelas mengundang decakan para pelayan, apalagi mereka sedang panas-panasnya belakangan ini.
“Ya begitulah Nona, yang diketahui orang lain tentang kami.”
Elena terkejut, tapi wajahnya masih mempertahankan kepolosan. “Maaf, aku tidak mengerti maksudmu? Itu terdengar seperti, … ah sudahlah.”
Salah seorang pelayan yang paling muda di antara mereka yang ada, tidak bisa menahan diri untuk bergosip. Dia mendekati Elena dan berbisik sesuai keinginan wanita itu.
“Soal gaji kami memang terjamin, tapi kesejahteraan lebih baik jangan ditanya. Nyonya adalah orang yang jahat yang suka menggunakan kekerasan.”
“Apa—”
“Shut. Jangan katakan apapun. Ini adalah rahasia baru-baru ini.”
Mata Elena membola tak percaya. Dia memang menduga pasti ada sisi gelap dari Istri sang Bos, hanya tidak menyangka itu akan menjadi seseorang yang suka menggunakan kekerasan.
Begitu saja, dan dengan mudahnya Elena mendapatkan informasi dalam waktu yang singkat. Hingga dia dikejutkan dengan dua remaja yang baru tiba.
•
•
Sementara Raphael tadinya berpikir akan menyingkirkan tangan Victoria saat mereka akan bicara. Tapi siapa sangka, Victoria langsung melepaskan pada saat tidak ada orang lain tadi. Seolah-olah dia hanya ingin menunjukkan pada orang lain.
“Kenapa menahan pekerjaku?”
“Memangnya ada apa? Dia sudah membantumu.”
“Dan dia dibayar untuk itu! Jadi tidak perlu makan seperti ….” Kata-kata Raphael tertahan.
Berbeda dengan para petinggi perusahaan yang begitu terhubung dengan sekretarisnya. Bagi Raphael pekerjaan hanya akan sampai pada pekerjaan.
“Sudahlah, ayo kembali.” Raphael sedikit pasrah karena kerterlanjuran, jadi dia menjadi yang pertama berbalik untuk kembali.
Dibelakangnya ada Victoria yang ikut berjalan, ketika sebuah pikiran membuat langkahnya tiba-tiba terhenti.
PAK.
Tidak ada adegan romantis. Victoria yang kepalanya membentur punggung keras Raphael, tidak terima dan langsung melayangkan pukulan disana.
Raphael jelas terkejut dengan pukulan yang membuat panas punggungnya, tapi dia hanya bisa berbalik dengan nafas tertahan
“Refleksmu semakin bagus saja rambut oranye.”
Sindiran ini membuat Victoria tanpa sadar cengengesan. Dia baru ingat, telah memukul kartu banknya. Syukur tidak patah, guyon Victoria di hatinya.
Menunjukkan deretan gigi putihnya, Victoria berujar. “Maaf, aku tidak sengaja. Tolong jangan marah hehe ….”
Kedua alis Raphael semakin menyatu tidak senang, tapi dia memilih melupakan. Baik melupakan pukulan ini atau rambut oranye yang mengganggunya.
“Mari tampil baik bersama saat ada orang lain,” ujarnya yang mendapat anggukan mantap Victoria.
Sederhana, tapi keduanya dengan cepat mencapai kesepakatan. Padahal sebelum ini, sulit bagi Raphael untuk tampil kompak bersama Victoria meski dia telah meminta, apalagi khusus di depan Kakeknya. Ini semua karena Victoria yang bisa menjadi emosional tanpa alasan, sebelummya. Yang akan selalu menjadi gila jika melihat perempuan lain disekitar Raphael, meski Raphael bahkan tidak mengenal mereka.
Tapi kini, melihat oranye yang berjalan di depannya, Raphael tanpa sadar membuang nafas lega. Dia memang membenci Victoria, tapi seharusnya tidak akan begitu benci andai sebelumnya mereka bisa bekerja sama. Bagaimanapun dia tahu, walau Victoria menjebaknya, tapi pernikahan mereka tidak lepas dari paksaan sang Kakek yang juga ingin dia segera menikah.