Diaz, CEO yang menjual bunga dan coklat setiap hari Sabtu. Dia mencari wanita yang cocok dengan sepatu kaca biru milik ibunya. Apa sebenarnya tujuan mencari wanita itu? Memangnya tidak ada wanita lain? Bukankah bagi seorang CEO sangat mudah mencari wanita mana pun yang diinginkan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon El Nurcahyani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bertambah Saingan
Bab 24
Diaz menghela napas panjang, mencoba tetap tenang menghadapi kemarahan ayahnya. Di hadapan Gunawan yang masih memaksakan kehendak, dia berkata dengan nada tegas, "Aku tahu aturan alih fungsi TPU, dan aku masih memiliki etika untuk tidak memaksakan aturan yang salah, meskipun itu memungkinkan."
Gunawan menatap anaknya dengan penuh kekecewaan, namun memilih untuk menyimpannya dalam hati.
"Anak ini terlalu lunak, tidak seperti aku," batinnya. Percuma melanjutkan perdebatan.
"Argh, terserah kau saja," gumam Gunawan akhirnya. "Tapi ingat, hasil lelang itu seharusnya aku yang dapatkan. Aku yang dari awal mengurus perizinan ke pemerintah kota."
"Terserah Papa," jawab Diaz dingin, lalu melirik arlojinya. "Oh ya, maaf, Pah, aku masih banyak urusan. Permisi."
Diaz berlalu begitu saja, membuat Gunawan tersinggung. Namun, pria tua itu hanya bisa mengeluh dalam hati.
"Dia sama sekali tidak menghormati ayahnya sendiri. Apa yang ada di pikirannya?"
Diaz kembali bergabung dengan tim Asher yang tengah menikmati jamuan makan. Dia menghampiri Tuan Asher yang sedang berdiri di dekat meja besar dengan segelas anggur di tangannya.
"Tuan Asher," panggil Diaz dengan nada formal namun sopan. "Terima kasih sudah mempertahankan TPU itu. Sejujurnya, saya juga tidak setuju jika makam itu dibongkar."
Tuan Asher menoleh, tampak tertarik. "Kenapa? Apa ada alasan khusus?"
Diaz terdiam sejenak, lalu melanjutkan dengan nada yang lebih pelan, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri. "Di sana ada makam seseorang yang sangat berarti bagi saya."
Tuan Asher mengerutkan kening, penasaran. "Siapa dia?"
Diaz terlihat ragu, tetapi akhirnya menjawab. "Ini tentang masa lalu. Di TPU itu, ada adik dari seorang yang sangat berarti bagi saya."
Di tengah keramaian itu, tanpa disadari Diaz, Eriva yang sedang menikmati sajian di dekat mereka tak sengaja mendengar percakapan tersebut. Telinganya menangkap setiap kata, dan rasa ingin tahunya langsung muncul.
"Maaf, Tuan Asher, jika saya terlalu banyak bicara," kata Diaz sambil tersenyum tipis. "Ini urusan pribadi."
Tuan Asher tersenyum, memandang Diaz dengan penuh penghargaan. "Orang yang berarti bagimu... Apakah itu cinta pertamamu?"
Diaz sedikit terkejut dengan tebakan itu. Wajahnya memerah, meskipun dia berusaha tetap tenang.
"Dulu mungkin bukan," jawabnya dengan kikuk. "Dia teman kecilku. Tapi sekarang... Jika dia kembali, mungkin aku akan menjadikannya teman seumur hidup. Rindu ini sepertinya bukan sekadar rindu."
Tuan Asher menepuk pundak Diaz dengan penuh kekaguman. "Kau pemuda yang hebat, Diaz. Tangguh, punya prinsip, tapi tetap memiliki hati yang lembut."
Belum sempat Diaz menjawab, Lili datang menghampiri mereka dengan langkah pelan. "Papi," sapa Lili pada Tuan Asher.
Tuan Asher tersenyum. "Dari mana saja kamu?"
Lili menjawab dengan nada santai, "Baru saja bertemu Mami. Aku baru sadar kenapa Mami tidak ikut ke sini. Bukankah dia pebisnis juga?"
Tuan Asher terkekeh. "Mamimu lebih suka bekerja di belakang layar. Dia sibuk dengan laptopnya. Lagipula, dia tidak terlalu nyaman berada di tempat seramai ini."
Beberapa saat kemudian, salah satu teman Tuan Asher memanggilnya dari sudut lain ruangan. Dengan sopan, dia berpamitan kepada Diaz dan Lili, meninggalkan mereka berdua.
Suasana menjadi canggung saat hanya Diaz dan Lili yang tersisa. Lili mencoba membuka pembicaraan, meskipun terlihat gugup.
"Sepatu ini..." katanya pelan, menunjuk ke arah sepatunya. "Apakah Anda yang menyuruh Samir memberikannya pada saya?"
Diaz menatap Lili dengan tatapan dingin, tetapi di balik itu ada kilatan perhatian yang sulit disembunyikan. "Kalau iya, kenapa?" tanyanya dengan nada ketus, tegas, namun penuh peduli.
Lili terdiam, tidak tahu harus menjawab apa. Dia takut ketahuan bahwa dia sebenarnya adalah Leri, teman kecil Diaz. "Tidak, hanya... Saya penasaran saja," jawab Lili akhirnya.
Diaz memalingkan wajahnya, terlihat tidak ingin melanjutkan pembicaraan. "Samir hanya melakukan tugasnya. Jangan terlalu memikirkan hal lain."
Lili menggigit bibirnya, menahan rasa gugup yang semakin menjadi. Dia tahu, Diaz adalah pria yang sulit ditebak, dan semakin lama berada di dekatnya, semakin besar rasa takutnya untuk mengungkapkan jati dirinya yang sebenarnya.
"Oh ya, anda tahu dari mana kalau aku sedang bermasalah dengan sepatu?" tanya Lili lagi, dia benar-benar penasaran.
"Kita bicarakan bisnis saja. Tentang sepatu, anggap saja itu takdir. Gak perlu terus dibahas."
Lili merasa gak enak hati, Diaz begitu dingin padanya. Dia mengambil tabletnya. Dan mencari file yang akan dibahas.
"Proyek pembangunan rumah sakit di tepi pantai ini, kurasa bagian desain eksteriornya perlu sedikit perubahan, Tuan Diaz," ucapnya sambil menunjuk beberapa sketsa yang terlihat. "Konsep minimalisnya bagus, tapi bagaimana jika kita tambahkan beberapa elemen natural seperti tanaman merambat di beberapa sisi bangunan? Itu akan memberikan kesan lebih hidup dan selaras dengan alam. Nyama untuk pasien dan kerabat yang besuk."
Diaz mengangguk pelan, memperhatikan dengan saksama. "Itu ide yang bagus. Tapi jangan lupa, desain ini harus tetap memiliki daya tarik premium. Kita harus pastikan setiap elemen terlihat elegan."
Lili tersenyum. "Tentu. Saya akan minta tim arsitek untuk menyesuaikan desainnya tanpa mengorbankan kesan mewah, dan disesuaikan dengan barang-barang yang didistribusikan."
Diaz melipat tangannya di dada, mempertimbangkan. "Bagaimana dengan progress izin lingkungannya? Terakhir kali saya cek, kita masih menunggu persetujuan dari pemerintah daerah."
"Oh, itu sudah beres pagi tadi," jawab Lili cepat. "Papi sudah menghubungi pihak terkait. Sekarang tinggal menunggu laporan final."
Diaz tampak puas. "Bagus. Kalau begitu, kita bisa segera masuk ke tahap pemetaan lahan."
Sebelum pembicaraan mereka berlanjut lebih jauh, suara langkah kaki mendekat. Eriva muncul, diikuti oleh Monica. Keduanya terlihat anggun, namun tatapan mereka penuh niat tersembunyi.
"Ah, Tuan Diaz," sapa Eriva dengan senyum manis. "Kami hanya ingin menyapa. Tidak menyangka bertemu Anda di sini."
Diaz mengangguk tipis, menunjukkan sikap formal. "Eriva. Monica."
Lili menoleh, jelas mengenali mereka. Wajahnya menegang sejenak, mengingat insiden tadi pagi. Namun, dia memilih untuk tetap tenang.
Eriva dan Monica berpura-pura terkejut. "Lili?!" seru Monica dengan nada dibuat-buat. "Jadi... Anda adalah putri dari Tuan Asher? Kami benar-benar tidak tahu!"
Lili memandang mereka dengan pandangan datar. "Iya, aku memang putri beliau. Tapi, tidak ada hubungannya dengan apa yang terjadi tadi."
Eriva segera mengulurkan tangan dengan ekspresi penuh rasa bersalah. "Oh, tentu saja! Kami hanya ingin meminta maaf atas kesalahpahaman itu. Kami benar-benar menyesal."
"Benar," tambah Monica. "Tadi itu, kami terlalu terburu-buru dan salah menilai Anda. Kami harap Anda bisa memaafkan kami."
Lili menghela napas pendek. "Baiklah, aku terima permintaan maaf kalian."
Ketegangan sedikit mencair, dan mereka mulai berbincang dengan nada yang lebih santai. Namun, tiba-tiba Lili berkata, "Maaf, saya harus ke toilet sebentar."
Monica, yang melihat peluang, langsung menawarkan diri. "Aku antar ya, Lili. Gedung ini cukup besar, dan aku yakin Anda belum terlalu familiar dengan tempat ini."
Lili mengangguk, tersenyum kecil. "Terima kasih. Aku memang belum tahu seluk-beluk gedung ini."
Eriva, yang tidak ingin ketinggalan, ikut menimpali. "Sekalian saja, aku juga mau ke toilet."
Diaz, yang sedari tadi memperhatikan, akhirnya angkat bicara dengan nada khasnya yang tegas namun berwibawa. "Bagus kalau kalian bisa saling kenal dan menjalin hubungan baik."
Diaz lalu berdiri, menyesap anggur di gelasnya, sebelum menambahkan, "Aku pergi."
Dia melangkah pergi dengan tenang, meninggalkan ketiganya. Namun, di balik sikap santainya, Diaz merasakan ada persaingan di antara tiga wanita itu.
Huft ... begitulah wanita. Selalu mempermasalahkan yang tidak penting.
Bersambung....