Sandra, gadis yang hidup sengsara di keluarga kaya Hartawan. Sejak kecil, ia diperlakukan kejam oleh orang tuanya, yang sering memukul, menyalahkannya, dan bahkan menjualnya kepada pria-pria tua demi uang agar memenuhi ambisi keuangan orang tuanya. Tanpa Sandra ketahui, ia bukan anak kandung keluarga Hartawan, melainkan hasil pertukaran bayi dengan bayi laki-laki mereka
Langit, yang dibesarkan dalam keluarga sederhana, bertemu Sandra tanpa mengetahui hubungan darah mereka. Ketika ia menyelidiki alasan perlakuan buruk keluarga Hartawan terhadap Sandra, ia menemukan kenyataan pahit tentang identitasnya. Kini, Langit harus memilih antara mengungkapkan kebenaran atau tetap bersama Sandra untuk melindunginya. Sementara Sandra, cinta pertamanya ternyata terikat oleh takdir yang rumit bersamanya.
#foreducation
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Littlesister, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dufan
Beberapa hari kemudian, Damar bertemu dengan orang tuanya untuk membahas rencana menggugurkan kandungan Sandra. Namun, kali ini, ia mulai ragu dengan rencana tersebut karena perasaannya kepada Sandra yang semakin dalam.
"Jadi, Mar. Kamu sudah siap menjalankan rencana itu? Kalau tidak sekarang, makin lama akan makin susah." tanya Ibu Damar.
"Bu, aku nggak yakin. Aku nggak tega sama Sandra. Dia udah ngerasa seneng banget sama bayi ini." jawab Damar ragu.
"Damar, kalau kamu nggak siap jadi ayah, kamu harus segera ambil keputusan. Kita semua tahu rencana ini bukan cuma buat kamu, tapi juga buat nama baik keluarga kita." jelas Ayah Damar.
"Tapi, Ayah, aku nggak bisa terus-terusan mikirin nama baik keluarga doang. Sandra udah banyak berkorban buat hubungan ini. Aku nggak mau nyakitin dia lebih jauh." ucap Damar.
"Kalau kamu memang sayang sama Sandra, kenapa nggak coba pikirkan ulang rencana ini? Tunda sampai dua bulan lagi. Tapi ingat, anak itu tanggung jawab besar. Jangan sampai kamu nyesel di kemudian hari. Kalau sampai kamu gak tega sama dia, sampai bulan kesembilan. Maka kamu harus siap-siap mengadopsi anak agar Sandra tidak curiga" nasihat Ibu Damar.
Damar terdiam, kebingungan dengan perasaannya sendiri. Di satu sisi, ia semakin mencintai Sandra, tetapi di sisi lain, ia merasa belum siap untuk menjadi seorang ayah.
Setelah kembali dari honeymoon, Damar mulai menunjukkan sikap yang lebih lembut dan perhatian terhadap Sandra. Hubungan mereka menjadi lebih hangat, meskipun masih ada ketidakseimbangan dalam perasaan. Suatu pagi, saat mereka sedang sarapan, Sandra mengutarakan kekhawatirannya tentang tubuhnya yang semakin membesar.
"Mas, kamu sadar nggak kalau badan aku sekarang makin gede? Apalagi perut aku. Aku ngerasa aneh tiap kali lihat kaca." tanya Sandra cemas.
"Gede apanya? Kamu masih keliatan cantik kok. Nggak usah khawatir soal itu." jawab Damar.
"Tapi beneran, Mas. Aku nggak nyaman. Aku jadi nggak percaya diri." cemas Sandra.
"Sayang, dengerin aku. Kamu tuh sempurna. Kamu nggak perlu diet atau apa pun buat keliatan bagus. Aku suka kamu apa adanya." jelas Damar.
"Kamu serius, kan? Jangan cuma ngomong buat nyenengin aku." tanya Sandra.
"Ya iyalah, serius. Aku nggak bohong. Kamu tetep cantik, walaupun kamu bilang badan kamu makin gede." jawab Damar.
Sandra sedikit tersenyum lega mendengar pujian Damar. Namun, di dalam hati Damar, ia masih memikirkan tentang kehamilan Sandra dan tanggung jawab besar yang menunggunya sebagai calon ayah. Perasaan campur aduk terus mengganggunya.
Satu minggu berlalu, dan tubuh Sandra semakin membesar karena ia dilarang untuk diet oleh Damar. Suatu malam, saat mereka bersiap tidur, Sandra memandang tubuhnya di cermin dengan tatapan ragu. Damar mendekatinya dari belakang.
"Mas, kamu liat deh. Aku makin nggak keliatan kayak diri aku sendiri. Aku takut kamu nggak suka sama aku lagi." ucap Sandra.
"Kamu ngomong apa sih? Aku suka semuanya tentang Kamu. Kamu nggak perlu khawatir soal itu." jelas Damar.
"Kamu bener? Kamu nggak malu punya istri kayak aku?" tanya Sandra.
"Nggak ada yang perlu aku malu-in, Sayang. Kamu itu spesial. Aku malah bangga sama kamu." jawab Damar.
Meskipun merasa lebih tenang, Sandra tetap menyimpan rasa tidak percaya diri. Ia tidak tahu bahwa Damar masih dilanda dilema tentang masa depan mereka, terutama mengenai kehamilan yang semakin jelas terlihat.
Dua hari sebelum wisuda Langit dan yang lainnya. Di ruang tamu rumah mereka, Sandra duduk dengan cemas di depan Damar yang sedang membaca koran. Ia mengumpulkan keberanian untuk meminta izin agar bisa bertemu teman-temannya sebelum mereka semua lulus. Damar meletakkan korannya saat mendengar permintaan Sandra.
"Mas, aku mau ngomong sesuatu. Besok teman-teman aku bakal kumpul terakhir kali sebelum mereka wisuda. Aku pengen ikut, kalau kamu izinin." ucap Sandra.
"Kenapa kamu harus ikut? Mereka kan cuma teman. Bukannya sekarang hidup kamu cuma buat aku dan anak yang kamu kandung?" tanya Damar.
"Mas, aku cuma pengen ketemu mereka sekali ini aja. Setelah ini, mereka semua bakal sibuk dengan hidup masing-masing. Aku janji nggak akan lama."
Damar terdiam sejenak, berpikir. Awalnya ia ingin menolak, tetapi ide licik muncul di benaknya. Jika Sandra bertemu teman-temannya, terutama Langit, ia bisa memanfaatkan situasi ini untuk membuat Sandra merasa bersalah dan menyesal ketika ia kelelahan setelah berkumpul bersama. Dengan begitu, rencana pengguguran akan lebih mudah dijalankan.
"Ya udah, aku izinin. Tapi inget, jangan lama-lama, dan jangan bikin aku khawatir." ucap Damar.
"Makasih, Mas. Aku janji nggak bakal lama." balas Sandra.
Suasana pagi di Ancol cerah, dan suara riuh pengunjung sudah mulai memenuhi area Dufan. Langit, Raffi, Sandra, dan teman-teman lainnya memutuskan untuk berkumpul di pintu masuk taman bermain. Sandra, meskipun merasa sedikit canggung karena melihat perubahan bentuk tubuhnya yang semakin membesar, tetap berusaha menikmati momen ini.
"Akhirnya kumpul lengkap lagi, ya. Habis ini, Langit bakal ninggalin kita ke Kanada. Jadi, kita harus bikin hari ini jadi momen yang nggak terlupakan." ucap Raffi.
"Setuju banget! Kita harus bikin Langit teriak-teriak di wahana biar dia inget sama kita terus, hahaha." timpal Gina.
"Iya, iya. Lo pada bebas ngerjain gue hari ini. Tapi gue nggak bakal naik wahana yang terlalu ekstrem, ya." balas Langit.
"Aduh, Ngit. Nggak ada cerita ke Dufan tanpa naik wahana ekstrem. Lo harus naik Halilintar sama Hysteria!" ledek Leo.
"Oke, gue nggak janji bakal tahan, tapi gue bakal coba." ucap Langit setuju.
Mereka memulai dengan wahana Halilintar. Saat antre, Sandra tampak ragu-ragu, tapi Raffi dan Gina terus menyemangatinya.
"Sandra, lo nggak boleh takut. Ini seru banget, gue jamin. Kalau Langit bisa, lo juga pasti bisa." ucap Raffi
"Benar! Gue juga takut pertama kali, tapi sekarang malah nagih." sambung Gina.
"Iya, iya. Aku coba, deh. Tapi kalau aku teriak sepanjang perjalanan, jangan ketawain aku, ya." jelas Sandra.
Mereka naik ke wahana, dan saat kereta mulai bergerak, semua terlihat tegang. Ketika wahana meluncur dengan cepat, teriakan mereka terdengar bersahut-sahutan.
"Ngit, lo teriak juga, kan? Jangan pura-pura berani, hahaha!" teriak Raffi.
"Gue nggak teriak, Raffi! Ini suara gue biasa!" jelas Langit.
Sandra, yang tadinya terlihat takut, akhirnya menikmati wahana itu. Setelah selesai, mereka semua turun dengan wajah lega tapi puas.
"Aku nggak nyangka itu ternyata seru banget. Tadi gue pikir bakal pingsan di tengah jalan!" kagum Sandra.
"Aku juga. Tapi nggak apa-apa, pengalaman pertama yang nggak bakal aku lupain." timpal Langit.
Setelah beberapa wahana, mereka berhenti sejenak di depan ikon Dufan untuk berfoto bersama. Raffi memegang ponsel dan mengatur semua orang.
"Oke, semua kumpul di sini. Kita harus bikin foto ini jadi kenangan sebelum Langit cabut ke Kanada." jelas Raffi.
"Ngit, lo harus senyum lebar, ya. Jangan jaim!" ucap Gina.
"Tenang aja, gue selalu fotogenik." sombong Langit.
"Iya, Langit. Kamu harus kelihatan bahagia, biar nanti di Kanada kamu inget kalau kita semua dukung kamu." timpal Sandra.
Setelah beberapa kali foto, mereka melanjutkan ke wahana lain seperti Bianglala dan Istana Boneka. Suasana semakin akrab, dan mereka semua menikmati kebersamaan ini.
Setelah puas bermain, mereka duduk di area istirahat sambil menikmati minuman dingin dan camilan. Sandra duduk di samping Langit, dan suasana terasa lebih santai.
"Ngit, lo pasti bakal kangen banget sama kita semua, kan? Jangan lupa kabarin kita kalau udah sampai di Kanada." ucap Gina.
"Pasti, lah. Lo semua nggak bakal gue lupain. Lo tau kan, gue orangnya sentimental." balas Langit.
"Eh, Ngit, lo beneran nggak takut ninggalin semuanya di sini? Kan di sana lo sendirian." tanya Raffi.
"Awalnya pasti berat. Tapi gue tahu ini yang terbaik buat masa depan gue. Lagian gue masih bisa ngobrol sama kalian lewat WhatsApp." jawab Langit.
"Kami semua bakal dukung kamu, Langit. Aku yakin kamu bakal sukses di sana." timpal Sandra.
"Makasih, Sandra. Itu berarti banget buat aku." balas Langit.
Semua teman tersenyum mendengar percakapan itu, meskipun ada rasa sedih yang mulai terasa karena mereka tahu perpisahan ini tidak akan mudah.
Di sebuah sudut di Dufan, Sandra dan Langit duduk di bangku taman setelah mencoba beberapa wahana bersama teman-teman. Teman-teman mereka masih sibuk mencoba wahana lain, sementara Sandra terlihat ragu untuk membuka pembicaraan. Ia memegang sebuah kotak kecil di tangannya.
"Langit, aku punya sesuatu buat kamu." ucap Sandra.
"Buat aku? Apaan, San? Kamu nggak perlu repot-repot." tanya Langit.
"Aku cuma pengen kasih ini. Anggap aja sebagai kenang-kenangan. Makasih karena kamu udah selalu ada buat aku, dan... maaf kalau selama ini aku sering bikin kamu kecewa." jelas Sandra seraya memberikan sebuah kotak kecil.
Langit membuka kotak itu dan melihat sebuah jam tangan yang sederhana tapi elegan. Ia menatap Sandra dengan ekspresi campur aduk.
"Sandra, ini terlalu berharga. Kamu nggak harus ngasih aku apa-apa." sambung Langit.
"Aku pengen, Langit. Aku nggak tahu kapan kita bisa ketemu lagi setelah kamu ke Kanada. Aku cuma mau kamu inget aku, walaupun cuma lewat jam ini." jelas Sandra.
Langit terdiam, lalu mengenakan jam tangan itu di pergelangan tangannya. Ia tersenyum kecil, meskipun ada rasa sedih di matanya.
"Aku nggak bakal lupa, San. Tapi kamu janji, ya. Kalau suatu saat kamu butuh aku, kamu jangan ragu buat ngasih tahu aku." ucap Langit
"Janji." balas Sandra
Setelah hari yang menyenangkan bersama teman-temannya di Dufan, semua orang mulai berpisah untuk pulang. Awan yang terlihat mendung, dan hujan deras tiba-tiba turun. Sandra tidak membawa payung, jadi ia berlari menuju halte bus. Bajunya basah kuyup, dan tubuhnya mulai kedinginan. Di halte, ia bertemu Langit yang baru saja memarkir mobilnya di dekat sana.
"Sandra? kamu kehujanan? Kamu nggak bawa payung?" tanya Langit.
"Nggak. Aku nggak nyangka bakal hujan sederas ini." jawab Sandra.
"Kamu nggak bisa naik bus dalam keadaan kayak gini. Kamu bakal sakit. Aku anterin pulang, ya." tawar Langit.
"Nggak usah, Langit. Aku bisa sendiri." tolak Sandra.
"Nggak, Sandra. Aku nggak bisa biarin kamu pulang kayak gini. Udah, masuk ke mobil aku." tegas Langit.
Sandra ragu, tapi akhirnya ia setuju karena tubuhnya sudah terlalu dingin dan ia memikirkan kondisi bayinya. Sandra mengantarnya pulang dengan mobilnya. Sepanjang perjalanan, Sandra terlihat cemas.
"Langit, aku takut Damar bakal marah kalau dia tahu aku pulang sama kamu." cemas Sandra.
"Sandra, kamu nggak ngelakuin apa-apa yang salah. Aku cuma bantu kamu. Kalau Damar nggak bisa terima itu, berarti dia yang salah." jelas Langit.
Setibanya di rumah, Sandra turun dari mobil Langit dengan perasaan khawatir. Ia mengetuk pintu rumahnya, dan Damar membukakan pintu. Wajah Damar langsung berubah menjadi marah saat melihat Sandra basah kuyup.
"Sayang, kamy ngapain pulang basah kuyup kayak gini? Dan kenapa kamu turun dari mobil orang lain? Itu Langit, kan?" selidik Damar.
"Mas, aku kehujanan. Langit cuma nolongin aku. Aku nggak bisa naik bus dalam keadaan basah begini." jelas Sandra.
"Nolongin kamu? Apa aku keliatan bodoh? Kamu pikir aku nggak ngerti apa yang kamu lakuin? Aku udah selingkuh sama dia, kan?" cecar Damar
"Mas, aku nggak selingkuh. Aku nggak ngelakuin apa-apa. Kamu salah paham." sambung Sandra.
"Salah paham? Kamu pikir aku nggak tahu apa-apa soal hubungan lo sama dia? Kamu sengaja ketemu dia di Dufan, kan? Kamu pikir aku nggak lihat gimana kamu ngeliatin dia?" bentak Damar
Sandra terdiam, merasa tidak berdaya. Bukannya khawatir dengan keadaannya yang basah kuyup, Damar malah terus menyerangnya dengan tuduhan yang menyakitkan.
"Aku cuma pengen ketemu teman-teman gue, Mas. Langit nggak salah apa-apa. Dia cuma nolong aku." jelas Sandra.
"Nolong? Kamu selalu punya alasan buat deket-deket sama dia. Tapi aku nggak bakal biarin kamu ngelakuin ini lagi." ancam Damar.
Setelah Sandra turun dari mobil dan mengetuk pintu rumah, Langit memutuskan untuk tidak langsung pergi. Ia merasa tidak tenang meninggalkan Sandra dalam kondisi seperti itu. Dari luar, Langit mendengar suara Damar yang tinggi, membuatnya khawatir. Ia berjalan ke pintu dan mendengar percakapan mereka.
"Damar, buka pintunya sekarang!" teriak Langit.
Damar membuka pintu dengan wajah marah, tetapi Langit langsung masuk tanpa menunggu izin.
"Apa lagi yang lo mau, Ngit? Lo udah cukup ngerebut waktu gue sama istri gue!" tanya Damar
"Lo dengerin gue baik-baik, Damar. Gue nggak ngerebut siapa pun. Gue cuma bantu Sandra, yang jelas-jelas tadi kehujanan dan kedinginan. Kalau lo bener-bener peduli sama dia, lo harusnya khawatir, bukan malah ngehina dia kayak gini!" jawab Langit kesal.
"Khawatir? Lo pikir lo siapa buat ngajarin gue gimana caranya ngurus istri gue? Lo pikir gue nggak tahu lo masih suka sama dia?" cibir Damar
"Gue emang peduli sama Sandra, tapi itu nggak ada hubungannya sama lo! Yang ada di sini lo yang salah. Lo malah mikir yang nggak-nggak, bukannya nanya gimana keadaannya." kesal Langit.
"Langit, udah. Aku nggak mau ada masalah lagi." potong Sandra.
"Sandra, kamu nggak salah. Jangan biarin dia bikin lo ngerasa bersalah atas sesuatu yang lo nggak lakuin." jelas Langit.
"Gue tahu gue bukan siapa-siapa buat lo. Tapi lo harus tahu satu hal: Sandra pantas diperlakukan lebih baik. Kalau lo terus-terusan kayak gini, jangan salahin gue kalau suatu saat dia nggak tahan lagi sama lo." ancam Langit.
Damar terlihat kesal, tetapi tidak bisa membalas perkataan Langit. Ia hanya mendengus dan melangkah pergi ke ruang lain, meninggalkan Langit dan Sandra di ruang tamu.
"Sandra, aku minta maaf kalau aku bikin keadaan jadi makin buruk. Tapi aku nggak bisa diem aja liat dia ngerendahin kamu kayak tadi." ucap Langit
"Kamu nggak salah, Langit. Aku cuma... aku cuma nggak tahu gimana caranya bikin dia ngerti. Aku capek." jelas Langit.
"Kalau kamu butuh apa-apa, aku tahu kamu bisa hubungin aku, kan? Aku nggak bakal tinggal diam kalau kamu kesulitan." timpal Sandra.
"Makasih, Langit. Aku tahu aku bisa selalu ngandelin kamu." ucap Sandra
Langit mengangguk pelan, lalu berbalik untuk pergi. Ia tahu bahwa ini bukan tempatnya untuk campur tangan lebih jauh, tetapi di dalam hatinya, ia bersumpah untuk tetap melindungi Sandra, apapun yang terjadi.