Di sebuah taman kecil di sudut kota, Sierra dan Arka pertama kali bertemu. Dari obrolan sederhana, tumbuhlah persahabatan yang hangat. Setiap momen di taman itu menjadi kenangan, mempererat hubungan mereka seiring waktu berjalan. Namun, saat mereka beranjak remaja, Sierra mulai merasakan sesuatu yang berbeda. Perasaan cemburu tak terduga muncul setiap kali Arka terlihat akrab dengan gadis lain. Akankah persahabatan mereka tetap utuh, ataukah perasaan yang tumbuh diam-diam akan mengubah segalanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon winsmoon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28
Arka menceritakan serangkaian kejadian yang mengantarnya hingga akhirnya bisa makan malam bersama Siera. Jevian, yang mendengarkan dengan penuh perhatian, tampak sangat terkejut dan hampir tidak bisa percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
“Gila… Pak. Jadi lo udah dijodohin sama Siera?” tanya Jevian sambil menatap Arka dengan mata membelalak tak percaya.
“Iya,” jawab Arka singkat, sambil mengangkat bahu. “Seperti yang gue bilang tadi.”
“Terus, Siera… dia udah nerima lo?” Jevian mencondongkan tubuh ke depan, ingin memastikan ceritanya benar.
Arka mengangguk perlahan.
Jevian membuang napas panjang sambil menggeleng pelan, mencoba mencerna semua itu. “Lo beneran beruntung, sih. Tapi gimana ceritanya sampai Siera bisa nerima lo?”
Arka tersenyum tipis, seolah mengingat sesuatu yang lucu. “Panjang ceritanya, Jev. Tapi intinya… ini semua berkat orangtua kita berdua.”
Jevian mengangkat alis, tampaknya mulai memahami situasi dengan lebih baik. “Wah, nggak sia-sia lo balik ke Indonesia, ya,” komentarnya sambil tersenyum jahil, seolah-olah menyadari bahwa keputusan Arka untuk kembali bukan tanpa tujuan.
“Emang itu tujuan gue dari awal,” jawab Arka santai, meskipun matanya tetap fokus dan menunjukkan tekad yang kuat. Seolah, ia sudah tahu betul apa yang ingin dicapainya.
“Pantas aja lo emosi banget sama si Rey itu,” tambah Jevian sambil terkekeh. “Hahaha!”
Ekspresi Arka berubah serius. “Enggak ada yang bisa rebut Siera dari gue lagi, Jev. Cukup sekali aja gue lihat dia sama orang lain.”
Jevian terdiam sesaat, melihat sisi lain Arka yang jarang muncul. “Keras lo, Pak. Tapi gue salut,” katanya akhirnya, sambil menepuk pundak sahabatnya. “Ya udahlah, Pak. Yang penting sekarang lo udah menang. Siera udah sama lo, kan?” lanjut Jevian mencoba mencairkan suasana.
Arka menghela napas pelan, lalu mengangguk. “Iya, gue cuma harus bikin dia yakin kalau pilihan ini nggak salah. Gue nggak mau cuma jadi perjodohan yang dipaksain.”
“Bagus. Lo harus buktiin kalau lo emang pantes buat dia,” kata Jevian sambil menyeringai, memberi semangat dengan cara yang khas. “Tapi, ngomong-ngomong soal Rey… dia udah tahu belum kalau lo dijodohin sama Siera?” tanyanya dengan nada penuh rasa ingin tahu.
Arka menatap Jevian dengan tatapan tajam, seperti ingin menegaskan posisinya. “Gue rasa dengan peringatannya itu, dia udah tahu.”
Jevian menyeringai, ada nada puas di wajahnya. “Santai, Pak. Lo udah menang di ronde pertama. Tinggal pastiin lo nggak kepleset di ronde-ronde berikutnya.”
Arka terkekeh kecil, tapi ekspresinya tetap serius. “Lo nggak usah khawatir soal itu. Gue bakal jaga Siera, apa pun yang terjadi.”
Hening sejenak. Mereka menikmati suasana di antara tawa ringan dan ambisi yang tak terucap.
“Eh, tuh chat Siera udah lo balas belum?” Jevian tiba-tiba mengubah topik, mengangkat alis sambil menunjuk ponsel Arka.
Arka melirik ponselnya dan mengangguk pelan. “Udah, nih.”
Dia membuka ruang obrolan dengan Siera, membaca ulang pesan terakhir yang sejak tadi ia kirim.
“Iya, Sie, aku makan siang di kantor.”
Setelah beberapa menit, jempolnya kembali bergerak mengetik pesan baru.
“Sie, nanti pulang kerja sekalian aku jemput ya.”
Arka menghela napas pelan begitu menekan tombol kirim. Matanya tak lepas dari layar, menanti balasan meskipun tahu Siera mungkin masih sibuk.
Jevian, yang sedari tadi mengamati, menyeringai jahil. “Buset, lo udah kayak suami siaga aja. Baru juga diterima, belum pacaran beneran kan? Hahaha!”
Arka menoleh, menatap Jevian sambil tersenyum tipis. “Yang pasti dia calon istri gue sekarang. Kalau bukan gue yang siaga, siapa lagi? Dia udah jadi prioritas utama gue.”
Jevian tertawa, menggeleng pelan. “Mantap, Pak. Gue baru lihat lo yang serius gini.”
Arka hanya tersenyum kecil. Dalam hati, ia tahu ini baru permulaan. Hubungannya dengan Siera belum sepenuhnya stabil, dan tantangan pasti akan datang. Tapi, tekadnya sudah bulat—dia akan menghadapi apa pun demi mempertahankan Siera di sisinya.
***
“Hai Sie,” ucap Arka, berdiri di samping mobilnya sambil menunggu Siera menyelesaikan pekerjaannya. Ia melihat Siera keluar dari café, wajahnya sedikit lelah namun tetap tampak cantik seperti biasanya.
“Sorry buat lo nunggu lama,” kata Siera, sambil tersenyum meminta maaf. Dengan langkah ringan, ia masuk ke dalam mobil yang pintunya sudah dibuka oleh Arka, lalu duduk di kursi penumpang.
Arka mengangguk, “Nggak masalah, Sie.” Setelah pintu mobil tertutup rapat, ia segera mengambil tempat di kursi kemudi dan memulai percakapan ringan.
“Emang selalu jam segini ya Studio dan Café kamu tutupnya?” tanya Arka, mengalihkan perhatian dari jalanan sejenak ke Siera.
“Biasanya sih jam 10 udah close,” jawab Siera sambil merapikan rambutnya. “Tapi tadi ada masalah dikit, jadi kita close-nya lebih lama dari biasanya.”
Mendengar penjelasan itu, Arka langsung menatapnya dengan ekspresi sedikit khawatir. “Ada masalah apa, Sie?” tanyanya, suaranya mengandung perhatian.
“Ohh itu, alat crafting buat workshop minggu ini ada beberapa item yang hilang,” jawab Siera, sedikit menghela napas. Ia terlihat agak cemas karena masalah tersebut cukup mengganggu jadwal kegiatan mereka.
Arka terdiam sejenak, mencoba memahami situasi tersebut. “Kok bisa hilang? Apa ada yang salah dengan sistem penyimpanannya?” tanyanya, semakin khawatir dengan apa yang Siera hadapi.
Siera menggeleng pelan, ekspresinya menunjukkan bahwa masalah ini cukup mengganggu pikirannya. “Sebenarnya sih nggak tahu pasti kenapa bisa hilang. Mungkin kelupaan atau mungkin ada yang salah pas proses pengecekan barang. Tapi, yang bikin bingung, nggak ada yang pernah ngelaporin kalau ada barang yang hilang,” jelas Siera, suara sedikit cemas terdengar.
Arka mengerutkan kening, tampak berpikir keras. “Berarti bisa jadi ada yang nggak beres di sana, kan?” kata Arka, nada suaranya berubah serius. “Kamu nggak curiga sama siapa-siapa?”
Siera terdiam sejenak, matanya tertuju ke luar jendela mobil, berpikir. “Aku nggak tahu, sih. Semua orang di studio udah lama kerja bareng aku, jadi rasanya nggak mungkin kalau ada yang seperti itu.”
Arka menatap jalanan di depan dengan serius, namun nada suaranya tetap tajam. “Sie, kamu masih sama aja, gampang banget percaya sama orang. Kamu harus inget, nggak semua orang punya niat baik ke kamu, meskipun kamu udah baik ke mereka.”
Siera terdiam, kata-kata Arka menyentuh hatinya. Ia tahu, meskipun ia mencoba melihat yang terbaik dalam diri orang lain, tidak semua orang akan seperti itu. Arka benar, kadang orang yang kita percayai bisa saja mengecewakan kita.
“Sie…” Arka memanggilnya dengan suara lebih pelan, tetap fokus mengemudi. “Dalam dunia bisnis, kita harus selalu waspada. Kita nggak pernah tahu siapa yang bener-bener loyal sama kita atau malah yang siap nusuk kita dari belakang.”
Siera menatap Arka sejenak, menyadari kebenaran dari kata-katanya. Meski Arka tetap fokus mengemudi, kehadirannya memberi rasa aman dan membuka matanya lebih lebar. Arka, yang selama ini ia nantikan, akhirnya kembali. Selama ini, ia merasa seperti berjalan sendirian, berjuang tanpa ada yang benar-benar bisa ia ajak berbicara tentang hal-hal yang mengganggunya. Tapi sekarang, ada seseorang di sampingnya yang bisa ia percayai, seseorang yang bisa menenangkan pikirannya.
Siera merasa sedikit tenang, sebuah perasaan yang sudah lama hilang. Setelah sekian lama, akhirnya ada seseorang yang bisa menjadi tempatnya untuk bercerita.
Tiba-tiba, ponsel Siera berdering, memecah keheningan di mobil. Dia melihat layar ponselnya, wajahnya berubah serius saat melihat pesan yang ia terima.
walah sipa yah...