Di sebuah taman kecil di sudut kota, Sierra dan Arka pertama kali bertemu. Dari obrolan sederhana, tumbuhlah persahabatan yang hangat. Setiap momen di taman itu menjadi kenangan, mempererat hubungan mereka seiring waktu berjalan. Namun, saat mereka beranjak remaja, Sierra mulai merasakan sesuatu yang berbeda. Perasaan cemburu tak terduga muncul setiap kali Arka terlihat akrab dengan gadis lain. Akankah persahabatan mereka tetap utuh, ataukah perasaan yang tumbuh diam-diam akan mengubah segalanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon winsmoon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25
Sebuah mobil sport hitam berkilau di bawah lampu jalan, terparkir sempurna di depan Creative Studio milik Siera. Suara mesin yang dimatikan meninggalkan keheningan malam yang hanya diiringi suara angin berbisik pelan. Di dalam mobil, Arka, pria dengan rahang tegas dan tatapan tajam, duduk santai sembari mengetuk-ngetukkan jarinya di kemudi. Pandangannya sesekali beralih ke pintu studio—menunggu sosok yang sudah memenuhi pikirannya sejak tadi.
Tiba-tiba, suara dering ponsel memecah suasana. Arka mendesah pelan, meraih ponsel dari sakunya, dan melihat nama Mama Arumi di layar. Dengan cepat, ia menggeser ikon hijau dan menjawab telepon.
“Halo, Ma.” Suara Arka terdengar lebih lembut dari biasanya, ada nada sayang di sana.
“Halo, Ka. Kamu udah di mana, sayang?” Suara Mama Arumi terdengar hangat, seperti biasanya.
Arka menyandarkan kepalanya ke jok mobil sambil memandang ke luar jendela. “Masih di depan studionya Siera, Ma. Sekalian nungguin dia pulang.”
“Ohh... jadi mau berangkat bareng, ya?” Ada senyum samar di balik suara Mama Arumi, terdengar seperti kode tersembunyi yang hanya Arka pahami.
“Iya, Ma.”
“Bagus dong! Ada kemajuan nih.” Suara tawa kecil Mama Arumi terdengar, ringan dan penuh arti.
Arka ikut tersenyum. Tatapan tajamnya melembut, memantulkan sedikit harapan. “Doain aja ya, Ma. Aku lagi usaha keras ini.” Nada suaranya merendah, tetapi ada tekad yang tersirat jelas di sana.
“Pasti, sayang. Mama selalu dukung. Jangan menyerah ya?”
Arka mengangguk kecil meski mamanya tidak bisa melihat. “Iya, Ma.”
“Oh ya, Ka, Mama sama Papa udah berangkat ke bandara ini. Kita ketemu di sana aja, ya, sayang.”
“Iya, Ma…” jawab Arka setengah mendengarkan. Namun, kalimatnya terputus begitu saja ketika pandangannya menangkap sosok yang sedari tadi ia tunggu.
Siera.
Gadis itu melangkah keluar dari studio dengan anggun, meski raut wajahnya menunjukkan kelelahan. Rambut panjangnya digerai acak, kemeja putih oversized yang ia kenakan berkibar sedikit terkena angin malam. Ia tampak sederhana, tetapi bagi Arka, justru kesederhanaan itulah yang membuatnya terlihat begitu… cantik.
“Ma, udah dulu ya. Siera udah keluar. Nanti Arka sama Sie langsung ke bandara. Bye, Ma.” Arka buru-buru memutus panggilan, senyumnya tak lagi bisa ia tahan.
Dengan cepat, Arka keluar dari mobilnya dan berlari kecil menuju Siera. Ia membuka pintu mobil di hadapannya, kemudian menatap gadis itu dengan tatapan penuh perhatian.
“Silakan, My Personal Passenger Princess,” ujar Arka dengan nada yang penuh kehangatan, senyum simpul menghiasi wajahnya.
Siera sempat mengerutkan dahi, kaget dengan perlakuan tiba-tiba itu. Tapi kemudian, ia mendengus kecil, berusaha menutupi rona merah yang muncul di pipinya.
“Such a gentleman,” gumam Siera pelan sambil masuk ke dalam mobil.
Arka hanya mendengar sedikit, tapi cukup membuat hatinya melambung. “Apa tadi?” tanyanya jahil sambil melongokkan kepalanya ke dalam mobil.
“Apa? Nggak ada apa-apa kok,” balas Siera cepat, memutar wajahnya ke arah lain untuk menyembunyikan senyum tipisnya.
Arka tertawa kecil, puas dengan reaksinya. Ia menutup pintu mobil dengan hati-hati, lalu berjalan santai ke sisi pengemudi. Saat ia duduk dan menyalakan mesin mobil, pandangannya sekilas melirik Siera yang masih sibuk berpura-pura tak peduli.
“Pakai sabuk pengaman ya, kita langsung ke bandara.”
“Tau kok, enggak perlu diajarin.”
Arka terkekeh, tangannya lantas memainkan setir. Malam itu, di bawah langit yang bertabur bintang, ada perasaan aneh yang menyelinap di antara mereka. Sebuah kedekatan yang perlahan tumbuh, membawa harapan baru yang mungkin belum berani mereka akui.
***
“Tante Arumi!” seru Siera begitu melihat sosok Tante Arumi dan Om Bima berdiri di depan terminal keberangkatan. Wajahnya langsung cerah, langkahnya sedikit dipercepat untuk menghampiri mereka.
Tante Arumi, yang mengenakan dress biru lembut, tersenyum hangat dan segera merentangkan tangannya. Siera menyambut dengan pelukan erat, seperti anak yang sudah lama tidak bertemu ibunya sendiri.
“Maaf ya, Tan, gara-gara Siera, Tante dan Om jadi harus nunggu lama begini,” ujar Siera penuh rasa bersalah setelah melepas pelukan.
Tante Arumi mengusap lembut lengan Siera dan menggeleng kecil. “Tidak kok, sayang. Tante dan Om juga baru sampai tadi. Kamu enggak perlu khawatir.”
Siera mengangguk lega, senyum kecil terukir di wajahnya. Ia menoleh ke Arka yang berdiri tak jauh di belakangnya.
“Barang bawaannya nggak ada yang ketinggalan, kan, Ma?” tanya Arka sambil melirik koper besar berwarna abu-abu di sisi Mamanya.
“Nggak ada kok, sayang. Semuanya sudah Mama cek tadi,” jawab Tante Arumi sambil tersenyum, kali ini menatap Arka penuh arti, seakan ingin mengatakan sesuatu yang hanya dipahami oleh keduanya.
Om Bima, yang sedari tadi berdiri tenang di samping istrinya, ikut menyapa Siera dengan anggukan ramah. “Hati-hati ya kalau nanti pulangnya kemalaman, Siera.”
Siera tersenyum dan mengangguk ringan, namun Arka, yang berdiri di sampingnya, segera menyahut. “Papa, tenang aja. Siera bareng saya kok.”
Ia kemudian memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana, menatap Siera dengan alis terangkat, seolah memberi isyarat bahwa perjalanan mereka akan aman.
“Nah, sudah yuk, kita ke dalam,” ujar Tante Arumi, memecah suasana. “Nanti malah ketinggalan pesawat.”
Mereka bertiga, Tante Arumi, Om Bima, dan Siera, mulai berjalan menuju pintu terminal. Arka mengikuti dari belakang, langkahnya sedikit lebih santai. Namun, dalam diam, ada perasaan hangat yang mulai tumbuh di hatinya setiap kali melihat bagaimana Siera begitu mudah diterima oleh keluarganya.
Siera, yang berjalan di depan, tak sadar kalau senyum tipis Arka terus menghiasi wajahnya sepanjang perjalanan menuju terminal. Namun, langkahnya mulai melambat begitu mereka tiba di pintu terminal keberangkatan.
Di tengah hiruk-pikuk suara pengumuman penerbangan dan lalu-lalang para penumpang, Siera menarik napas panjang. Jantungnya berdegup kencang, seakan ingin meloncat keluar dari dada. Ada sesuatu yang sejak tadi berputar-putar di pikirannya, hal yang harus ia sampaikan—sekarang atau tidak sama sekali.
Siera berhenti berjalan. Arka, Tante Arumi, dan Om Bima menoleh heran ke arahnya.
“Tante Arumi, Om Bima,” panggil Siera dengan suara sedikit bergetar, tetapi matanya tetap tegas. Ia memandang mereka bergantian, seakan mencari keberanian di antara tatapan lembut mereka. “Ada yang Siera ingin sampaikan.”
Arka yang berdiri di belakang langsung menegang. Senyumnya hilang seketika. Pikirannya langsung dipenuhi ribuan kemungkinan buruk. Apa maksudnya ini? Apa yang ingin dia katakan?
Siera melanjutkan, suaranya lebih mantap kali ini. “Mengenai permintaan Tante dan Bunda waktu itu...” Ia berhenti sejenak, menarik napas untuk meredakan debaran di dadanya. “…Siera sudah punya jawaban untuk itu.”
Deg!
Kalimat itu berhasil membuat Arka tercekat. Napasnya terasa berat, seolah paru-parunya enggan bekerja sama. Pandangan matanya terpaku pada Siera, sementara pikirannya berkecamuk.
Permintaan itu.
Permintaan yang selama ini ia pikirkan siang dan malam, harapan yang selama ini ia sembunyikan dengan rapat. Ada rasa takut yang menggigit, takut jika jawaban Siera justru akan menghancurkan harapannya yang baru tumbuh.
Tante Arumi dan Om Bima menatap Siera dengan penuh perhatian, jelas penasaran dengan apa yang akan dikatakan wanita itu. Namun di sisi lain, mereka juga tersenyum kecil, seakan sudah tahu jawaban seperti apa yang mungkin akan mereka dengar.
Arka, yang berdiri dibelakang orang tuanya, mengepalkan tangannya di dalam saku celananya. Tatapannya tidak beralih sedetik pun dari wajah Siera. Ini adalah momen yang mungkin akan mengubah segalanya—dan ia tidak siap jika harus kecewa.
Siera menelan ludah, menggigit bibirnya sejenak sebelum akhirnya bersuara lagi.
“Iya, Siera mau Tante.”
Siera menatap Tante Arumi dan Om Bima satu per satu, kemudian beralih ke Arka yang berdiri di belakang, wajahnya penuh ketegangan. Senyum tipis muncul di bibirnya, meski ada kesan tegang di baliknya.
“Siera terima perjodohan itu.”