aku berdiri kaku di atas pelaminan, masih mengenakan jas pengantin yang kini terasa lebih berat dari sebelumnya. tamu-tamu mulai berbisik, musik pernikahan yang semula mengiringi momen bahagia kini terdengar hampa bahkan justru menyakitkan. semua mata tertuju padaku, seolah menegaskan 'pengantin pria yang ditinggalkan di hari paling sakral dalam hidupnya'
'calon istriku,,,,, kabur' batinku seraya menelan kenyataan pahit ini dalam-dalam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sablah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bayang-bayang teror
Pagi itu, sinar matahari menembus tirai kamar, menerangi wajah Rama yang duduk di tepi ranjang sambil mengenakan sepatu kerjanya. ia sudah berpakaian rapi dengan kemeja biru tua yang dipadukan dengan celana bahan hitam. namun, ekspresinya jauh dari kata segar.
wajahnya tampak murung, matanya sedikit sayu, dan bahunya terlihat lebih berat dari biasanya. sejak tadi malam, setelah kembali dari pabrik, ia memang sudah bicara pada sang istri bahwa hari ini ia akan mulai bekerja seperti biasa. namun, jelas terlihat bahwa pikirannya masih terbebani oleh sesuatu.
Alda yang sedang merapikan selimut menoleh ke arahnya. ia menyadari perubahan sikap Rama sejak tadi malam. biasanya, Rama akan bersikap lebih santai saat pagi hari, mungkin bercanda atau menggoda dirinya sebelum berangkat kerja. tapi kali ini, suaminya bahkan tidak tersenyum sedikit pun.
"apa yang sebenarnya terjadi?" batin Alda.
dengan langkah pelan, ia mendekat dan duduk di samping Rama. tatapannya penuh perhatian saat ia bertanya dengan suara lembut, "Ram, ada apa? wajahmu sejak tadi terlihat tidak bersemangat. kamu sakit?"
Rama tersentak kecil, lalu buru-buru menggeleng. "tidak, Da. aku baik-baik saja,” jawabnya singkat, namun jelas terdengar ada yang ia sembunyikan.
Alda tidak langsung percaya. "kamu yakin?"
Rama mengangguk cepat. "hanya kurang tidur saja, Da.”
Alda masih menatapnya dengan curiga, tapi ia tahu Rama bukan tipe orang yang akan langsung menceritakan masalahnya jika belum siap. jadi, ia memutuskan untuk tidak memaksanya bicara sekarang.
ia menghela napas pelan sebelum tersenyum tipis. "kalau ada apa-apa, aku di sini. jangan sungkan berbagi, Ram."
Rama akhirnya menoleh dan menatap Alda. senyuman istrinya sedikit menghangatkan hatinya. ia mengangkat tangannya dan mengusap lembut kepala Alda, lalu mengangguk. "terima kasih, Da."
setelah itu, ia bangkit, meraih tas kerja dan jaketnya, lalu bersiap meninggalkan kamar. meski masih ada banyak pertanyaan di benak Alda, ia memilih untuk tidak menahannya. ia hanya bisa berharap rama akan berbicara saat ia sudah siap.
Rama melangkah keluar kamar dengan sedikit tergesa. Alda mengikutinya sampai ke ruang tamu, masih dengan tatapan khawatir.
setelah memastikan semuanya siap, Rama akhirnya berpamitan. "aku berangkat dulu."
"iya, hati-hati di jalan, Ram. jangan lupa makan siangnya"
Rama mengangguk, lalu berjalan keluar rumah. Alda berdiri di depan pintu, mengawasi punggung suaminya sampai ia masuk ke dalam mobil dan menyalakan mesinnya.
begitu mobil melaju keluar dari halaman rumah, Alda bergegas juga kembali kedalam, menutup pintu dan kembali melanjutkan aktifitas nya.
sementara itu, di dalam mobil, rama menghela napas panjang sambil menggenggam erat setir. pikirannya masih berkecamuk sejak tadi malam. pertemuan Raka dan Karina terus terbayang di benaknya.
namun saat Rama hendak keluar dari gerbang rumah, matanya tanpa sadar menangkap sosok mencurigakan di seberang jalan.
seseorang berjaket tebal dengan tudung menutupi kepalanya berdiri tak jauh dari sebuah mobil taksi yang terparkir. sosok itu tampak seperti sedang mengamati sesuatu, atau seseorang.
Rama memperlambat laju mobilnya, mencoba memperhatikan lebih jelas, mencoba mengenali sosok itu. namun, seolah menyadari bahwa dirinya sedang diamati, orang itu tiba-tiba berbalik dan dengan cepat masuk ke dalam taksi.
taksi itu langsung melaju pergi sebelum Rama sempat melihat lebih banyak detail.
dahi Rama berkerut. ada yang tidak beres.
"siapa dia? kenapa berdiri di sana pagi-pagi begini?" pikirnya.
yang membuatnya semakin curiga adalah cara orang itu berpakaian. jaket besar, tudung yang menutupi sebagian wajah, dan gerakan yang terburu-buru seperti sedang menyembunyikan sesuatu.
"apa ini ada hubungannya dengan kejadian kemarin?"
pikirannya langsung terarah pada banyak kemungkinan, terutama tentang Karina dan Raka.
namun, tanpa bukti, Rama hanya bisa menebak-nebak.
dengan perasaan yang semakin tidak tenang, ia menghela napas panjang, lalu akhirnya
dengan perasaan yang semakin tidak tenang, ia akhirnya kembali melajukan mobil untuk berlalu kearah pabrik.
***
beberapa jam kemudian, suasana di pabrik terlihat sibuk seperti biasa. mesin-mesin berbunyi, para pekerja mondar-mandir menyelesaikan tugas mereka, dan beberapa supervisor sibuk mengecek hasil produksi.
di ruangannya, Rama duduk di kursinya sambil menatap layar komputer, tapi pikirannya tidak sepenuhnya fokus pada pekerjaan. ada terlalu banyak hal yang berkecamuk di kepalanya.
rama menghela napas berat. tangannya terangkat, memijat pelipisnya.
"mas rama."
suara Andre dari balik pintu membuat Rama menoleh. Andre masuk dengan membawa beberapa berkas di tangannya.
"ada laporan yang perlu mas Rama lihat," katanya sambil meletakkan berkas itu di meja.
Rama menatapnya sebentar, lalu mengangguk. "baik. aku lihat dulu."
namun, sebelum ia membuka berkas itu, Andre kembali berbicara.
"oh iya, mas. tadi aku sempat lihat seseorang seperti menunggu di depan pabrik. tapi pas aku dekati, orang itu langsung pergi. aku nggak sempat lihat wajahnya jelas karena pakai jaket tebal dan tudung."
Deg!
jantung Rama berdetak lebih cepat.
"orang itu lagi?"
Rama langsung bangkit dari kursinya. "dimana tepatnya tadi?"
"di dekat parkiran motor, mas. kayaknya dia mengawasi ke arah sini, tapi aku nggak yakin."
Rama menatap Andre dengan serius. sekarang ia semakin yakin bahwa seseorang memang sedang mengawasinya.
tapi siapa? dan apa tujuannya?
Rama masih menatap Andre dengan tatapan serius, mencoba mencerna ucapan rekannya. namun, sebelum ia bisa berkata lebih jauh, tiba-tiba suara dering teleponnya berbunyi.
"nomor tidak dikenal."
Rama sempat ragu sejenak sebelum akhirnya mengangkatnya.
"halo?"
suara seorang perempuan terdengar di seberang sana.
"selamat siang. benar ini dengan suami dari nyonya Naila?"
dahi Rama langsung berkerut.
"suami?"
"maaf, ini siapa?" tanyanya dengan nada waspada.
"oh, maaf sebelumnya, pak. perkenalkan, saya Rahma, dokter yang kemarin menangani pemeriksaan usg nyonya Naila. saya hanya ingin mengingatkan bahwa sesuai jadwal yang telah disepakati, seharusnya beliau sudah melakukan pemeriksaan kehamilan yang keempat bulan. namun, hingga saat ini beliau belum datang. apakah ada kendala?"
Rama membeku di tempatnya. ia bahkan tidak menyadari bahwa ponselnya dalam mode loudspeaker.
Andre yang berdiri di depannya juga ikut mendengar semuanya.
suasana mendadak hening.
Rama menelan ludah, mencoba memproses semua informasi itu.
"kehamilan empat bulan? jadwal pemeriksaan?"
sementara itu, dari seberang telepon, dokter Rahma masih menunggu jawaban.
"pak? apakah ada sesuatu yang terjadi? jika memang ada kendala atau perlu menjadwalkan ulang, kami bisa membantu."
Andre yang sedari tadi diam akhirnya ikut angkat bicara, meskipun suaranya terdengar lebih seperti bisikan.
"mas... ini apa maksudnya?"
Rama mengerjap, rahangnya mengatup erat. ia merasa kepalanya semakin penuh dengan hal-hal yang sulit ia mengerti.
ia mengambil napas dalam, lalu menjawab dengan suara yang berusaha tetap tenang.
"maaf, dok. saya tidak tahu soal ini."
dokter Rahma terdengar bingung.
"maksud anda?"
"saya tidak tahu kalau Naila sedang hamil, dan satu hal lagi, saya bukanlah suami Naila." tegas Rama tanpa ragu.
kali ini, giliran dokter itu yang terdiam beberapa saat sebelum akhirnya kembali berbicara.
"tapi... saat pemeriksaan sebelumnya, beliau datang dengan seorang wanita yang mengaku sebagai kakak iparnya, atau dengan kata lain itu adalah kakak perempuan anda. dan waktu itu, kami mencatat bahwa suaminya telah mengetahui kehamilan ini."
Rama semakin mengerutkan kening.
"kakak ipar?"
ia merasa kepalanya mulai berdenyut.
"siapa yang datang bersamanya, dok?"
"saya kurang begitu ingat, pak. tapi wanita itu mengenalkan diri sebagai Karina."
jantung Rama mencelos.
"Karina?!"
Andre yang ada di sampingnya langsung menoleh cepat.
"mas, bukankah Kirana itu...." Andre tidak melanjutkan ucapan nya ketika melihat ekspresi Rama yang sudah semakin sulit diartikan.
Rama mengepalkan tangannya, mencoba mengendalikan emosi yang mulai mengudara.
"baik, dok. saya akan mencari tahu dulu soal ini. terima kasih atas informasinya."
"baik, pak. jika ada yang perlu dikonfirmasi lebih lanjut, jangan ragu menghubungi kami."
Tut!!
panggilan terputus.
Rama mengembuskan napas panjang, sementara pikirannya masih berputar.
Andre menatapnya tajam.
"mas Rama... saya sungguh tidak paham ini ada apa. tapi mungkin ada baiknya mas Rama pulanglah lebih dulu. saya takut mas disini malah tidak tenang."
Rama memejamkan mata sejenak, lalu menatap Andre dengan sorot mata yang penuh ketegangan.
"benar, aku harus pulang sekarang."
Andre mengangguk cepat.
"perlu saya antar, Mas?"
"tidak usah Ndre, biar aku pulang sendiri. aku titip berkas ini dulu, permisi"
tanpa banyak kata lagi, akhirnya Rama berjalan keluar ruangan dengan langkah tergesa, dia seolah mengabaikan apapun yang berjalan dan sedang ia lewati.
*****
di sisi lain,
di sebuah ruang keluarga, suasana terasa begitu hangat. Ayah dan Ibu Rama duduk santai di sofa sambil menonton televisi. sesekali terdengar gelak tawa ringan dari mereka. di sisi lain, Alda juga ikut duduk di dekat mereka, meskipun dalam hatinya ia merasa sedikit canggung.
pembahasan mereka berputar pada topik yang cukup sensitif bagi alda—tentang cucu.
"Ayah dan Ibu sebenarnya ingin segera menimang cucu," ujar sang Ibu sambil tersenyum.
Ayah Rama mengangguk setuju. "iya, kalau bisa jangan lama-lama. rumah ini pasti lebih ramai kalau ada suara anak kecil."
Alda menggigit bibirnya, berusaha menahan rasa gugup yang mulai menjalar di dalam hatinya. namun, melihat ekspresi penuh harap dari kedua mertuanya, ia akhirnya mencoba memberanikan diri untuk berbicara.
"sebenarnya... saya dan mas Rama sudah berusaha menjalani program kehamilan, Bu."
wanita yang tengah duduk disamping laki-laki paruh baya itu langsung tersenyum puas. "syukurlah. Ibu senang mendengarnya, Nak."
Ayah pun ikut mengangguk, ekspresinya tampak lega.
namun, di tengah suasana yang hangat itu, tiba-tiba sebuah insiden kecil terjadi.
ketika sang Ibu tertawa ringan dan tanpa sengaja menggerakkan tangannya, ia tak sadar menyenggol sebuah bingkai foto yang terpajang di meja kecil di samping sofa.
Brak!
Bingkai itu jatuh ke lantai, menyebabkan kaca figura pecah berkeping-keping.
suasana mendadak hening.
Alda, dan kedua orang tua Rama sama-sama terkejut. namun, yang lebih mengejutkan adalah ketika mereka melihat foto yang terlepas dari bingkai tersebut.
itu adalah foto pernikahan Rama dan Alda.
dalam gambar itu, mereka terlihat saling bertukar cincin, dengan senyum bahagia yang jelas tergambar di wajah mereka.
Alda menelan ludah. entah kenapa, dadanya tiba-tiba terasa sesak melihat foto itu dalam kondisi rusak.
Ibu buru-buru membungkuk untuk mengambil foto tersebut, lalu menatapnya dengan ekspresi yang sulit diartikan.
"astaga… kenapa bisa jatuh seperti ini?" gumamnya pelan.
Ayah ikut menatap foto itu dengan tatapan serius. sementara itu, Alda hanya bisa menggenggam tangannya sendiri, mencoba menenangkan perasaan yang tiba-tiba berkecamuk di dalam dirinya.
entah kenapa, hatinya mendadak merasa tidak nyaman.