"Aku hamil lagi," ucap Gladys gemetar, ia menunduk tak berani menatap mata sang pria yang menghunus tajam padanya.
"Gugurkan," perintah Gustav dingin tanpa bantahan.
Gladys menggadaikan harga diri dan tubuhnya demi mimpinya menempuh pendidikan tinggi.
Bertahun-tahun menjadi penghangat ranjang Gustav hingga hamil dua kali dan keduanya terpaksa dia gugurkan atas perintah pria itu, Gladys mulai lelah menjalani hubungan toxic mereka.
Suatu ketika, ia bertemu dengan George, pelukis asal Inggris yang ramah dan lembut, untuk pertama kalinya Gladys merasa diperlakukan dengan baik dan dihormati.
George meyakinkan Gladys untuk meninggalkan Gustav tapi apakah meninggalkan pria itu adalah keputusan terbaik?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nara Diani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 22
Gladys sudah menunggu Gustav sejak sore. Ia gelisah karena pria itu tak memberi kabar, baik lewat telepon maupun pesan.
Merasa Gustav mungkin tidak akan pulang, Gladys memutuskan untuk belajar. Ia membuka laptop dan buku-bukunya di sofa ruang tamu, larut dalam kesibukan hingga tak sadar waktu sudah menunjukkan pukul dua pagi.
Bunyi tombol pin ditekan dari luar membuatnya menoleh.
Pintu terbuka dengan kasar. Gustav masuk dengan langkah sempoyongan. Gladys langsung berlari membantunya berdiri.
"Kamu mabuk?" tanyanya saat mencium bau alkohol menyengat dari pria itu.
Gustav bergumam tak jelas. Dengan susah payah, Gladys membawanya ke kamar. Beberapa kali mereka hampir terjatuh karena tubuh pria itu terlalu besar untuk ditopang oleh tubuh mungilnya.
"Ah, akhirnya ..." gumam Gladys setelah berhasil menjatuhkan Gustav ke kasur—walau sedikit kasar.
Ia duduk di tepi ranjang, mengatur napas. Bahunya terasa pegal setelah memapah pria itu.
Tatapannya jatuh ke wajah Gustav.
"Jarang-jarang kamu mabuk. Ada apa sebenarnya?" bisiknya sambil mulai membuka kemeja pria itu.
Jari-jarinya dengan cekatan melepas kancing satu per satu. Namun, saat sampai di kancing ketiga, tangannya terhenti.
Matanya membelalak.
Ada bekas cupangan di dada Gustav!
Gemetar Gladys mengusap bekas merah keunguan itu, hatinya sakit.
“Kamu habis bercinta dengan wanita lain?” gumam Gladys tersenyum getir.
Hampir tiga tahun menjadi pelayan ranjang Gustav, ia tidak pernah mendapati pria itu bermain dengan wanita manapun selain dirinya.
Tetapi semenjak rumor pernikahannya dengan Brica, Gustav perlahan mulai berubah, ia lebih sering berada di luar dan mulai mengabaikan Gladys.
Otaknya secara tiba-tiba mengingat kembali ucapan George, bahwa sudah saatnya Gladys meninggalkan pria ini.
***
Gustav terbangun pukul enam pagi, begitu membuka mata ia langsung merasakan kepalanya pening sekali.
“Ssshh ... Brica sialan!” umpat pria itu memijit kepalanya.
Wanita licik itu berniat menjebaknya dengan membuatnya mabuk, untungnya Gustav tersadar dan bergegas pergi dari kamar wanita itu semalam.
“Gladys! Gladys!” panggil Gustav.
“Iya, sebentar,” sahut Gladys dari luar tak lama perempuan itu muncul dari pintu membawa nampan berisi perasan lemon hangat dan madu.
“Ini minum dulu,” ucap Gladys menyerahkan gelas di atas nampan.
Gustav meraih gelas meneguk hingga tandas dan menyerahkan kembali gelas kosong padanya.
“Tumben kamu mabuk semalam,” ujar Gladys meletakan nampan ke atas nakas.
Hatinya seketika nyeri mengingat bekas kemerahan di dada Gustav, Gladys berusaha menepis perasaannya sendiri dan menoleh pada pria itu dengan senyuman manis.
Gustav yang masih memijit kepalanya menjawab tanpa menoleh, “Pak Aji mengundangku ke Anniversary pernikahannya semalam, kami keasyikan mengobrol sampai mabuk.”
“Pak Aji?”
“Orang tua Brica.”
Berarti semalam Gustav bersama dengan wanita itu, kedekatan mereka makin lama makin intens akhir-akhir ini.
Gladys menggigit bibirnya sesak, berarti semalam Gustav bersama dengan wanita itu? Kedekatan mereka makin lama makin intens saja akhir-akhir ini.
“Jadi begitu,” cicitnya pelan, perempuan itu meraih nampan dan berdiri dari kasur.
“Lekas mandi setelah kepalamu mendingan, aku akan siapkan baju kantormu.”
Gustav menarik pinggang Gladys mendekat.
“Masih ada waktu sebelum ke kantor, kita masih bisa main beberapa ronde,” ucapnya menghirup wangi Gladys.
“Aku tidak mau,” tolak Gladys spontan.
“Apa?” tanya Gustav kaget. Ia mendongak tak percaya, baru pertama kalinya gadisnya ini menolak bercinta dengannya.
“Berani sekali kau menolak ku!” hardik pria itu kesal.
“Mak—Maksudku, aku tidak bisa karena aku ada urusan di kampus pagi ini sebelum berangkat ke kantor,” ucap Gladys gelagapan.
Ia menggigit bibirnya gugup, membuang pandangan tidak berani menatap Gustav. Jangan sampai pria ini tahu dia berbohong.
Gustav memicingkan mata curiga membuat Gladys ketar-ketir sendiri.
Pria itu mendengus kecil. “Baiklah, kau selamat kali ini,” ucapnya melepaskan tangannya dari pinggang kecil itu.
Gladys bernapas lega.
“Pergi!” usir Gustav mengibaskan tangannya.
Gladys segera keluar dari kamar, Gustav yang merasa kepalanya sudah agak mendingan bangun dari kasur menuju kamar mandi.
Tidak sengaja Gustav menoleh pada cermin dan menemukan bekas cupangan di dadanya.
Pria itu mengusap bekas cupangan yang dibuat oleh Brica tadi malam saat mereka berciuman di kamar wanita itu.
“Jadi karena ini dia menolak ku?” kekeh pria itu tersenyum smirk.
Gustav keluar dari kamar mandi mencari Gladys, ia menemukan perempuan itu sedang mencuci gelas di dapur.
“Dia mengajakku bercinta setelah puas bermain dengan wanita lain semalam? Enak saja!” ketus perempuan itu menggosokkan spons pada gelas kasar-kasar.
Gustav bersandar pada dinding mendengarkan suara hati Gladys. Menikmati setiap ocehannya.
“Memangnya aku kalah cantik ya dari si Brica-Brica itu?” monolognya berpikir mengingat-ingat wajah Brica.
“Dia cantik sih, cantik banget malah.” Bahunya seketika turun karena tiba-tiba merasa insecure.
“Aku kalah dari segala sisi,” cicit Gladys pelan.
“Kau bodoh, sudah ku ingatkan ratusan kali akan posisimu tapi kau tetap berharap padaku,” gumam Gustav pelan, tatapannya yang dingin tertuju pada bahu Gladys yang lunglai tak bersemangat.
Gladys tak kalah cantik dari Brica tapi menikahinya tidak ada untungnya, lagipula Gustav tidak berniat menikah dan punya anak sejak awal.