“Namamu ada di daftar eksekusi,” suara berat Carter menggema di saluran komunikasi.
Aiden membeku, matanya terpaku pada layar yang menampilkan foto dirinya dengan tulisan besar: TARGET: TERMINATE.
“Ini lelucon, kan?” Aiden berbisik, tapi tangannya sudah menggenggam pistol di pinggangnya.
“Bukan, Aiden. Mereka tahu segalanya. Operasi ini… ini dirancang untuk menghabisimu.”
“Siapa dalangnya?” Aiden bertanya, napasnya berat.
Carter terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab, “Seseorang yang kau percaya. Lebih baik kau lari sekarang.”
Aiden mendengar suara langkah mendekat dari lorong. Ia segera mematikan komunikasi, melangkah mundur ke bayangan, dan mengarahkan pistolnya ke pintu.
Siapa pengkhianat itu, dan apa yang akan Aiden lakukan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mommy JF, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26 - Mencari Celah
Kegelapan menyelimuti ruangan sempit tempat Aksara ditahan. Hanya suara detak jarum jam di kejauhan yang terdengar, memecah keheningan. Ruangan itu terasa begitu menyesakkan, bukan hanya karena sempitnya ruang gerak, tetapi juga tekanan mental yang terus menghantui. Namun, bagi Aksara, menyerah bukanlah pilihan. Bahkan lubang sekecil tikus pun, jika ada, akan menjadi jalannya keluar.
Aksara menghela napas panjang, mencoba menenangkan detak jantungnya yang berpacu cepat. Ia duduk bersandar di dinding dingin, mengamati setiap sudut ruangan dengan seksama. Ruangan itu kosong, hanya ada satu lampu kecil di sudut langit-langit yang nyaris tidak memberikan penerangan.
“Pasti ada celah. Tidak ada ruangan yang sempurna tanpa kekurangan,” gumam Aksara dalam hati.
Ia tahu bahwa tempat seperti ini tidak mungkin dibuat tanpa titik kelemahan. Hal pertama yang terlintas di pikirannya adalah CCTV. Sebagai agen yang telah berkali-kali terjebak dalam situasi sulit, ia tahu bahwa pengawasan adalah kunci utama dalam ruang tahanan seperti ini.
"Apa aku bisa menemukan celahnya? Apa aku bisa keluar dari sini sebelum mereka menghancurkanku?" pikir Aksara. Ia mengepalkan tangan, menahan rasa frustasi.
"Tidak. Aku tidak boleh berpikir seperti itu. Aku Aksara. Aku pernah lolos dari situasi yang lebih buruk dari ini. Kalau aku bisa melakukannya dulu, aku pasti bisa melakukannya lagi."
Ia berdiri perlahan, meraba-raba dinding di sekelilingnya, mencari sesuatu—apa saja—yang bisa membantunya melarikan diri. Tangannya menyentuh setiap sudut dinding, mencari tekstur yang berbeda atau mungkin retakan kecil yang bisa dimanfaatkan.
Ketika tangannya mencapai sudut ruangan, ia merasakan sesuatu yang tidak biasa. Sebuah celah kecil, hampir tidak terlihat. Ia merapatkan matanya, mencoba melihat lebih jelas. Celah itu terlalu sempit untuk dijadikan jalan keluar, tetapi mungkin bisa menjadi petunjuk.
“Ini bukan lubang biasa. Pasti ada sesuatu di baliknya,” pikir Aksara.
Ia kembali duduk, memutar otaknya untuk mencari cara lain. Pandangannya tertuju pada langit-langit ruangan. Di sudut langit-langit, ia melihat sesuatu yang memantulkan cahaya samar dari lampu kecil di ruangan itu.
“Aha! Kamera tersembunyi,” gumamnya.
***
Aksara tahu ia tidak bisa langsung menghancurkan kamera itu. Jika ia melakukannya, para penjaga akan langsung tahu bahwa ia mencoba sesuatu. Ia harus mencari cara untuk membuat kamera itu tidak berfungsi tanpa menimbulkan kecurigaan.
Ia merogoh saku celananya, berharap menemukan sesuatu yang bisa digunakan. Tangannya menyentuh sesuatu—sepotong kawat kecil yang terselip di balik lipatan kain celananya. Ia tersenyum kecil, merasa sedikit lebih percaya diri.
Dengan hati-hati, ia mulai merangkai rencana. Ia berpura-pura terjatuh ke lantai, seolah-olah kehilangan kesadaran. Kamera di langit-langit pasti akan merekamnya, tetapi ia tahu bahwa itu akan membuat para penjaga lengah.
Ketika tidak ada reaksi dari penjaga setelah beberapa menit, Aksara tahu bahwa mereka tidak langsung memantau kamera. Ia bergerak cepat, memanjat ke sudut ruangan dan mulai merusak kabel kamera dengan kawat kecilnya.
“Ayo, hanya sedikit lagi,” bisiknya. Tangannya bekerja cepat, tetapi tetap hati-hati agar tidak menimbulkan suara yang mencurigakan.
Akhirnya, kamera itu berhenti merekam. Lampu kecil di atasnya yang sebelumnya berkedip kini padam.
***
Dengan kamera yang tidak lagi merekam gerak-geriknya, Aksara merasa sedikit lebih bebas untuk mencari jalan keluar. Ia kembali ke celah kecil di dinding yang tadi ditemukan. Kali ini, ia mencoba memasukkan kawatnya ke dalam celah itu, berharap menemukan mekanisme tersembunyi.
Drake, yang ditahan di ruangan berbeda, tidak tahu apa yang sedang terjadi. Namun, ia juga tidak tinggal diam. Ia mencoba mendengarkan suara-suara dari luar ruangan, mencari petunjuk tentang keberadaan mereka.
Sementara itu, Aksara akhirnya menemukan sesuatu di balik celah itu—sebuah tombol kecil. Ia menekannya perlahan, dan terdengar suara mekanisme bergerak di dalam dinding. Sebuah pintu rahasia terbuka, menghubungkan ruangannya dengan lorong gelap.
“Gotcha,” gumamnya sambil tersenyum tipis.
Namun, ia tahu bahwa ini belum berakhir. Jalan di depannya masih panjang, dan ia harus tetap waspada.
***
Sementara itu, di tempat lain, Miska berdiri di depan layar besar yang menampilkan rekaman Aksara di dalam ruang tahanannya. Ia tahu bahwa Aksara bukan orang biasa. Bahkan dalam situasi sulit, ia selalu menemukan cara untuk melawan.
Di belakang Miska, seseorang masuk ke ruangan. Pria itu adalah atasan langsung Miska, sosok yang selama ini menarik tali di balik layar.
“Kau tahu dia akan mencoba melarikan diri, bukan?” kata pria itu dengan suara tenang tetapi penuh ancaman.
Miska mengangguk. “Aku tahu. Tapi aku sudah mengatur semuanya. Dia tidak akan bisa pergi jauh.”
Pria itu tertawa kecil. “Bagus. Tapi ingat, jika dia berhasil lolos, itu adalah tanggung jawabmu.”
Miska mengangguk lagi, tetapi dalam hatinya, ia merasa ada sesuatu yang salah. Ia tidak pernah benar-benar setuju dengan rencana ini, tetapi ia tidak punya pilihan lain.
****
Aksara merangkak melalui lorong gelap yang sempit, mencoba mengabaikan rasa takut dan kecemasan yang terus menghantuinya. Setiap napas terasa berat, dan setiap langkah membuatnya semakin sadar bahwa waktu sangat terbatas. Ia tahu bahwa ini mungkin satu-satunya kesempatan untuk melarikan diri. Namun, ketika ia akhirnya mencapai ujung lorong, sesuatu yang sama sekali tidak ia duga menantinya.
Di depannya, bukan pintu keluar yang ia temukan, tetapi sebuah ruangan besar penuh dengan layar monitor. Cahaya dari layar-layar itu memantulkan bayangan di wajahnya, membuat tatapannya semakin tajam. Ia menatap layar di tengah ruangan, di mana ia melihat rekaman dirinya sendiri, yang diambil dari kamera di ruang tahanannya.
“Ini... tidak mungkin,” gumaMnya dengan napas tertahan.
Aksara merasa seperti jantungnya berhenti berdetak sejenak. Itu adalah jebakan. Mereka tahu setiap gerakannya. Semua usaha yang ia lakukan ternyata sudah dipantau sejak awal. Ia meremas tangannya, mencoba menenangkan diri, tetapi pikiran-pikirannya terus berputar.
"Berapa lama mereka tahu? Apa mereka sengaja membiarkanku menemukan jalan keluar ini? Atau... ini semua hanya permainan mereka?"
Ketegangan semakin memuncak saat suara langkah kaki yang berat mulai terdengar dari belakang. Aksara menoleh cepat, tetapi lorong yang gelap hanya memantulkan kehampaan.
“Jangan panik... tetap tenang...” bisiknya kepada dirinya sendiri, meskipun tubuhnya sudah dipenuhi keringat dingin.
Namun, sebelum ia sempat mengambil langkah berikutnya, sebuah suara yang dingin dan familiar memecah kesunyian ruangan itu.
“Cepat juga kau bergerak, bukan? Tapi kau terlalu terburu-buru, Aksara.”
Aksara berbalik dengan cepat, tubuhnya tegang seperti kawat yang siap putus. Di sana, di ujung lorong gelap yang baru saja ia lewati, Miska berdiri dengan tenang, menatapnya dengan ekspresi dingin dan penuh perhitungan. Di tangan Miska, sebuah remote kecil berwarna hitam mencuri perhatian Aksara.
“Miska...” gumam Aksara, suaranya penuh emosi. “Apa yang sebenarnya kau lakukan? Apa semua ini rencanamu?”
Miska berjalan mendekat perlahan, langkahnya penuh kepastian. Setiap langkah terdengar seperti dentuman keras di kepala Aksara, seolah-olah waktu melambat.
“Kau terlalu percaya diri, Aksara,” kata Miska dengan nada rendah namun tajam. “Aku sudah tahu sejak awal apa yang akan kau lakukan. Lorong itu? Itu bukan jalan keluar. Itu hanyalah bagian dari permainan kami.”
Aksara mengertakkan giginya, amarahnya memuncak. “Permainan? Jadi semua ini hanya lelucon bagimu?”
Miska tersenyum tipis, tetapi tidak ada kehangatan di dalamnya. “Tidak, ini bukan lelucon. Ini adalah ujian. Kami ingin melihat sejauh mana kau bisa bertahan. Dan sejauh ini, aku cukup terkesan.”
Aksara mengepalkan tangannya, mencoba menahan diri untuk tidak langsung menyerang. “Kau pikir aku akan menyerah begitu saja? Kau salah besar, Miska. Aku akan keluar dari sini, dengan atau tanpa bantuanmu.”
Miska tertawa kecil, tetapi tawanya terdengar dingin dan penuh ancaman. Ia mengangkat remote kecil di tangannya dan menekan sebuah tombol. Dalam sekejap, dinding di sekitar ruangan mulai bergerak, menutup setiap jalan keluar yang mungkin ada.
“Kali ini, kau tidak akan bisa lolos, Aksara. Permainan ini sudah selesai,” kata Miska dengan nada dingin.
Aksara mundur perlahan, matanya mencari-cari celah lain, tetapi semuanya sudah tertutup rapat. Ia tahu bahwa ini adalah akhir dari rencananya, tetapi ia tidak akan menyerah tanpa perlawanan.
Namun, sebelum ia sempat bergerak lebih jauh, sebuah suara lain terdengar dari salah satu layar di ruangan itu. Suara yang berat dan penuh otoritas.
“Miska, cukup sudah. Kau tahu apa yang harus kau lakukan.”
Aksara menoleh ke arah layar, dan melihat sosok seorang pria yang selama ini hanya ia dengar namanya—pemimpin di balik semua kekacauan ini. Wajahnya tidak terlihat jelas, tetapi suaranya mengirimkan getaran ke seluruh tubuh Aksara.
“Mereka tidak akan pergi ke mana-mana. Kita punya rencana lain untuk mereka,” lanjut suara itu.
Aksara merasa tubuhnya membeku. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tetapi satu hal yang ia tahu pasti—ia telah masuk terlalu dalam ke dalam permainan ini, dan keluarnya tidak akan mudah.
Bersambung...
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Hi semuanya, jangan lupa like dan komentarnya ya.
Terima kasih.