NovelToon NovelToon
Antasena Pendekar Tanpa Tanding

Antasena Pendekar Tanpa Tanding

Status: sedang berlangsung
Genre:Poligami / Spiritual / Perperangan / Ilmu Kanuragan / Kultivasi Modern / Penyelamat
Popularitas:6.9k
Nilai: 5
Nama Author: kelana syair( BE)

Pengembaraan seorang pendekar muda yang mencari para pembunuh kedua orang tuanya.Ia berkelana dari satu tempat ketempat lain.Dalam perjalanannya itu ia menemui berbagai masalah hingga membuat dirinya menjadi sasaran pembunuhan dari suatu perguruan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kelana syair( BE), isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Korban pertama pedang Merah

Antasena tersenyum masam mendengar orang tua itu. "Nyawaku? Kau pikir mudah mengambilnya, orang tua?"

Senyum pria tua itu tak luntur. "Mudah atau tidak, itu urusanku. Yang jelas, malam ini juga nyawamu akan melayang."

"Coba saja kalau kau bisa!" Antasena dengan menghunus pedang merahnya.

Mata pria tua itu berkilat. Sebuah seringai jahat terukir di wajah keriputnya. "Kau menantangku, bocah? Kau pikir dengan pedang berkarat itu kau bisa mengalahkanku?" Ia mengangkat tangannya menanggalkan tongkatnya, dan dari balik lengan jubahnya yang lebar, muncul sebilah golok hitam berkilauan. Golok itu memancarkan aura dingin yang menusuk, seolah mampu membekukan udara di sekitarnya.

Antasena tidak gentar. Pedang merah di tangannya terasa bergetar, seakan ikut merasakan semangat juangnya yang membara. "Berkarat katamu? Pedang ini memang tak berkilau, tapi dia sudah menemaniku dalam pengembaraan ku. Dan hari ini kaulah yang akan menjadi korban pertama ketajaman pedang merah buatan ayah ku ini."

Tanpa menunggu lagi, Antasena menerjang. Pedang merahnya menebas dengan cepat, meninggalkan jejak cahaya merah di udara. Serangan itu mengincar leher pria tua itu.

Pria tua itu menyeringai. Dengan gerakan yang gesit, ia menangkis serangan Antasena dengan golok hitamnya. Bentrokan kedua senjata itu menimbulkan percikan api yang menyilaukan, disertai suara dentingan logam yang memekakkan telinga.

"Cukup lincah untuk ukuran bocah ingusan," gumam pria tua itu dengan nada meremehkan.

Antasena tak menjawab. Ia melompat mundur, lalu kembali menyerang dengan jurus-jurus pedangnya yang lincah dan bertenaga. Pedang merahnya bergerak bagaikan naga merah yang menari, menebas, menusuk, dan berputar, mencari celah dalam pertahanan pria tua itu.

Namun, pria tua itu bukanlah lawan yang mudah. Golok hitamnya bergerak secepat kilat, menangkis setiap serangan Antasena dengan mudah. Sesekali, ia balas menyerang dengan tebasan yang kuat dan berbahaya. Aura dingin dari golok itu membuat udara di sekitar Antasena terasa membeku, memperlambat gerakannya.

Pertarungan berlangsung sengit. Keduanya bertukar serangan dengan kecepatan yang luar biasa. Tempat pertarungan itu dipenuhi dengan kilatan merah dan hitam, diiringi dentingan logam yang saling bersahutan.

Antasena mulai terdesak. Keringat dingin mengucur di pelipisnya. Napasnya mulai tersengal-sengal. Ia tahu, ia harus segera mengakhiri pertarungan ini, atau ia yang akan berakhir riwayatnya.

"Kau mulai lelah, bocah," ejek pria tua itu. "Sebentar lagi kau akan bertekuk lutut di hadapanku!"

Mendengar ejekan itu, semangat Antasena kembali berkobar. Ia teringat akan semua yang telah ia lalui, kematian orang tuanya belum terbalaskan jadi mana bisa ia harus mati di tangan orang tua bertudung hitam.

"Dengar orang tua, aku mengikuti sayembara ini bukan untuk mati di tangan mu, " ucap Antasena, ia kemudian memegang erat pedang merahnya dan memeragakan jurus pedang membelah samudera warisan ayahnya.

"Akan kutebas kau dengan seluruh kekuatanku!" teriak Antasena.

Aura merah menyala-nyala yang membungkus pedang Antasena semakin pekat saat ia meliukkan tubuhnya, memeragakan jurus pedang membelah samudera warisan ayahnya. Setiap gerakan terasah sempurna, dipenuhi dengan kekuatan dan tekad yang tak tergoyahkan. Pedang merah itu menebas udara, meninggalkan jejak cahaya merah yang berkelok-kelok bagaikan ombak yang mengamuk.

"Jurus warisan, ya?" gumam pria tua itu, sorot matanya yang semula meremehkan kini berkilat dengan kewaspadaan. Ia bisa merasakan kekuatan dahsyat yang tersimpan dalam setiap tebasan pedang Antasena. Aura merah yang keluar terasa menekan, seolah mampu menenggelamkannya ke dalam lautan api.

Antasena bergerak dengan kecepatan yang luar biasa. Tubuhnya meliuk-liuk, menghindari serangan golok hitam yang berkali-kali nyaris merobek kulitnya. Setiap kali golok hitam itu mendekat, Antasena akan membalas dengan tebasan yang lebih kuat, bagaikan ombak yang menghantam karang.

Gerakan pertama, Ombak Menerjang: Antasena melompat maju dengan gesit, pedang merahnya menebas secara mendatar, menciptakan gelombang aura merah yang melesat ke arah pria tua itu.

Pria tua itu menyilangkan golok hitamnya di depan dada, berusaha menahan gelombang aura merah tersebut.

 Namun, kekuatan yang terkandung di dalamnya terlalu besar. Ia terdorong mundur beberapa langkah, kakinya menyisakan jejak di tanah yang keras.

Gerakan kedua, Pusaran Air: Antasena memutar tubuhnya dengan cepat, pedang merahnya berputar mengikutinya, menciptakan pusaran aura merah yang menyedot udara di sekitarnya. Aura dingin dari golok hitam pria tua itu seakan tertelan oleh pusaran tersebut.

Pria tua itu terhuyung, keseimbangannya terganggu oleh kekuatan pusaran. Ia berusaha keras untuk tetap berdiri tegak, namun tarikan dari pusaran aura merah itu semakin kuat.

Gerakan ketiga, Tsunami Menggulung: Antasena menghentikan putarannya.

Ia mengangkat pedang merahnya tinggi-tinggi, mengumpulkan seluruh kekuatannya di ujung pedang. Aura merah yang menyelimuti pedang itu berkumpul dan membesar, membentuk gelombang raksasa yang siap menghantam.

"Terimalah ini hiaat !" teriak Antasena.

Dengan teriakan keras, ia menghantamkan pedang merahnya ke bawah. Gelombang aura merah raksasa itu meluncur deras ke arah pria tua itu, bagaikan tsunami yang siap menelan segala yang ada di hadapannya.

Pria tua itu menatap gelombang aura merah yang mendekat dengan tatapan ngeri. Ia tahu, ini adalah akhir dari segalanya. Ia mencoba untuk menghindar, namun sudah terlambat.

"ARRGGHHH!"

Jeritan kesakitan pria tua itu menggema di seluruh ruangan. Tubuhnya terhempas oleh kekuatan gelombang aura merah. Golok hitamnya terlepas dari genggamannya, terpental jauh dan menancap di batang pohon. Tubuh pria tua itu terbanting keras ke tanah meninggalkan lubang besar di tempat ia jatuh.

Debu beterbangan di seluruh hutan. Ketika debu mulai menghilang, terlihatlah sosok Antasena yang berdiri tegak dengan pedang merah di tangannya. Napasnya terengah-engah, keringat bercucuran di sekujur tubuhnya. Namun,sinar matanya menyorot tajam ke arah orang tua tadi..

Di sisi lain tempat itu, pria tua tadi terbaring tak berdaya. Tubuhnya penuh dengan luka, pakaiannya compang-camping. Darah segar mengalir dari luka-lukanya, membasahi tanah di sekitarnya.

"K-kau... bocah... k-kau..." ucapnya terbata-bata, suaranya hampir tak terdengar.

Antasena berjalan mendekati pria tua itu. Ia berdiri di hadapannya, menatapnya dengan tatapan tajam.

"Aku sudah bilang," ucap Antasena dengan suara dingin. "Aku mengikuti sayembara ini bukan untuk mati di tanganmu."

Ia mengangkat pedang merahnya, mengarahkannya ke leher pria tua itu. Satu tebasan, dan semuanya akan berakhir. Namun, Antasena ragu. Ia melihat sorot mata pria tua itu yang kini dipenuhi dengan ketakutan dan ketidakberdayaan.

Antasena teringat dengan kematian kedua orang tuanya yang di bunuh secara kejam dengan di bakar, maka ia pun membuang jauh jauh rasa keraguannya.

Kilatan ingatan mengerikan itu melintas di benak Antasena. Bayangan api yang menjilat-jilat tubuh kedua orang tuanya, jeritan kesakitan yang memilukan, dan bau daging terbakar yang menyesakkan... Semuanya kembali menghantuinya, seolah baru terjadi kemarin. Rasa sakit, kemarahan, dan dendam yang selama ini ia pendam kembali meletup, membakar hatinya dengan api yang lebih dahsyat.

Keraguan yang sempat hinggap di benak Antasena sirna seketika. Tergantikan oleh tekad bulat untuk membalas dendam.Walaupun orang tua itu bukan yang membunuh kedua orang tuanya, tapi sifat jahatnya membuat Antasena tidak bisa memaafkannya.

Tangannya yang memegang pedang merah semakin erat. Aura merah di sekitar pedang itu kembali menyala, berkobar lebih terang dan panas, seakan mencerminkan gejolak amarah di dalam hatinya.

"Kau... dan orang-orang sepertimu..." desis Antasena, suaranya bergetar menahan amarah. "Harus merasakan apa yang para korban mu rasakan."

Pria tua itu menatap Antasena dengan mata memohon. "Aampuni... aku...tuan pendekar" ucapnya lirih, hampir tak terdengar.

Namun, permohonan itu bagaikan angin lalu bagi Antasena. Hatinya telah membatu, tertutup oleh kabut dendam yang tebal yang membara pada kejahatan. Yang ada di hadapannya saat ini bukanlah seorang manusia, melainkan perwujudan dari semua kejahatan yang telah merenggut kebahagiaannya.

Tanpa ragu sedikit pun, Antasena mengangkat tinggi pedang merahnya. Cahaya merah menyilaukan terpantul dari mata pedang yang tajam itu. Pria tua itu menutup matanya pasrah, menerima takdirnya.

"Matilah kau!" teriak Antasena, suaranya menggema di seluruh ruangan.

Dengan sekuat tenaga, ia menebaskan pedang merahnya ke leher pria tua itu. Sebuah tebasan cepat, bersih, dan mematikan.

SRETT!

Darah segar menyembur deras, membasahi tanah dan pakaian Antasena. Kepala pria tua itu terpenggal, menggelinding beberapa meter dari tubuhnya. Matanya masih terbuka lebar, menyiratkan kengerian yang luar biasa.

Hutan itu kembali sunyi. Hanya suara tetesan darah yang terdengar, mengiringi napas Antasena yang masih memburu. Pedang merah di tangannya masih berlumuran darah, mengepulkan asap tipis.

Antasena berdiri terpaku, menatap mayat pria tua itu dengan tatapan kosong. Rasa puas bercampur hampa menyelimuti hatinya. Dendamnya memang telah terbalaskan pada kejahatan, tapi kekosongan di dalam hatinya tak kunjung hilang.

Ia menghela napas panjang, berusaha menenangkan dirinya.

"Ternyata jurus pedang membelah samudera tadi terlalu banyak menguras tenaga ku,jika aku menghadapi lawan lebih dari satu yang tingkat kekuatannya sama dengan orang tua ini pasti aku akan kesulitan, " ucap Antasena.

Perjalanannya masih panjang. Sayembara ini masih harus ia menangkan. Ia harus tetap fokus dan kuat, demi dirinya dan demi masa depannya.

Antasena menyarungkan kembali pedang merahnya. Ia lalu berbalik, meninggalkan mayat pria tua itu di belakangnya. Langkahnya mantap, meninggalkan orang tua itu dan bersiap menuju pertarungan selanjutnya yang menantinya. Ia tahu, jalan di depannya masih penuh dengan rintangan. Namun, ia bertekad untuk terus maju, apa pun yang terjadi. Karena ia, Antasena, tidak akan berhenti sampai tujuan tercapai.

Selepas kepergian Antasena Baradenta, Suryadenta, Intan dan Sugiwara tiba di tempat itu. Mereka terkejut melihat banyaknya mayat di tempat itu,tapi yang menjadi perhatian mereka adalah mayat tanpa kepala.

"Pembunuhan besar-besaran telah terjadi di tempat ini, " ucap Baradenta dengan wajah penuh ketegangan.

"Ya ,dan tampaknya baru saja terjadi pertarungan di tempat ini, " kata Intan begitu melihat darah segar dari tubuh orang tua yang bertarung dengan Antasena tadi.

Sugiwara mengamati dengan cermat mayat tanpa kepala itu, melihat pakaian yang di tubuhnya. Ia langsung menyimpulkan kalau orang itu adalah satu kelompok dengan orang orang yang menyerangnya tadi.

"Mayat tanpa kepala ini adalah kelompok para pemburu bayaran yang menyerang kita tadi Intan, " Sugiwara mengatakannya dengan penuh keyakinan.

"Apa ! Lalu siapa yang membunuh orang ini paman?apakah mungkin Antasena atau peserta sayembara yang lain? " tanya Intan.

"Kemungkinan bisa Antasena kemungkinan juga bpeserta sayembara yang lain, "jawab Sugiwara.

" Aku yakin Antasena yang melakukan ini, bukankah hanya dia yang berjalan di depan kita, "ucap Baradenta, menyimpulkan.

" Ya kakang Baradenta benar, pasti Antasena yang melakukan ini, "tegas Suryadenta.

" Kita jangan membuang waktu ayo kita menangkan sayembara ini dan jangan kalah dengan Antasena , "kata Sugiwara.

Paman benar, kita harus segera melanjutkan perjalanan," sahut Intan, matanya berbinar penuh semangat. "Semakin cepat kita bergerak, semakin besar peluang kita untuk menang."

"Tapi bagaimana dengan mayat-mayat ini, Paman?" tanya Suryadenta, menunjuk ke sekeliling jalan yang masih berserakan dengan jasad para peserta sayembara. "Apakah kita biarkan saja?"

Sugiwara berpikir sejenak. "Kita laporkan saja nanti setelah sayembara selesai. Sekarang, yang terpenting adalah kita fokus pada tujuan utama kita. Membuang waktu untuk mengurusi mayat-mayat ini hanya akan menghambat perjalanan kita."

Baradenta mengangguk setuju. "Aku setuju dengan Paman.Tujuan kita sekarang adalah memenangkan sayembara. Masalah mayat-mayat ini bisa kita urus nanti."

Dengan tekad yang semakin bulat, mereka berempat melanjutkan perjalanan, meninggalkan jalan yang penuh dengan mayat itu.

1
ria
lanjutkan
Endri ALLIKA
lanjutkan Bosque 🙏🙏
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Waooow
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Yeaaah
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Waooow
Zainal Arifin
lanjutkan
Redy Ryan Little
Bagus
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Muantebz
ria
lanjutkan
ria
lanjutkan maju terus
ria
maju
ria
semangat
ria
lanjutkan
ria
mantap
ria
maju terus
ria
lanjutkan
yun
mantap semangat dan lanjutkan
yun
lngsung kam
yun
semangat
yun
maju terus
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!