"Aku mencintainya, tapi akulah alasan kehancurannya. Bisakah ia tetap mencintaiku setelah tahu akulah penghancurnya?"
Hania, pewaris tunggal keluarga kaya, tiba-tiba menghilang tanpa jejak. Meskipun seluruh sumber daya dan koneksi dikerahkan untuk mencarinya, Hania tetap tak ditemukan. Tidak ada yang tahu, ia menyamar sebagai perawat sederhana untuk merawat Ziyo, seorang pria buta dan lumpuh yang terjebak dalam bayang-bayang masa lalunya.
Di tengah kebersamaan, cinta diam-diam tumbuh di hati mereka. Namun, Hania menyimpan rahasia besar yang tak termaafkan, ia adalah alasan Ziyo kehilangan penglihatannya dan kemampuannya untuk berjalan. Saat kebenaran terungkap, apakah cinta mampu mengalahkan rasa benci? Ataukah Ziyo akan membalas dendam pada wanita yang telah menghancurkannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon 𝕯𝖍𝖆𝖓𝖆𝖆𝟕𝟐𝟒, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
3. Memutuskan Pertunangan
Jantung Hania berdebar kencang ketika ia mengenali sosok itu. Rasa benci dan amarah bercampur dalam dadanya, membuatnya sulit bernapas."Clara? Gadis yang membuat Bryan meninggalkanku? Apa yang dia lakukan di sini?" batinnya.
Clara berdiri di depan kaca ruang ICU, matanya menatap Ziyo yang terbaring lemah di dalam ruangan, tapi wajahnya datar, tanpa ekspresi empati. Di sebelahnya, Rita, mamanya, berdiri dengan sikap yang jauh berbeda. Wanita paruh baya itu terlihat lebih tenang, tapi matanya penuh keprihatinan, seolah mencoba menyembunyikan kesedihan yang mendalam.
Hania menunduk, bersembunyi di balik dinding, tetapi tetap mendengarkan. Ia tidak bisa meninggalkan tempat itu. Sesuatu dalam dirinya memaksa untuk tetap tinggal.
“Kasihan sekali dia…” bisik Rita dengan suara lirih, memecah keheningan di antara mereka. Tangannya menyentuh kaca, seakan ingin memberikan kekuatan pada pemuda yang pernah begitu baik pada keluarganya.
Clara mendesah pelan, ekspresi datarnya tak berubah. "Kasihan?" gumamnya, nyaris seperti sindiran. "Aku rasa… aku lebih kasihan pada diriku sendiri."
Rita menoleh dengan alis berkerut. "Clara, apa maksudmu bicara seperti itu?"
Clara mengalihkan pandangannya, seolah tak peduli. "Ma, aku hanya bicara jujur. Mama tahu ini bukan hidup yang kuinginkan."
Rita memandang putrinya dengan tajam, tetapi tetap berusaha menahan emosinya. Hati kecilnya terluka mendengar kata-kata Clara, tapi ia menenangkan dirinya. “Clara, Ziyo--"
Belum sempat Rita menyelesaikan kalimatnya, pintu ruangan ICU itu terbuka, seorang dokter muncul dari balik pintu.
Rita melangkah mendekati dokter dengan langkah ragu, lalu berbicara dengan nada cemas yang sulit ia sembunyikan. “Bagaimana kondisinya, Dok?”
Dokter menghela napas, seolah tak ingin menyampaikan kabar buruk itu, namun tetap menjaga profesionalismenya. “Ini adalah kecelakaan serius, Nyonya. Wajahnya mengalami kerusakan parah, kedua matanya kehilangan fungsi penglihatan, dan kakinya patah. Kami telah melakukan yang terbaik. Untuk saat ini, kondisinya sudah stabil, meski sempat berada dalam kondisi kritis.”
Clara berdiri di dekat pintu, tatapannya kosong. Ia mengerjapkan mata beberapa kali, namun ekspresinya tetap dingin, bahkan nyaris datar. Hanya ada sedikit kerutan di dahinya, bukan karena kekhawatiran, melainkan lebih pada rasa tak nyaman yang semakin menghimpit. Beban emosional ini terasa seperti rantai yang tak bisa ia lepaskan, dan ia mulai merasa sesak dalam situasi yang ia anggap sia-sia.
Di sisi lain, Rita, yang berdiri di dekatnya, menatap dokter dengan wajah penuh kepiluan. Matanya yang berkaca-kaca jelas menunjukkan rasa sakit yang ia rasakan. Namun, justru reaksi ibunya ini membuat Clara semakin muak. Semua ini, menurutnya, sudah terlalu melelahkan.
Ia merasa seperti terperangkap dalam perang panjang yang tak pernah memberinya kemenangan, hanya kekalahan yang semakin menggerus dirinya. Dalam diam, ia menelan keengganannya sendiri, sementara pikirannya terus mencari jalan keluar.
“Apakah ada yang bisa kami lakukan, Dokter?” tanya Rita dengan suara lembut namun tegas, tangannya erat menggenggam tasnya seolah mencari pegangan.
Dokter menghela napas, matanya penuh empati. “Untuk saat ini, fokus kami adalah stabilisasi. Proses pemulihan akan sangat bergantung pada perawatan intensif dan dukungan moral dari keluarga. Kami akan melakukan yang terbaik.”
Clara menghela napas pelan, sebelum akhirnya bertanya, “Jadi, apa kondisinya akan membaik?” Suaranya terdengar datar, tanpa emosi, lebih seperti formalitas daripada kekhawatiran. Bibirnya mengatup rapat, menahan rasa jenuh yang kini semakin sulit disembunyikan.
Dokter menghela napas pelan. “Kami belum bisa memastikan, tapi kemungkinan itu ada. Yang penting sekarang adalah dukungan dari orang-orang terdekatnya.”
Clara menghela napas panjang, lalu mendorong pintu kaca ICU dan melangkah masuk tanpa menunggu jawaban lebih lanjut. Setelah dokter pergi, Rita mengikutinya dengan langkah hati-hati, wajahnya penuh kekhawatiran.
Hania mengintip dari balik sudut lorong, jantungnya berdebar kencang. Ia melihat Clara dan ibunya masuk ke ruangan Ziyo. Rasa ingin tahu yang bercampur dengan rasa bersalah menyelimuti hatinya. "Apa yang dilakukan Clara di sini? Apa hubungannya dengan Ziyo?" Pikirannya berkecamuk.
Begitu berada di samping ranjang Ziyo, mata Clara langsung menatap wajahnya yang sebagian besar tertutup perban. Tubuhnya yang dulu tegap dan penuh energi kini terlihat rapuh dan tak berdaya. Clara mendengus pelan, lalu memalingkan wajahnya dengan ekspresi jijik.
“Kondisinya sangat serius,” gumam Rita dengan nada khawatir, tangannya menyentuh ujung ranjang. “Kita harus bersabar, Clara. Ziyo membutuhkan kita.”
Clara mengerutkan kening, matanya memancarkan kejengkelan yang tajam. “Membutuhkan kita? Maksud Mama, aku harus duduk di sini sepanjang waktu, menjaga dan merawat dia?”
Rita mengangguk pelan. “Dia tunanganmu, Clara. Ini adalah tanggung jawabmu. Dengan kamu di sisinya, dia pasti akan merasa lebih baik.”
Clara mendengus sinis, lalu tertawa pendek tanpa humor. “Tanggung jawab? Mama ingin aku mengorbankan waktuku, energiku, bahkan hidupku untuk dia?”
Rita terdiam, menatap Clara dengan keterkejutan yang sulit ia sembunyikan. Tapi Clara belum selesai. Ia memandang Ziyo dengan tatapan dingin. “Lihatlah dia, Ma! Tak berdaya seperti ini, dan aku harus menyerahkan hidupku untuk seorang pria yang bahkan tidak membuatku bahagia? Aku tidak mau! Aku tidak peduli lagi!”
Ziyo mendengar setiap kata yang keluar dari mulut Clara dengan jelas, meski matanya tetap terpejam. Suara itu menusuk seperti pisau tumpul, bukan karena ia mencintai Clara, melainkan karena setiap kata yang terucap membenarkan apa yang selama ini ia rasakan: Clara tak lagi ingin bersamanya.
Ia ingin marah, ingin membuka mata dan menyela pertengkaran itu, tapi ia menahan diri. Ada sesuatu yang lebih penting dari sekadar menyuarakan emosinya. Ia ingin tahu sejauh mana Clara bisa berkata tanpa kepura-puraan.
“Apa yang kau bicarakan Clara? Kau adalah tunangannya. Kau harus menemani Ziyo di saat-saat seperti ini,” suara Rita terdengar tegas, penuh tuntutan. Ziyo hampir bisa membayangkan wajah sahabat mendiang ibunya itu, memancarkan kekecewaan yang coba ia sembunyikan di balik nasihat keibuannya.
Namun suara Clara terdengar berbeda, dingin, kaku, seperti seseorang yang berbicara pada orang asing. “Ma, aku tidak mau melakukan ini.”
Tidak mau melakukan ini. Kata-kata itu menggema di kepala Ziyo, membuatnya terdiam di bawah selimut tipis rasa penyesalan dan ironi. Ia tahu ini akan terjadi. Ia tahu Clara telah berubah sejak lama. Tetapi mendengar Clara mengatakannya dengan suara lantang, rasanya tetap menyakitkan. Bukan karena hatinya yang hancur, tetapi karena ia tahu Clara tidak akan pernah berani mengatakannya jika ia tidak dalam kondisi seperti ini.
Clara mendesah, seolah menumpahkan beban yang selama ini ia tahan. “Aku ingin memutuskan pertunangan kami.”
Ziyo merasakan napasnya tertahan, meski ia tetap berusaha menjaga tubuhnya tak bergerak. Ia ingin tersenyum sinis, tetapi rasa pahit di dadanya terlalu kuat untuk dirayakan. "Lucu," pikirnya dalam hati. Clara akhirnya berkata jujur, sesuatu yang tidak pernah ia lakukan sebelumnya.
Ia tak mencintai Clara. Tidak pernah. Hubungan ini hanyalah sebuah kompromi, kompromi yang ia lakukan untuk menghormati ibunya dan sahabat ibunya, Rita. Wanita itu memperlakukannya seperti putra kandungnya setelah kematian ibunya, mengisi kekosongan yang sempat menghantui hidupnya. Ziyo tahu ia tidak bisa mengecewakan Rita, tidak setelah semua perhatian dan kasih sayang yang ia terima darinya.
Namun sekarang, mendengar Clara dengan tegas ingin memutuskan hubungan mereka, Ziyo merasa seperti beban berat yang selama ini ia pikul perlahan diangkat dari pundaknya. Ironisnya, bukannya lega, ia justru merasa kalah.
"Apa ini karena wajahku? Tubuhku yang tak lagi sempurna? Atau sebenarnya kau hanya menunggu alasan untuk pergi?" gumamnya dalam hati.
Ia tahu jawabannya. Clara mungkin sudah lama tak ingin bersamanya. Kecelakaan ini hanya mempercepat keputusan yang sebenarnya sudah ada di dalam hati wanita itu.
“Clara!”
...🔸"Kamu terlalu berharga untuk disia-siakan oleh seseorang yang tidak bisa melihat betapa dirimu istimewa."🔸...
...🍁💦🍁...
.
To be continued
Hania pergi ziyo ada yg hilang walaupun tidak bs melihat wajah hania ziyo bs merasakan ketulusan hania walaupun ada yg disembunyikan hania....
Dalang utama adalah diva ingin mencelakai ziyo dan pura2 baik didepan ziyo bermuka dua diva ingin menguasai perusahaan.....
Dasar ibu diva hanya mementingkan diri dan tidak mementingkan kebahagiaan Zian..
Diva tidak akan tinggal diam pasti akan mencelakai ziyo lagi....
bagus hania bantu ziyo sembuh dan pulih lagi musuh msh mengincar ziyo....
hania hrs hati2 dan waspada menjaga dan melindungi ziyo dr org2 jahat akan menyakitinya....
Diva diam2 ingin menguasai perusahaan ziyo...
smg niat baik hania berhasil ziyo bertahan di posisinya tidak tergeser.....