Empat tahun berlalu, Jagat Hartadi masih larut dalam perasaan cinta tak berbalas. Dia memilih menjalani hidup sendiri, hingga suatu malam dirinya membantu seorang wanita yang pingsan di pinggir jalan.
Jenna, itulah nama wanita tersebut. Siapa sangka, dia memiliki kisah kelam menyedihkan, yang membuat Jagat iba.
Dari sana, timbul niat Jagat untuk menikahi Jenna, meskipun belum mengenal baik wanita itu. Pernikahan tanpa dilandasi cinta akhirnya terjadi.
Akankah pernikahan yang berawal dari rasa kasihan, bisa menjadi surga dunia bagi Jenna dan Jagat?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Komalasari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 11 : Rela Menunggu
Jagat terdiam sejenak, lalu menoleh kepada Jenna yang tengah mengusap-usap lembut perutnya. Dia menatap wanita muda itu beberapa saat, sebelum mengalihkan perhatian karena Jenna tiba-tiba menoleh padanya.
“Baiklah. Terima kasih informasinya, Ben,” ucap Jagat kemudian.
“Sama-sama, Pak. Apakah Anda membutuhkan informasi lebih lanjut?” tanya Beno.
“Sebenarnya, iya. Kabari secepatnya, bila ada informasi tambahan.”
“Siap, Pak.”
Jagat menutup sambungan telepon, lalu kembali ke dekat sofa. Dia duduk di tempatnya tadi, seraya mengarahkan perhatian kepada Jenna.
“Apa Anda sedang sibuk?” tanya Jenna.
“Tidak juga,” jawab Jagat tenang. “Kamu tidak lelah?” Dia balik bertanya.
Jenna menggeleng, diiringi senyum lembut. “Aku akan membantu Bi Yanti menyiapkan makan siang.”
“Tidak usah. Akan ada waktunya untuk melakukan itu. Sekarang, sebaiknya kamu istirahat saja.”
“Tapi, rasanya sangat membosankan. Aku ingin melakukan sesuatu yang …” Jenna menggeleng samar.
“Bagaimana jika kutemani berbincang?” tawar Jagat.
Jenna langsung tersenyum cukup lebar menanggapi tawaran dari pria itu. “Terima kasih,” ucapnya senang.
Jagat mengangguk samar, tanpa mengalihkan pandangan dari sosok sang istri. Pria itu terdiam beberapa saat, seakan tengah memikirkan sesuatu tentang wanita cantik yang tengah mengandung empat bulan tersebut.
“Apakah ada yang salah, Pak?” tanya Jenna penasaran, sebab Jagat terus menatapnya dengan sorot aneh.
Jagat menggeleng pelan, lalu mengembuskan napas berat. “Aku tidak tahu bahwa kamu berasal dari Bali,” ucapnya.
‘Aku hanya perantau di sana.”
“Lalu?”
“Orang tuaku berasal dari Cipayung, Jakarta Timur. Namun, mereka merantau ke Bali ketika aku berusia 10 tahun. Kami hidup di sana dan menjadikan Bali sebagai rumah kedua,” tutur Jenna.
“Lalu, kenapa tiba-tiba kamu ada di sini? Jika karena ibumu yang menyuruh pergi, kurasa itu terlalu jauh. Apalagi, untuk wanita yang sedang hamil muda.” Jagat menatap penuh selidik. Sorot matanya membuat Jenna jadi agak kikuk.
Jenna tidak segera menjawab. Dia menatap Jagat beberapa saat, seakan tengah memikirkan kata-kata yang akan diucapkan sebagai penjelasan.
“Kenapa?” tanya Jagat, berhubung Jenna tak juga menjawab pertanyaannya.
“Aku sudah berada di kota ini dari sebelum hamil,” jawab Jenna.
Namun, Jagat seperti tidak yakin dengan jawaban sang istri. Dia memicingkan mata, seolah tengah menganalisis wanita cantik berambut panjang itu. Jagat mencari satu titik, di mana dirinya bisa menemukan kejujuran dari kata-kata yang Jenna ucapkan.
“Maaf, aku tidak mengerti. Kania bertanya padamu ____”
“Sudah kukatakan bahwa kami lama tidak bertemu. Kania pasti mengira aku masih berada di Bali. Padahal, tidak,” jelas Jenna, berusaha terlihat meyakinkan di depan Jagat.
“Memangnya, berapa lama kalian tidak bertemu?” tanya Jagat, seakan tengah menginterogasi Jenna.
“Sangat lama,” jawab Jenna, mulai tak nyaman dengan rentetan pertanyaan yang Jagat ajukan. “Kenapa kita membahas ini, Pak?”
“Bukankah kamu menginginkan sesuatu yang lebih dari pernikahan kita?”
“Ya, tapi ….” Jenna menatap ragu. “Aku tahu, Anda pasti ingin lebih mengenalku. Namun, jujur saja aku kurang nyaman dengan ____”
“Itu hanya pertanyaan ringan. Kenapa bisa membuatmu tak nyaman?” Nada bicara serta bahasa tubuh Jagat, makin lama terasa begitu mengintimidasi Jenna.
“Entahlah. Aku hanya merasa sedang diinterogasi.”
Jagat tersenyum simpul. “Kita bertemu tanpa sengaja, lalu menikah. Wajar jika aku mengajukan banyak pertanyaan padamu.”
Jagat setengah membungkukkan badan sehingga jadi sedikit mendekat kepada Jenna. “Aku sangat penasaran terhadapmu,” ucapnya pelan dan dalam. Setelah itu, dia kembali pada sikap duduk semula. Tegak dan penuh wibawa.
“Aku pasti akan memberitahukan apa pun yang ingin Anda ketahui,” ucap Jenna. “Bukankah Anda mengatakan agar aku bersikap lebih terbuka?” Dia berusaha terlihat tenang menanggapi ucapan Jagat.
Jagat kembali tersenyum simpul. “Aku merasa kamu jauh lebih cerdas dari yang terlihat,” ucapnya, tanpa melepas tatapan dari Jenna.
“Tidak secerdas Anda. Itulah kenapa, aku berada dalam situasi seperti ini,” bantah Jenna, membalas tatapan Jagat. Padahal, ada debaran menggila yang teramat sulit dikendalikan. Sebenarnya, Jenna ingin melarikan diri dan bersembunyi dari pria itu.
“Jangan katakan kamu terpaksa atau merasa terjebak di sini,” ujar Jagat tenang.
“Tentu tidak, Pak,” sanggah Jenna segera. “Ucapanku merujuk pada apa yang terjadi sebelum bertemu Anda. Namun, sejujurnya aku tidak ingin membahas itu lebih jauh.”
“Aku bisa membantumu mendapatkan keadilan,” ucap Jagat yakin dan penuh wibawa. “Pria brengsek seperti itu harus mendapatkan hukuman setimpal. Dia pasti akan mengulangi hal serupa terhadap gadis lain.”
Jenna menggeleng kencang. “Aku tidak ingin berurusan lagi dengannya. Biarkan saja.”
“Apakah dia membuatmu takut?”
Jenna kembali menggeleng.
“Lalu?”
“Aku … aku hanya ingin melepaskan diri dari kejadian buruk di masa lalu. Sebab itulah meminta sesuatu yang lebih kepada Anda. Jika Anda berkenan, maka tolong jangan membahas itu lagi.”
Jagat terdiam beberapa saat, seakan tengah mempertimbangkan permintaan Jenna. Di satu sisi, dia begitu penasaran untuk mengusut tuntas pelaku rudapaksa terhadap wanita yang sudah menjadi istrinya tersebut. Di sisi lain, Jagat menghormati dan benar-benar memahami apa yang Jenna rasakan.
“Baiklah, Jenna. Lupakan semua yang terjadi di masa lalu. Kita bisa memulai lagi dari awal,” ucap Jagat.
Namun, Jenna tak seantusias tadi. Dia justru menatap aneh, seakan tak yakin dengan apa yang Jagat ucapkan. “Apakah Anda kasihan padaku, Pak?” tanyanya tiba-tiba.
Jagat tidak segera menjawab. Dia hanya menatap lekat Jenna.
“Aku pasti terlihat sangat menyedihkan di mata Anda,” ucap Jenna lagi.
“Kamu pikir bagaimana?”
Jenna menggeleng pelan. “Aku sadar. Butuh waktu dan proses panjang. Tak apa. Aku menerima, jika Anda bersedia melakukan ini hanya karena atas dasar rasa iba.”
“Kamu terlalu banyak berpikir dan menyimpulkan segala sesuatu sendiri. Namun, sekali lagi kuberikan satu pengertian. Aku tahu kamu membutuhkan perlindungan yang bisa dipercaya.”
Jagat tersenyum simpul. “Rasanya, terlalu berlebihan jika kusebut diriku sebagai malaikat penolong yang dikirimkan Tuhan untukmu. Namun, aku mulai menyukainya. Aku mendapatkan teman bicara sekarang. Jadi, mari buat hubungan ini senyaman mungkin.”
Jenna mengembuskan napas pelan, lalu tertunduk.
“Aku akan bersikap selayaknya suami terhadapmu. Namun, jangan mengharapkan sesuatu yang lebih untuk saat ini. Aku tidak akan menyentuhmu, hingga bayi itu lahir ke dunia.”
Jenna langsung mengangkat wajah, menatap Jagat dengan sorot tak dapat diartikan. “Setelah bayi ini lahir, apakah kita akan jadi suami-istri sesungguhnya?”
“Ya.”
Jawaban yang Jagat berikan teramat singkat, tetapi bermakna besar bagi Jenna. Hatinya sungguh bahagia mendengar kata itu. Jenna tersenyum kecil. Sulit dipahami karena dia bisa tertarik dengan begitu cepat, terhadap seorang Jagat Hartadi.
Jenna bangkit dari duduk. Dia berdiri sambil menatap lembut pria di hadapannya. “Aku akan menunggu, Pak.”