Karin, terpaksa menikah dengan Raka, bosnya, demi membalas budi karena telah membantu keluarganya melunasi hutang. Namun, setelah baru menikah, Karin mendapati kenyataan pahit, bahwa Raka ternyata sudah memiliki istri dan seorang anak.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cecee Sarah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dua Puluh Delapan
Angin pagi berhembus lembut, menyapa wajah Raka yang duduk tenang di bawah pohon pinus. Udara musim semi yang segar memenuhi paru-parunya, sementara bunga-bunga yang sebelumnya membeku mulai bermekaran di sekitarnya.
Sudah dua hari Raka menghabiskan waktu di vila, tanpa kegiatan yang berarti. Tubuhnya memang sudah terasa lebih baik, tetapi ia memilih untuk menikmati momen-momen tenang bersama Karin. Ia ingin sedikit melupakan rutinitas dan urusan lain, meski pikirannya sesekali terlintas pada Rio. Andai tak ada tanggung jawab itu, mungkin ia akan bertahan lebih lama di sini.
Karin mendekat dengan secangkir teh hangat di tangannya. Ada rasa penasaran yang terbersit dalam dirinya karena Aeri, istri pertama Raka, tak sekalipun menghubungi suaminya selama mereka di vila ini.
“Raka, apa Aeri tidak mencarimu?” tanya Karin lembut sambil menyerahkan cangkir teh, lalu duduk di sampingnya.
“Manis, seperti kamu,” kata Raka sambil menikmati aroma tehnya.
“Kenapa kamu nggak jawab pertanyaanku?” Karin mendesah kesal. Sudah beberapa kali ia bertanya hal yang sama, tetapi Raka selalu menghindar.
Raka menarik napas panjang, tak yakin harus menjelaskan bagaimana pada Karin. Selama ini, ia tak pernah benar-benar mencintai Aeri. Pernikahan itu hanya terjadi tanpa rencana.
“Aku sudah bilang ke Asistenku kalau aku sedang bulan madu sama istriku,” kata Raka, tersenyum memandang Karin.
“Aku serius!” Karin memukul bahu Raka, sebal karena merasa diabaikan.
“Aku juga serius,” jawab Raka.
Karin mendengus, menopang wajah dengan satu tangan, tampak cemberut karena kesal. Alih-alih menjawab, Raka malah terus bercanda.
Melihat ekspresi Karin yang kesal justru membuat Raka semakin gemas. Ia pun ingin mencubit pipinya.
Tiba-tiba, Raka mengecup pipi Karin. Sontak, Karin terkejut dan spontan menepuk lengannya, membuat Raka mengaduh pelan.
“Maaf,” kata Karin sambil meniup lengannya yang kesakitan.
Raka tersenyum, senang melihat Karin begitu perhatian padanya. Ia tak pernah menyangka akan merasakan perhatian seperti ini.
“Aeri akan pergi ke luar negeri. Aku sudah minta Asistenku untuk mewakili di hotel,” kata Raka, menyandarkan tubuhnya di kursi.
“Dia nggak curiga kamu nggak pernah pulang?” tanya Karin.
“Dia sendiri jarang pulang sejak anak kami berusia lima tahun.” Raka mengalihkan pandangannya, mengingat betapa hubungannya dengan Aeri sudah lama renggang.
“Jadi itu alasan kamu menikah denganku?” Karin penasaran, ingin tahu apa yang membuat Raka menikahinya meski mereka baru saja kenal.
“Bukan. Aku menikahimu karena aku benar-benar cinta sejak pertama kita bertemu.” Raka menatap mata Karin dalam-dalam.
“Sial,” kata Karin, tersenyum kecil. Meski merasa malu, kata-kata Raka membuat hatinya senang. Tapi, ia ingat bahwa Raka sudah mengucapkan hal yang sama berulang kali dalam dua hari ini.
“Kamu nggak pernah percaya sama aku,” keluh Raka.
“Lalu bagaimana dengan orang tuamu? Mereka nggak mencari kamu?” Karin mengalihkan topik pembicaraan.
“Hmmm, mereka lagi di luar negeri. Jarang balik ke sini Apa kamu nggak ingin ketemu mertuamu di sana?” Raka menggoda.
Karin hanya memutar bola mata, kesal dengan jawaban Raka yang tidak serius. Ia pun bangkit berdiri, hendak pergi. Namun, tiba-tiba Raka menarik pergelangan tangannya, membuat Karin jatuh ke pangkuannya.
Raka menatap mata Karin dalam, merasakan detak jantungnya yang cepat. Ia mengusap bibir Karin dengan ibu jarinya, dan tak mampu menahan diri lagi. Tanpa meminta izin, Raka menempelkan bibirnya lembut pada bibir istrinya.
Karin tak menolak ciuman itu. Ia menikmati sentuhan lembut Raka, membalas dengan melingkarkan tangannya di leher Raka untuk berpegangan.
Dertt… Dertt… Dertt…
‘Sial,’ batin Raka saat merasakan ponselnya bergetar di saku. Ia terpaksa menghentikan ciumannya.