Ketika seorang pemuda dihantui oleh teka-teki atas hilangnya sang Ayah secara misterius. Bertahun-tahun kemudian ia pun berhasil mengungkap petunjuk dari buku catatan sang Ayah yang menunjuk pada sebuah batu prasasti kuno.
Satrio yang memiliki tekad kuat pun, berniat mengikuti jejak sang Ayah. Ia mulai mencari kepingan petujuk dari beberapa prasasti yang ia temui, hingga membawanya pada sebuah gunung yang paling berbahaya.
Dan buruknya lagi ia justru tersesat di sebuah desa yang tengah didera sebuah kutukan jahat.
Warga yang tak mampu melawan kutukan itu pun memohon agar Satrio mau membantu desanya. Nah! loh? dua literatur berbeda bertemu, Mistis dan Saint? Siapa yang akan menang, ikuti kishanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Deni S, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12: Hutan Misterius
Delam suasana hening, dan bayang-bayang gelap, Satrio membuka mata perlahan, ia tertegun ketika mendapati dirinya tengah berada di tangah kobaran api yang sangat besar.
Seketika itu rasa panik menyelusup ke dalam pikirannya. ia mencoba bergerak, namun kedua tangannya kaku, terikat kuat pada sebuah tiang kayu yang kasar. Nyala api di sekitarnya menghanguskan udara, menyisakan panas yang menyesakkan.
Matanya mencoba menembus kabut asap dan cahaya menyilaukan yang berasal dari api di sekitarnya. Namun, yang tampak hanya bayang-bayang samar, bergerak di balik kobaran. Suara teriakan yang tak jelas terdengar, bercampur dengan gemuruh perapian yang semakin menghebat. Nafas Satrio tersengal, jantungnya berpacu dalam ketakutan yang mencekam. "Apa maksudnya ini!" pikirnya kalut. Ia mencoba berteriak, namun suara yang keluar hanya serak dan tercekik. Tali yang membelit tubuhnya semakin terasa menekan, membuat setiap gerakannya sia-sia.
Teriakan teredam mengawali kesadaran Satrio, ia tersentak dari tidurnya dengan keringat dingin membasahi kulit. Napasnya masih memburu, jantungnya berpacu seolah-olah baru saja lolos dari maut. Kedua matanya dengan cepat menyapu sekeliling tenda yang diselimuti udara pagi. Satrio mengusap wajahnya dengan kasar, mencoba mengumpulkan keberanian dan menenangkan diri. "Mimpi aneh itu lagi," gumamnya.
Menyadari matahari mulai terbit, Satrio segera bergegas mengemasi barang-barangnya untuk melanjutkan perjalanan. Sebelum itu ia juga memakan bekal terakhir yang ia miliki. Dengan harapan dan tekad yang kuat, ia sangat yakin jika dirinya bisa bertahan di dalam hutan Misterius ini.
Langkahnya dimulai dengan hati-hati. Ia menyusuri hutan lebat yang penuh dengan pepohonan besar, akar-akar yang menjalar, dan semak-semak tebal.
Setiap langkah yang ia ambil, terasa begitu menentukan pilihan, sesekali ia berhenti saat melihat sebuah pohon yang mencolok. Dengan pisau di tangannya, ia membuat tanda yang mengarah pada tujuannya saat ini. Selain pohon, ia juga memberikan tanda dengan menancapkan ranting ke dalam tanah.
Sejauh mata memandang, ia hanya disuguhkan deretan pohon-pohon besar, semak-semak belukar, dan saat itu juga keraguan mulai mengganjal di hatinya.
Ia segera mengeluarkan kompas dari saku jaket, memeriksa arah jarum yang menunjukkan barat. “Semoga aku masih di rute yang benar,” bisiknya, sambil melihat posisi matahari yang bersinar di selatan.
Berhari-hari sudah Satrio menapaki jalanan hutan yang seakan tak berujung, hanya ditemani oleh gemerisik dedaunan kering, dan desir angin dingin yang menusuk kulit. Ranselnya mulai terasa berat, bukan karena isinya, tetapi karena kelelahan yang kian menumpuk di bahunya.
Bekal makanan yang ia bawa sudah habis sejak lima hari lalu, dan kini ia hanya bisa bertahan, menggunakan naluri berburunya yang tidak seberapa.
Tubuhnya lemah, langkahnya terhuyung di antara akar-akar pohon yang menjalar keluar dari tanah, memaksanya merangkak naik di beberapa bagian lereng terjal. Perutnya kerap kali melilit, seakan memberi peringatan bahwa tubuhnya semakin kehilangan tenaga. Namun, meskipun hutan ini terasa menyiksanya, Satrio tak lagi peduli. Ia tetap fokus pada tujuan yang entah di mana ujungnya.
Langkah-langkahnya semakin tak pasti. Di tengah suara gesekan ranting dan gemeretak daun kering, pikirannya mulai dihantui oleh kebingungan, apakah ia, masih berada di jalur yang benar? Ataukah dirinya tersesat di belantara rimba yang tak pernah bersahabat? Hanya ada sunyi, dingin, dan rasa lapar yang makin menghimpit kewarasannya. Namun, Satrio tahu satu hal. Ia tak bisa berhenti sekarang, tidak sebelum menemukan jawaban, atau sebelum hutan ini benar-benar menelannya habis.
Hingga pada suatu hari, di tengah usahanya yang tak kenal lelah, Satrio tiba di lereng bukit yang curam. Bebatuan yang besar, tersusun tak beraturan tampak berlumut dan licin. Sementara angin berembus membawa hawa dingin yang menyelimuti. Ia menatap ke bawah, mencoba mencari jalur yang aman untuk menuruni lereng tersebut. Namun, keletihan yang telah menumpuk selama berhari-hari membuat konsentrasinya mengabur.
Langkah pertama yang ia ambil terasa mantap, meskipun lututnya bergetar. Tetapi ketika kaki kanannya menyentuh permukaan batu yang licin, tubuhnya oleng. Cengkraman sepatunya tak mampu menahan permukaan yang berlumut, hingga membuatnya terpeleset tanpa sempat bereaksi. Dalam sekejap, tubuh Satrio terhuyung ke belakang dan jatuh terguling dengan keras.
Teriakannya menggema di antara pepohonan, namun hanya gemuruh angin yang merespon. Tubuhnya menghantam bebatuan, dengan hentakan, demi hentakan.
Rasa sakit menjalar di sekujur tubuhnya, saat punggung dan lengannya terbentur batu-batu yang terjal. Ia berusaha meraih sesuatu, apa pun itu, tapi setiap usaha hanya berakhir siasia. Pandangannya berkabut, dan dunia di sekitarnya terasa berputar liar.
Hingga akhirnya, tubuhnya terempas di dasar lereng, kepalanya menghantam tanah keras. Satrio tak sempat merasakan sakit itu. Segalanya mendadak sunyi, suara burung dan gemerisik dedaunan seolah menjauh, menyisakan kegelapan yang menyelimuti kesadarannya. Dalam keheningan itu, tubuhnya terkulai di bawah bayang-bayang pepohonan tinggi, seolah tertelan oleh kehampaan hutan.
Beberapa saat kemudian, akhirnya Satrio menunjukan tanda-tanda kehidupan. Perlahan matanya terbuka, seraya rasa sakit mulai menjalar di sekujur tubuhnya. Dengan sisa tenaganya, Ia pun mencoba bangkit, walau pandangannya masih berkunang-kunang. "Di mana aku?" gumamnya, ada kebingungan dari raut wajahnya, saat melihat semua telah gelap gulita.
Di bawah cahaya rembulan, Satrio berusaha melangkahkan kakinya mengikuti jalan setapak yang entah menuju ke mana. Napasnya berat, matanya sayu, menahan segala rasa yang berkecamuk dalam dirinya.
Angin malam yang terus berhembus menerpa dedaunan sekitar, seakan menuntun Satrio untuk tetap bertahan. Dalam rasa keraguan dan harapan yang hampir runtuh, pandangannya menangkap sesuatu yang membuatnya tertegun. Di balik pepohonan, samar-samar terlihat mulut gua yang tak biasa.
Gua itu terbentang lebar dengan mulut besar yang menyerupai lengkung raksasa, seolah siap menelan kegelapan. Dinding-dindingnya kasar, dipenuhi lumut tebal dan akar-akar liar yang menggantung dari atas, memberi kesan kuno dan angker. Tanah di sekitar mulut gua, dipenuhi rumput lebat dan tumbuhan merambat.
Akan tetapi, ada yang lain dari gua ini. Di sekitar mulut gua, terdapat beberapa batu yang tergeletak di kedua sisinya. Batu itu berukuran cukup besar, seperti tiang beton yang kokoh. Bentuknya kotak sempurna, dengan warna coklat yang sedikit terlihat, di balik rumput dan lumut.
Satrio mengucek matanya, tak percaya dengan apa yang ia lihat. "Buah-buahan? Di tempat seperti ini?" pikirnya. Saat melihat buah-buahan segar tertata rapih di mulut gua.
Rasa dahaga dan rasa lapar, yang sempat terlupakan kini kembali menyerang. Pandangannya terpaku pada buah-buahan itu, seolah-olah mereka adalah oase di tengah padang pasir.
Tanpa ia sadari, jika ada maksud tertentu di balik buah-buahan yang tertata rapih di mulut Gua. Sesuatu yang sakral, bahkan sebagai bentuk permohonan maaf kepada leluhur mereka.
lanjut nanti yah