**Prolog**
Di bawah langit yang kelabu, sebuah kerajaan berdiri megah dengan istana yang menjulang di tengahnya. Kilian, pangeran kedua yang lahir dengan kutukan di wajahnya, adalah sosok yang menjadi bisik-bisik di balik tirai-tirai istana. Wajahnya yang tertutup oleh topeng tidak hanya menyembunyikan luka fisik, tetapi juga perasaan yang terkunci di dalam hatinya—sebuah hati yang rapuh, terbungkus oleh dinginnya dinding kebencian dan kesepian.
Di sisi lain, ada Rosalin, seorang wanita yang tidak berasal dari dunia ini. Takdir membawanya ke kehidupan istana, menggantikan sosok Rosalin yang asli. Ia menikah dengan Kilian, seorang pria yang wajahnya mengingatkannya pada masa lalunya yang penuh luka dan pengkhianatan. Namun, di balik ketakutannya, Rosalin menemukan dirinya perlahan-lahan tertarik pada pangeran yang memikul beban dunia di pundaknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon d06, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 28
Malam telah larut, dan suasana istana perlahan meredup. Cahaya lilin-lilin kecil menari lembut di dinding koridor panjang menuju balkon pribadi Kilian. Udara malam terasa sejuk, membawa aroma khas bunga mawar dari taman di bawahnya.
Rosalin berdiri di ambang pintu, ragu untuk melangkah masuk. Dalam bayangan remang, dia melihat Kilian berdiri di balkon, bersandar pada pagar batu, menatap bintang-bintang di langit yang kelam. Pakaian tempurnya telah berganti menjadi kemeja hitam sederhana, namun auranya tetap memancarkan kekuatan yang tak tertandingi.
“Selamat atas kemenanganmu hari ini,” kata Rosalin akhirnya, melangkah maju. Suaranya lembut, namun cukup untuk memecah keheningan.
Kilian menoleh, tatapannya tenang namun penuh kehati-hatian. Bibirnya membentuk senyum tipis. “Terima kasih,” jawabnya singkat, suaranya berat namun hangat. “Aku tahu kau menontonnya.”
Rosalin tersenyum kecil, lalu berhenti beberapa langkah darinya. “Aku bangga padamu, Kilian. Tapi… aku tidak bisa menghilangkan rasa khawatirku tentang pertandingan besok.”
Alis Kilian sedikit terangkat. “Khawatir? Apa yang membuatmu khawatir?”
Rosalin menggigit bibir bawahnya, seolah mencari kata-kata yang tepat. “Aku takut menjadi kelemahanmu.”
Kilian terdiam, matanya memperhatikan Rosalin yang kini menunduk, jemarinya saling meremas.
“Aku tidak memiliki pengetahuan tentang politik, diplomasi, atau strategi,” lanjut Rosalin dengan suara lirih. “Aku merasa… aku tidak cukup baik untuk mendampingimu di pertandingan besok. Bagaimana jika aku salah bicara? Bagaimana jika aku justru mempermalukanmu di depan semua orang?”
Kilian menatapnya dalam diam selama beberapa saat. Kemudian, dia melangkah maju, mendekat hingga Rosalin bisa merasakan kehangatan tubuhnya meskipun udara malam cukup dingin. Dengan lembut, dia mengangkat dagu Rosalin, memaksanya menatap ke matanya yang tajam namun menenangkan.
“Kau tidak akan menjadi kelemahanku, Rosalin,” katanya pelan, tapi penuh ketegasan. “Kau adalah pendampingku. Apa pun yang terjadi besok, kita akan melakukannya bersama. Jika kau khawatir tidak tahu apa yang harus dikatakan, maka cukup percayakan semuanya padaku.”
“Tapi, aku takut itu tidak cukup…” Rosalin menggeleng, air matanya hampir jatuh. “Aku hanya tidak ingin mengecewakanmu.”
Kilian menarik napas dalam, lalu dengan gerakan yang mengejutkan Rosalin, dia menggenggam kedua tangannya. “Kau sudah cukup. Kau selalu cukup.”
Kata-katanya membuat Rosalin terpaku. Tatapan Kilian menjadi lebih lembut, seolah-olah dia mencoba meyakinkan wanita di hadapannya bahwa tidak ada yang perlu diragukan.
“Besok, lakukan apa yang kau bisa, dan itu sudah lebih dari cukup. Aku tidak membutuhkan seseorang yang sempurna, Rosalin. Aku hanya membutuhkanmu—apa adanya,” lanjutnya.
Rosalin tidak bisa menahan senyum kecil yang akhirnya muncul di wajahnya, meskipun air matanya tetap menggenang. “Terima kasih, Kilian.”
Kilian menurunkan tangannya, namun tetap berdiri di dekatnya. Dia menoleh kembali ke langit malam, seolah berbicara kepada bintang-bintang. “Tapi kau benar tentang satu hal.”
“Apa?” Rosalin menatapnya dengan bingung.
“Pertandingan besok lebih sulit daripada hari ini,” katanya dengan nada serius. “Bukan hanya soal memenangkan debat. Ini soal membuktikan bahwa kita layak memimpin bersama. Aku tahu Wiliam akan menggunakan setiap cara untuk menunjukkan kelemahan kita. Jadi kita harus lebih kuat.”
Rosalin mengangguk pelan, merasa sedikit lebih percaya diri setelah mendengar keyakinan Kilian. “Aku akan melakukan yang terbaik,” janjinya.
Kilian menatapnya lagi, kali ini dengan senyum kecil yang tulus. “Itu lebih dari cukup, Rosalin. Denganmu di sisiku, aku merasa bisa menghadapi apa saja.”
Malam itu, di bawah cahaya bintang, mereka berdiri dalam keheningan yang nyaman, membiarkan waktu melambat sejenak sebelum hari yang penuh tantangan kembali dimulai.
...***...
Terimakasih karena telah menjadi pembaca setia cerita silhoute of love ❤️
Jangan lupa untuk like komen dan vote ❤️
semoga ceritanya sering update