Bintang panggung dan penulis misterius bertemu dalam pertemuan tak terduga.
Rory Ace Jordan, penyanyi terkenal sekaligus sosok Leader dalam sebuah grup musik, terpikat pada pesona Nayrela Louise, penulis berbakat yang identitasnya tersembunyi.
Namun, cinta mereka yang tumbuh subur terancam ketika kebenaran tentang Nayrela terungkap.
Ikuti kisah mereka....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon FT.Zira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
28. KCTT 28.
"Jaga dirimu baik-baik, Nay," Rose berkata dengan pengharapan ketika ia memeluk erat sahabatnya sebelum masuk ke Boarding Gate.
"Kau juga harus menjaga dirimu, Rose," balas Nayla menepuk lembut punggung sahabatnya.
Nayla menarik tubuhnya, menatap lekat wajah wanita yang telah menjadi sahabatnya sejak ia bergabung dalam kantor Redaksi, melihat air mata disudut mata wanita itu sebelum akhirnya air mata Rose bergulir.
"Hubungi aku begitu kamu tiba di sana," pesan Nayla.
"Pasti." Rose mengangguk, air matanya terus bergulir.
"Ayolah! Hentikan ini. Hanya perlu delapan jam penerbangan untuk sampai di sana." ucap Nayla seraya menghapus air mata Rose.
"Aku usahakan agar aku bisa ke sana untuk menemuimu," janji Nayla
"Akan ku tunggu," jawab Rose.
"Sampai jumpa lagi, Nay," Rose berkata lagi, lalu beralih pandang pada Adrian dan menghampiri pria itu.
"Sampai bertemu lagi, Adrian." ucapnya sembari mengulurkan tangan.
"Tolong jaga dia untukku," imbuhnya lirih sembari melirik Nayla.
"Tentu," jawab Adrian menyambut tangan wanita itu, lalu tersenyum.
"Kamu bisa menghubungiku kapan saja," ucap Rose lagi.
"Aku tahu. Kamu adalah orang pertama yang akan kuhubungi jika itu berhubungn dengan Nona," jawab Adrian.
Rose mengangguk, melambai pada dua orang yang mengantarnya ke bandara, lalu berbalik meninggalkan keduanya.
"Kita kembali ke kantor," ucap Nayla kembali datar setelah sosok Rose menghilang dari pandangan.
"Baik," sahut Adrian sedikit membungkukkan badannya.
Nayla berjalan diikuti Adrian di belakangnya. Hingga ketika Nayla mencapai mobil milik Adrian, gerakan tangannya terhenti ketika ia akan membuka pintu mobil.
'Apakah sebaiknya aku naik taksi saja? Biar bagaimanapun juga, dia tetap berbeda dengan Rose, meski aku juga sadar dia membutuhkan waktu untuk membiasakan diri. Adrian juga selalu terlihat tidak nyaman ketika berada di dekatku,' batin Nayla.
"Apakah ada masalah Nona?" Adrian bertanya sopan, menghentikan gerakan tangannya untuk membuka pintu mobil ketika melihat Nayla tak kunjung masuk ke dalam mobil.
"Tidak ada," Nayla menjawab singkat, namun tetap tidak terlihat tanda-tanda akan membuka pintu mobil.
Sebaliknya, Nayla justru menurunkan tangannya, lalu mundur selangkah.
"Anda bisa duduk di mana pun Anda merasa nyaman, saya tidak keberatan," ucap Adrian merasakan keraguan yang Nayla rasakan.
'Kamu peka Adrian. Hanya saja, kamu juga terlalu memperlihatkan apa yang sedang hatimu rasakan,' batin Nayla.
"Kembalilah lebih dulu, ada yang harus kulakukan sebentar," ucap Nayla pada akhirnya.
Kening Adrian berkerut tipis, tidak mengerti dengan sikap Nayla yang seringkali berubah-ubah. Bahkan, meski dirinya telah bekerja lebih dari satu bulan, ia tetap belum bisa memahami sosok Nayla.
"Saya tidak keberatan mengantar Anda kemanapun, Nona," sahut Adrian.
"Aku menghargainya tapi pekerjaan kantor tidak akan menyelesaikan dirinya sendiri," jawab Nayla.
"Pergilah lebih dulu, aku akan kembali secepat yang aku bisa ketika urusanku selesai," imbuhnya.
Selama beberapa saat, Adrian menatap wanita yang menjadi sosok idolanya dalam diam. Menggali ingatannya apakah dirinya melakukan kesalahan tanpa ia sadari. Namun, sekeras apapun ia mencoba, tidak ia temukan kesalahan itu.
"Baik, tolong hubungi saya jika Anda memerlukan sesuatu," sahut Adrian.
Nayla mengangguk, lalu memanggil taksi ketika mobil Adrian tidak lagi terlihat. Meminta sang sopir untuk mengantarnya ke suatu tempat tanpa menyadari sebuah mobil sport mengikutinya sejak ia meninggalkan Bandara.
...%%%%%%%%%%...
Rory menjatuhkan tubuhnya di sofa kosong yang berada di samping Thomas dengan wajah masam, menyandarkan kepala pada sandaran sofa dengan posisi kepala tengadah, lalu meletakkan satu punggung tangan untuk menutupi sebagian wajahnya disertai hembusan napas panjang.
"Kenapa lagi sekarang?"
Thomas menurunkan buku yang tengah ia baca, bertanya dengan kening berkerut kala melihat tingkah sahabatnya.
"Apakah Kevin ada di sini?" Rory balas bertanya tanpa menurunkan tangan dari wajah.
"Dia pergi bersama Martin ke kantor Agensi. Tapi, mengapa kamu bertanya? Tidak seperti biasanya," sahut Thomas.
"Aku melihatnya," ucap Rory.
"Melihat siapa?" kening Thomas berkerut.
"Aku melihatnya di Bandara, dan saat aku mengikutinya, arah yang dia ambil adalah jalan menuju gedung ini. Tetapi dia justru berhenti di toko bunga yang berada di persimpangan jalan beberapa meter dari tempat ini, dan saat aku kembali mengikutinya, aku kehilangan jejak," tutur Rory.
Kerutan di dahi Thomas kian terlihat, segera menangkap siapa yang tengah di bicarakan Rory padanya. Satu tangannya menutup buku yang tengah ia baca, meletakkan di pangkuan dengan perhatian penuh tertuju pada Rory.
"Dia belum mengetahui kamu tinggal di sini bukan?" Thomas bertanya.
Rory menggeleng, menjauhkan tangan dari wajahnya, lalu menegakkan punggung.
"Tapi, untuk siapa dia membeli bunga? Mengapa dia ke Bandara? Siapa yang dia antar?"
"Mengapa kau tidak tanyakan saja pada Nayla mengapa dia di Bandara?" saran Thomas.
"Tapi_,,,,"
"Malu? Atau kau tidak memiliki keberanian untuk bertanya dengan asumsi dia akan menjauhimu?" potong Thomas cepat.
"Dia belum memiliki kekasih, tidakkan satu fakta itu cukup bagimu bahwa belum ada seseorang yang mengisi hatinya?"
"Tapi dia membeli bunga," sanggah Rory.
"Hanya karena dia membeli bunga, bukan berarti dia tengah tertarik pada seseorang bukan?" sambut Thomas.
"Lagi pula, kalian baru saja menikmati waktu bersama beberapa hari lalu di festival. Bukankah hubungan kalian sekarang lebih dekat dari sebelumnya?"
"Kamu juga memiliki banyak kesempatan untuk bertanya," imbuhnya.
"Apakah menurutmu aku tidak terlalu terburu-buru jika aku bertanya hal sensitif? Aku mengenalnya baru dalam hitungan bulan," sahut Rory.
"Apakah kamu lebih menyukai gagasan seseorang mendekatinya lebih dulu?" pancing Thomas.
"Apa? Tentu saja tidak," sanggah Rory cepat.
Thomas terkekeh pelan sembari menggelengkan kepala. Sikap spontan yang ditunjukkan Rory cukup baginya untuk melihat bahwa sahabatnya bersungguh-sungguh dengan perasaannya meski waktu pertemuan mereka sangatlah singkat.
Namun, di dalam lubuk hatinya, ia merasa was-was dengan sikap Rory yang cenderung berasumsi tanpa dasar, menilai tanpa menyelami lebih dalam ketika sebuah masalah terjadi, bahkan menyalahkan orang lain ketika hal buruk terjadi.
"Bunga apa yang dia beli?"
Thomas bertanya, menyingkirkan segala pemikiran buruk yang sempat melintas dalam benaknya.
"Rangkaian bunga Amarilis merah dan Anyelir merah," jawab Rory.
Thomas tertegun sejenak, sedikit mengerti tentang makna sebuah bunga.
"Bukankah wanita biasanya membeli bunga berdasarkan makna dari bunga itu sendiri? Apakah menurutmu Nayla juga akan begitu? Membeli bunga untuk menyampaikan pesan pada seseorang yang dia beri melalui bunga itu," ucap Rory.
"Tidak semua wanita akan bersikap demikian, Rory," sanggah Thomas.
"Lalu, katakan padaku apa makna dari dua bunga itu," pinta Rory.
"Aku tidak begitu mengerti tentang bunga, tanyakan saja itu pada Nathan. Dia pecinta tanaman," jawab Thomas.
"Tapi aku pernah membaca makna bunga Amarilis merah. Bunga itu memiliki arti ketertarikan dan keberuntungan," imbuhnya.
"Apakah itu artinya Nayla tengah tertarik pada seseorang? Dia membeli bunga untuk orang itu," sambut Rory.
"Jangan membuat kesimpulan secepat itu, boleh jadi bunga itu untuk diberikan pada rekan kerja yang naik jabatan misalnya. Sama sepertimu yang menerima bunga itu ketika kamu menyelesaikan lagu barumu. Kamu mendapatkan rangkaian bunga di mana bunga Amarilis merah ada di dalamnya dari penggemarmu," jawab Thomas
"Sedangkan Anyelir_,,,,"
Kalimat Thomas terhenti ketika ia mendengar suara langkah kaki seseorang mendekat, membuat keduanya beralih pandang pada satu arah di mana mereka melihat Nathan berjalan dengan kepala menunduk membaca buku.
"Kenapa kalian suka sekali dengan buku itu?" Rory bertanya dengan nada heran.
"Kalau kau ingin tahu jawabannya, baca saja bukunya," sahut Nathan tanpa mengangkat wajah.
"Itu buku yang kalian perebutkan itu bukan? Kenapa kalian tidak mencari di toko buku lain saja untuk mendapatkan bukunya?" Rory bertanya lagi
"Tidak semudah itu, Rory," Thomas menjawab.
"Buku karya Nyloes yang sebelumnya sudah tidak ada di toko buku manapun termasuk online. Semua sudah terjual hanya dalam hitungan hari sejak buku itu terbit," jawab Thomas.
"Jika aku ingin membuat perbandingan, penggemarnya setara dengan penggemarmu, atau bahkan penggemarnya lebih banyak darimu," Nathan menimpali.
"Bagaimana dengan identitasnya? Dia terkenal tapi tidak dikenal," ucap Rory.
"Tidak ada informasi pribadi penulis selain dia seorang wanita yang belum lama ini publikasikan," jawab Thomas.
"Foto atau akun sosial?" Rory bertanya lagi, namun mendapatkan jawaban gelengan kepala dari kedua sahabatnya.
"Tidak ada satupun," jawab Thomas.
"Semua akun media sosial hanya berisi data anonim yang menyebutkan bahwa dia asisten sang penulis. Bahkan, ketika dia mendapatkan penghargaan, Nyloes tidak pernah muncul," imbuhnya
"Tidakkah itu sangat egois? Dan terlihat seperti_,,,,"
"Sombong?" potong Thomas dengan alis terangkat, menatap Rory yang dijawab dengan anggukan kepala.
"Sama sekali tidak. Fakta bahwa dia selalu membalas surat dari para pengemarnya membuat kekurangan tentang itu tertutupi sepenuhnya. Hanya saja semua surat itu dikirimkan ke alamat jasa pengiriman barang yang sudah menandatangani surat perjanjian," terang Thomas.
"Misterius sekali," Rory berkomentar.
"Namun, penggemarnya justru bertambah seiring berjalannya waktu," sambut Thomas.
"Itu,,, Luar biasa,"
Rory kembali memberikan komentar singkat, namun dalam benaknya mengagumi buku bercover biru pudar itu.
"Omong-omong, apakah kamu mengetahui apa makna dari bunga Anyelir, Nathan?" tanya Thomas tiba-tiba.
Rory menoleh dengan gerakan cepat, memberikan sorot permohonan pada Thomas untuk tidak mengatakan hal yang sebenarnya.
"Tentu saja aku tahu," sahut Nathan.
Pria itu kembali menurunkan buku di tangannya sejenak, menatap lawan bicaranya sebelum meneruskan kalimatnya,
"Bunga Anyelir memiliki makna berbeda pada tiap warnanya. Seperti, Anyelir putih berarti kesetiaan dan keberuntungan. Anyelir merah muda berarti rasa syukur dan tak ingin melupakan seseorang. Anyelir merah pucat berarti kecewa. Anyelir merah tua berarti rasa cinta dan kasih sayang bisa juga perasaan merindukan seseorang, dan Anyelir kuning memiliki arti penolakan,"
"Tapi, mengapa kamu bertanya?" tanya Nathan
"Aku ingin sekali memberikan bunga untuk istriku. Karena aku sendiri tidak tahu kapan bisa pulang, aku ingin mengirimkan bunga itu ke rumah. Tetapi aku ragu bunga apa yang cocok untuknya," jawab Thomas beralasan.
"Anyelir merah tua yang dipadukan dengan Amarilis merah akan cocok untuknya. Atau kamu juga bisa memberikan bunga Lily," saran Nathan.
"Terima kasih atas saran yang kamu berikan, aku akan memilih itu," sambut Thomas.
Nathan mengangguk singkat, lalu beranjak dari duduknya untuk kembali ke kamar selama menunggu kabar dari Martin tentang tur yang akan mereka jalani.
"Tak ada gunanya kau bersikap seperti ini," ucap Thomas setelah Nathan menghilang dari pendangan mereka
"Ikuti saja kata hatimu. Jika kamu tidak ingin bertanya, tak masalah. Kamu bisa mendekatinya perlahan dan lihat bagaimana reaksinya,"
"Kamu bisa mengatakan padanya tentang apa yang kamu rasakan setelah kamu siap," ujar Thomas seraya menepuk bahu sahabatnya.
"Aku mengerti, terima kasih," sahut Rory.
'Aku akan menemuinya lagi,' batin Rory.
...%%%%%%%%%%...
..suara petikan gitar..
. . . . . .
. . . .
To be continued