Kania harus menerima kenyataan pahit ketika suaminya—Adrian, menceraikannya tepat setelah malam pertama mereka.
Tanpa sepengetahuan Adrian, Kania mengandung anaknya, calon pewaris keluarga Pratama.
Kania pun menghilang dari kehidupan Adrian. Tetapi lima tahun kemudian, mereka dipertemukan kembali. Kania datang dengan seorang bocah laki-laki yang mengejutkan Adrian karena begitu mirip dengannya.
Namun, situasi semakin rumit ketika Adrian ternyata sudah menikah lagi.
Bagaimana Kania menghadapi kenyataan ini? Apakah ia akan menjauh, atau menerima cinta Adrian yang berusaha mengambil hatinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 28 Keputusan Sulit
Ayah Laras mendesah berat, menatap putrinya yang sudah jauh berbeda dari gadis kecil ceria yang dulu ia kenal.
Lelaki paruh baya itu mencoba tetap tenang, meski hati dan pikirannya berkecamuk. Laras, sudah terlalu jauh melangkah dalam dendam dan ambisi.
“Laras, dengarkan Papa,” katanya, berusaha menenangkan.
Laras mendengus, memalingkan wajah ke luar jendela mobil. “Papa mau bicara apa lagi? Kalau Papa datang hanya untuk memintaku melepaskan bocah itu, maaf. Aku nggak bisa.”
Ayah Laras menggeleng pelan. “Kamu ini keras kepala sekali. Kalau kamu sampai mencelakai anak itu, bukan hanya Adrian yang akan semakin membencimu, tapi hidupmu akan hancur! Kamu akan masuk penjara, Laras!”
Laras tertawa kecil, namun tawanya penuh kepahitan. Ia mengeluarkan sebatang rokok dari dalam tasnya, menyalakannya, dan menghisapnya dalam-dalam.
“Penjara, ya? Apa bedanya, Pa? Hidupku selama ini juga seperti di penjara. Kalau aku tidak bisa bersama Mas Adrian, tidak ada gunanya aku hidup.”
“Sejak kapan kamu merokok, Laras? Ini bukan kebiasaanmu!” Ayahnya memandang putrinya dengan kekecewaan yang mendalam.
Laras mengangkat bahu, lalu menghembuskan asap rokok ke udara.
“Papa bahkan nggak tahu apa-apa tentang aku. Miris sekali, bukan?” katanya sinis. Matanya menerawang jauh, seolah sedang mengingat masa lalunya.
“Aku mulai merokok sejak SMP, Pa. Sejak perceraian papa dan mama. Sejak aku tahu bahwa keluarga ini nggak lebih dari ilusi yang rapuh.”
Ayah Laras terdiam, tubuhnya menegang mendengar pengakuan itu.
“Tahu nggak, Pa?” lanjut Laras sambil menatap ayahnya dengan dingin. “Aku pernah hamil, pernah punya anak. Tapi aku buang anak itu, karena aku tidak mau ada yang tahu. Hidupku berantakan, dan tidak ada seorangpun yang peduli, termasuk papa.”
Tawa Laras pecah. Sebuah tawa yang membuat bulu kuduk merinding.
Mata ayahnya membelalak, tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. “Apa maksudmu, Laras? Anak? Siapa ayahnya?”
Laras tertawa kecil. “Pras, si bajingan itu.”
Seolah dipanggil oleh namanya, Pras muncul dari arah lain. Ia berlari menghampiri Laras dengan wajah penuh keputusasaan.
“Laras! Kita harus bicara! Anak kita–”
Laras langsung menepis tangan Pras sebelum ia bisa menyentuhnya. “Jangan sentuh aku! Dan berhenti menyebut anak itu! Aku tidak peduli dengannya!” bentaknya.
“Dia sekarat, Laras!” teriak Pras. “Putri kita sedang sekarat! Dia ingin bertemu denganmu untuk terakhir kalinya!” Suaranya bergetar, penuh emosi.
Ayah Laras yang sejak tadi hanya diam akhirnya angkat bicara.
“Pras, siapa kamu sebenarnya? Apa maksudmu dengan putri kita? Apa benar kamu adalah ayah dari cucuku?”
Pras mengangguk lemah, wajahnya penuh penyesalan. “Benar, Tuan. Anak itu adalah darah daging kami berdua. Saat ini dia sedang sakit. Laras mungkin tidak mengakuinya, tapi dia adalah ibu dari anakku. Tolong Tuan, bujuk dia untuk menemui anak kami. Anak itu sama sekali nggak bersalah.”
Laras menatap Pras dengan tatapan dingin yang menusuk.
“Jangan pernah mengungkit soal anak itu di depan Papa! Aku tidak pernah merasa punya anak! Anak itu adalah kesalahan besar diantara kita!” bentaknya.
Ayah Laras terkejut, amarahnya mulai memuncak. “Laras! Bagaimana bisa kamu bicara seperti itu?! Dia adalah darah dagingmu!”
Laras melipat tangannya di dada, menatap ayahnya dengan sinis. “Dia pembawa sial, Pa. Sama seperti Mas Adrian bilang aku pembawa sial. Kalau dia tidak ada, hidupku tidak akan hancur seperti ini.”
Pras menggeleng, tidak percaya dengan apa yang ia dengar. “Anak kita butuh kamu! Tolong, Laras! Jangan begini.”
Laras tidak bergeming. Ia hanya mendengus dan kembali masuk ke gedung tempat Enzio dikurung. Ayahnya dan Pras hanya bisa saling pandang, tak percaya dengan kebencian yang menguasai hati Laras.
“Tuan,” ucap Pras dengan suara serak. “Kalau begini terus, saya takut dia akan melakukan sesuatu diluar batas kendalinya.”
Ayah Laras memijat pelipisnya, perasaan bersalah menguasainya. “Aku juga takut, Pras. Tapi bagaimana caranya menghentikan dia sebelum semuanya terlambat?”
“Tahan dia, aku akan menghubungi polisi juga Adrian,” ucap Pras.
Ayah Laras menggeleng tak percaya. Ia tidak mau kehilangan putrinya.
“Apa kamu gila! Sama saja kamu memasukkan Laras ke lubang singa!” serunya.
“Tidak ada cara lain.” Pras merogoh ponselnya, sementara lelaki paruh baya itu nampak gusar.
Di sisi lain, Laras adalah belahan jiwanya. Namun, ia juga tidak mau belahan jiwanya melukai bocah yang tidak bersalah.
Hay akak semua... aku up kadang 2-3hari sekali yah, tapi tetap up kok sampai end, hehe...
Thanks udah setia baca, Sayang kalian banyak-banyak...
Nama pena ku udah ganti bukan Meyda lagi ya, tapi SENJA... Jangan dilupakan😂