Di dunia yang dikendalikan oleh faksi-faksi politik korup, seorang mantan prajurit elit yang dipenjara karena pengkhianatan berusaha balas dendam terhadap kekaisaran yang telah menghancurkan hidupnya. Bersama dengan para pemberontak yang tersembunyi di bawah tanah kota, ia harus mengungkap konspirasi besar yang melibatkan para bangsawan dan militer. Keadilan tidak lagi menjadi hak istimewa para penguasa, tetapi sesuatu yang harus diperjuangkan dengan darah dan api.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Khairatin Khair, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
28
Dini hari di perbatasan Valyria terasa sunyi, terlalu sunyi. Udara yang biasanya dipenuhi suara burung pagi dan desiran angin terasa berat oleh ketegangan yang menggantung di medan terbuka. Liora berdiri di atas bukit, menatap ke arah kabut yang menyelimuti tanah di kejauhan. Di balik kabut itulah pasukan Jenderal Kalros berkumpul, siap menyerang kapan saja. Kemenangan atau kehancuran Valyria hanya tinggal menunggu waktu.
Di sisinya, Varren menyusun rencana terakhir dengan prajurit-prajurit elit. Pasukan Valyria, meski tidak sebesar kekuatan Kalros, telah dilatih untuk bertahan dan menyerang dengan kecerdikan. Tapi ini bukan hanya tentang taktik militer; ini tentang memimpin dengan hati, dengan prinsip yang telah diperjuangkan selama bertahun-tahun.
Liora menggenggam erat artefak perak yang disimpan di jubahnya. Energi yang terpancar dari artefak itu semakin kuat setiap harinya, dan dia bisa merasakan dua kekuatan bertarung di dalam dirinya—hasrat untuk menggunakan kekuatan artefak itu untuk menghancurkan musuh, dan keinginan untuk mempertahankan keseimbangan yang telah ia pelajari dari Ares.
"Saatnya hampir tiba," gumamnya pelan, mata masih terfokus pada horizon yang mulai diterangi sinar matahari pertama.
Varren mendekat, suaranya pelan namun tegas. "Kalros tidak akan menunggu lebih lama. Mata-mata kita melaporkan bahwa pasukannya siap untuk menyerang dalam hitungan jam. Jika kita tidak mengambil inisiatif, kita akan berada dalam posisi yang sangat sulit."
Liora mengangguk, pikirannya bekerja cepat. "Aku tahu. Tapi kita tidak bisa terpancing. Kalros menginginkan kita membuat kesalahan pertama—jika kita melompat terlalu cepat, kita akan kalah sebelum pertempuran dimulai."
Varren menatap Liora dengan rasa hormat. "Kau selalu tahu kapan harus menahan diri dan kapan harus menyerang. Kami akan mengikutimu, apa pun yang terjadi."
Liora tersenyum tipis, meski pikirannya masih dihantui oleh keputusan besar yang harus diambil. Artefak ini, kekuatan besar yang dia miliki, bisa dengan mudah membalikkan situasi, tapi dia takut kekuatannya terlalu besar. Apakah ini yang diinginkan Ares? Menggunakan kekuatan untuk mengalahkan musuh, atau mempercayai rakyatnya untuk bertarung dengan kehormatan dan keadilan?
---
Pagi itu, saat kabut mulai terangkat, suara langkah kaki tentara terdengar semakin jelas. Dari jauh, pasukan Kalros muncul, barisan bendera merah bergambar naga hitam mengibarkan ancaman yang menakutkan. Di depan, Jenderal Kalros sendiri menunggang kuda hitam, dengan mata yang memancarkan kebencian dan ambisi.
Liora berdiri di puncak bukit, memandangi musuh dengan tatapan tajam. Ini bukan lagi soal mempertahankan Valyria—ini soal melindungi masa depan yang telah mereka bangun, menjaga keseimbangan yang rapuh. Di bawahnya, pasukan Valyria bersiap di garis depan, para pemanah mengarahkan busur mereka, dan prajurit-prajurit infanteri siap bertahan dengan perisai mereka.
Ketika Kalros akhirnya tiba di jarak yang cukup dekat, dia berhenti. Dengan gerakan lambat namun penuh kekuatan, dia mengangkat tangan, memberi isyarat agar pasukannya berhenti. Kebisuan yang mengikuti lebih menegangkan daripada deru pasukan itu sendiri.
"Pemimpin Valyria!" seru Kalros, suaranya menggema. "Aku telah memberi kalian kesempatan untuk menyerah dan bergabung dengan kekaisaranku. Tapi kau memilih jalan ini—jalan kehancuran. Jika kau bersikeras melawan, tidak ada yang bisa menyelamatkanmu."
Liora maju ke depan, berdiri di atas bukit dengan kepala tegak. "Kalros, kami tidak tunduk pada siapa pun. Valyria telah melalui banyak hal, lebih dari yang bisa kau bayangkan. Kami mungkin tak sebesar pasukanmu, tapi kami berperang bukan hanya untuk bertahan—kami berperang untuk masa depan kami, untuk rakyat kami, untuk keseimbangan."
Kalros tertawa, suaranya penuh penghinaan. "Keseimbangan? Tidak ada keseimbangan dalam kekuasaan. Hanya mereka yang kuat yang bisa memegang kendali, dan aku lebih kuat dari kau."
Liora tetap tak bergeming. "Kekuatanmu mungkin besar, Kalros, tapi kekuasaan yang kau dapatkan dari rasa takut tidak akan pernah bertahan lama."
Kalros mengangkat tangannya lagi, siap memberi perintah untuk menyerang. "Kita lihat seberapa lama kau bisa bertahan dalam peperangan ini, Pemimpin Valyria."
---
Pertempuran pecah dengan cepat. Pasukan Kalros maju dengan brutal, menyerang garis depan Valyria tanpa henti. Liora menyaksikan dari bukit, memberi perintah kepada komandan-komandan bawahannya untuk menyesuaikan taktik. Meskipun jumlah mereka lebih sedikit, prajurit-prajurit Valyria bertempur dengan semangat, menggunakan medan dan taktik yang cerdik untuk mempertahankan posisi mereka.
Di tengah-tengah kekacauan itu, Liora merasakan artefak perak di tangannya bergetar. Cahaya lembut yang terpancar dari benda itu mulai berubah menjadi lebih terang, lebih kuat. Setiap kali dia melihat pasukan Valyria terdesak, keinginan untuk menggunakan kekuatan artefak itu semakin besar.
"Aku bisa menghentikan ini sekarang," pikir Liora, tapi kata-kata Ares kembali terngiang di pikirannya: "Keseimbangan tidak dimiliki oleh satu orang. Ini tentang kepercayaan, tentang menjaga keseimbangan dalam setiap tindakan."
Namun, di saat yang sama, Varren melaporkan bahwa beberapa bagian dari pasukan Valyria mulai mundur. "Liora, kita butuh bantuan di garis tengah. Jika mereka menembus sana, kita akan hancur!"
Liora menggenggam artefak itu lebih erat, perasaan bimbang semakin besar. Dia tahu bahwa satu gerakan bisa membalikkan keadaan, tapi dia juga tahu bahwa kekuatan besar ini bisa menghancurkan lebih dari sekadar musuh. Ini bisa menghancurkan segalanya—kepercayaan rakyat, keseimbangan yang rapuh, bahkan dirinya sendiri.
---
Di tengah medan perang, pasukan Kalros mulai mendekati garis pertahanan terakhir Valyria. Liora melihat prajurit-prajuritnya bertempur mati-matian, meski mereka jelas mulai kewalahan. Dia tahu ini saatnya mengambil keputusan.
Dan di tengah kebingungan itu, Sosok Ares muncul dalam pikirannya, bukan sebagai bayangan atau suara, tapi sebagai kekuatan moral yang menuntunnya. "Kau selalu punya pilihan," gumamnya, mengingat ajaran Ares. "Kau tidak harus menggunakan kekuatan ini untuk menang."
Dengan keberanian yang mendalam, Liora menarik napas panjang dan melangkah maju, meninggalkan artefak itu di dalam jubahnya. Dia memimpin pasukannya dengan hati yang teguh, menggunakan taktik yang sudah dipersiapkan tanpa mengandalkan sihir atau kekuatan gelap. Dia memilih percaya pada orang-orangnya, pada semangat mereka, dan pada takdir yang mereka bangun bersama.
"Valyria!" serunya keras di tengah pertempuran. "Kita bertempur untuk tanah kita, untuk masa depan kita, dan untuk keseimbangan! Kuatkan hati kalian, kita tidak akan menyerah!"
Sorakan dari prajurit-prajuritnya menggema, dan semangat baru menyala di tengah kekacauan. Mereka mulai memukul mundur pasukan Kalros, perlahan tapi pasti. Setiap langkah yang mereka ambil adalah bukti bahwa kemenangan tidak selalu datang dari kekuatan besar, tapi dari keyakinan yang tak tergoyahkan.
---
Ketika matahari mulai tenggelam, pasukan Kalros mundur, kekalahan mereka jelas. Valyria, meski terluka, tetap bertahan. Liora berdiri di tengah medan perang, kotor dan lelah, tetapi hatinya penuh dengan kebanggaan. Mereka telah melawan bukan hanya untuk bertahan hidup, tapi untuk menjaga prinsip yang selama ini mereka perjuangkan.
Di kejauhan, Jenderal Kalros menatap pasukannya yang terpecah-pecah dengan penuh amarah. Dia tahu bahwa kekalahannya di sini bukan hanya kekalahan militer—ini adalah kekalahan moral. Valyria telah menunjukkan bahwa kekuasaan sejati tidak datang dari penaklukan, tapi dari kesetiaan dan keseimbangan.
Liora menatap horizon dengan tatapan mantap, mengingat kata-kata terakhir Ares: "Kau sudah tahu jalannya. Kau hanya perlu percaya pada dirimu sendiri."
Dan dia telah melakukannya—dia telah memilih jalan yang benar. Liora menahan godaan untuk menggunakan kekuatan artefak yang luar biasa itu dan, sebaliknya, memilih untuk mempercayai rakyat Valyria dan kemampuan mereka sendiri untuk melindungi kekaisaran. Dia telah menjaga keseimbangan, bukan hanya di medan perang, tetapi dalam setiap keputusan yang ia buat.
Dengan sisa kekuatan yang ada, Liora berjalan perlahan menuruni bukit, bergabung dengan para prajurit yang bersorak dan saling berpelukan, merayakan kemenangan mereka. Matahari yang tenggelam memberikan sinar keemasan terakhirnya di atas medan yang kini tenang, simbol dari fajar baru yang akan segera menyingsing untuk Valyria.
"Ini belum akhir," pikir Liora, menyadari bahwa ancaman baru mungkin akan muncul di masa depan. Namun, untuk saat ini, dia tahu bahwa Valyria telah memenangkan pertempuran yang paling penting—bukan hanya dengan pedang, tetapi dengan kepercayaan, ketekunan, dan keyakinan pada prinsip-prinsip yang mereka pegang teguh.
---
cerita othor keren nih...