Hanung Rahayu, seorang gadis periang dengan paras menawan. Sejak kematian sang ayah, Hanung tinggal bersama Ibu tiri dan ketiga adiknya.
Ibu Jamilah, Ibu tiri Hanung dulunya adalah abdi dalem di sebuah pondok pesantren yang ada di kotanya. Ketika Bu Nyai datang melamar Hanung untuk putranya, Ibu Jamilah menyerahkan keputusan sepenuhnya di tangan Hanung.
Dengan rela Hanung menerima lamaran tersebut, tanpa tahu calonnya seperti apa. Akankah Hanung mundur dari pernikahan? Bagaimana Hanung menjalani kehidupannya kedepan?
Note: Jika ada kesamaan nama, dan setting, semuanya murni kebetulan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meymei, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
28. Sampai Disini
Revisi
.
.
.
.
.
Satu bulan kemudian, Hanung yang sedang memasak dikejutkan dengan suara vas jatuh akibat Surati dan Donga yang bertengkar. Hanung berusaha mengabaikan dengan melanjutkan masakannya, akan tetapi tangisan Hari menghentikannya. Ia pun mendekat dan mendekap Hari, menenangkannya.
Hotnihari lumayan dekat dengan Hanung karena setiap kali kedua orang tuanya sibuk, Hari akan menyelinap masuk kedalam kamar Hanung dan menghabiskan waktu disana.
"Tidakkah kalian malu, bertengkar didepan balita?" tanya Hanung yang sudah mulai jengah.
Yang mereka perdebatkan adalah siapa yang lebih baik. Masalah yang bisa dibicarakan baik-baik. Tetapi mereka bertengkar sampai merusak perabotan rumah. Baik Donga yang keras kepala atau Surati yang tidak mau kalah, menatap tajam ke arah Hanung.
"Ini semua karena kamu!" seru Surati. Donga yang awalnya berdiri pun duduk di sofa sambil mengacak rambutnya.
"Maksud Ibu?" Hanung menutup telinga Hari rapat-rapat.
"Kamu menolak Alung!"
"Apa hubungannya aku menolak Alung dengan pertengkaran kalian?"
"Tentu saja berhubungan! Kalau saja kamu menikah dengan Alung, sudah bisa dipastikan usaha Ibu akan lebih kuat dengan dukungannya."
"Oh.. Jadi, aku dibawa kesini hanya untuk pernikahan politik?" jawab Hanung dengan nada sarkas nya.
Surati dan Donga pun diam menatap kearah Hanung. Sedangkan Hanung menenangkan Hari dan membujuknya untuk menunggunya di kamar. Hari menganggukkan kepalanya, Hanung pun mengantarnya ke kamar dan kembali ke ruang tamu.
"Kenapa kalian tidak menikahkannya dengan Lala? Bukankah Lala menyukai Alung?" tak ada jawaban.
"Kalian tahu, aku sudah menikah. Tetapi masih menjodohkan aku dengan Alung. Dan parahnya lagi, kalian memanipulasi Alung dengan berpura-pura menjadi aku! Sebenarnya apa mau kalian?" tanya Hanung.
Ia bertekad untuk menyelesaikan masalah dengan Surati. Jika semua selesai, ia bisa kembali bersama suaminya.
"Kamu tidak mengerti!"
"Bagaimana bisa mengerti, kalau kalian saja membuat keputusan sepihak. Apa kalian juga tidak ingin memberitahu Lala alasan mengapa tidak memilih Lala melainkan aku?" tanya Hanung dengan sengaja karena ia melihat Lala dan Lili sedang menguping.
"Hanung! Apa pantas kamu berbicara seperti itu dengan orang tua?" teriak Donga.
"Maaf.. Ini bukan masalah pantas atau tidak pantas. Kalau aku tak mengatakannya, masalah ini akan terus menyeret ku!"
"Hanung benar, Yah. Aku juga ingin mendengarkan alasannya." kata Lala yang keluar dari persembunyiannya.
"Kamu masih terlalu muda!"
"Aku hanya berbeda satu tahun dengan Hanung, Yah!"
"Ya, tapi kamu sedang berkuliah sedangkan Hanung tidak! Apa kamu mau menyerah dengan studimu?"
"Dari dulu Aku tak mau kuliah, Ayah yang memaksaku! Dan sekarang Ayah mengatakan seolah Aku tak memiliki pilihan lain selain menyelesaikan kuliahku tanpa tahu apa-apa."
"Lala, kami melakukan semua ini demi masa depan kamu." Surati melembut.
"Lalu masa depanku tidak penting?" Hanung menyela.
"Cukup, Hanung! Apa bedanya kamu menikah dengan Alung? Kamu saja sudah menikah tanpa berpikir untuk kuliah!"
"Memangnya setelah aku menikah, aku tak bisa kuliah? Pemikiran kalian dangkal sekali." Hanung tertawa, tetapi hatinya sakit saat ini.
"Menikah ya menikah, mana mungkin bisa kuliah!" seru Surati.
"Asal Ibu tahu, aku sudah merencanakan semuanya. Tetapi semua hancur karena tuntutan Ibu menyuruhku berbakti. Tapi apa yang aku dapat? Pengalaman sebagai pegawai catering, pengalaman seorang pembantu dan pernikahan politik!"
"Plak!" Surati melayangkan tangannya tepat di pipi yang pernah ia tampar.
"Ini kali kedua Ibu menamparku. Terimakasih. Baktiku padamu cukup sampai disini, Bu." Hanung melangkah ke kamar.
"Sampai kamu keluar dari rumah ini, jangan pernah kembali lagi!" seru Donga.
"Jangan khawatir, aku tidak akan kembali kesini!" Kata Hanung tanpa menoleh.
Hanung masuk ke kamar mengemasi pakaiannya dan membawanya keluar. Tetapi Hari menarik gamisnya sambil menangis.
"Anak pintar, jangan menangis. Dengarkan Kakak, tetap tunggu dikamar ini sampai nanti ada yang jemput. Jangan keluar dulu ya.." Hari mengangguk menurut dengan memeluk Hanung.
Hanung membalas pelukan Hari. Walaupun Hari anak dari Donga dan Surati yang telah menyakitinya, anak itu tidak tahu apa-apa dan tidak menanggung dosa kedua orang tuanya. Hanung tetap menyayanginya, bagaimana pun mereka dari darah yang sama dan sepersusuan.
"Jangan kamu membawa sepeserpun dari sini!" seru Donga saat Hanung berjalan mendekat.
"Oh, Terima kasih Anda telah mengingatkan saya. Berikan ponsel saya kembali!" Kata Hanung dengan tangan yang mengisyaratkan meminta.
"Kamu yakin akan keluar?" tanya Lala sambil menyerahkan ponsel Hanung.
"Kalau aku tak yakin, untuk apa aku bersiap?"
"Mereka hanya marah sesaat, nanti mereka akan reda sendiri. Ini sudah malam, Hanung!" Lala bersimpati dengan Hanung.
"Terimakasih, lain kali katakan apa maumu agar mereka tidak mengeksploitasi keputusan!" pesan Hanung yang memeluk Lala.
Tak ada benci dihati Hanung, mengingat semua perbuatan Lala kepadanya. Lala dan Lili membencinya karena melihat perlakuan kedua orang tuanya kepada Hanung. Ia bisa memakluminya. Bahkan Lili yang sedari tadi hanya bersembunyi, keluar dan ikut memeluk Hanung. Setelah melepaskan pelukan, Hanung mendekati Surati.
"Bu, hubungan Ibu dan anak kita sampai disini. Terimakasih untuk semuanya dan maaf aku tidak bisa berbakti seperti yang kamu mau. Walaupun sampai kapanpun aku adalah anakmu, hubungan kita tidak akan bisa kembali ke masa silam." Hanung mencium punggung tangan Surati cukup lama sebagai tanda penghormatan dan pergi begitu saja tanpa memedulikan Donga.
Lala dan Lili menangis melihat kepergian Hanung. Mereka paling tahu sifat ayah mereka. Jika jangan kembali, itu artinya mereka tidak akan pernah bertemu Hanung lagi. Surati menitikkan air mata kala merasakan hangat di tangannya, bekas ciuman Hanung yang masih tertinggal di sana. Dalam hati ia menyayangkan perpisahannya dengan Hanung, tetapi egonya berkata lain. Dengan mempertahankan Hanung, sama saja ia mengibarkan bendera perang dengan suaminya.
Sementara itu, Hanung yang melangkah keluar gang bingung hendak kemana. Selama satu bulan setengah ini, ia tidak pernah kemana-mana. Ia tak tahu harus kemana, ia pun membuka ponselnya dan berniat mencari hotel untuk menginap. Sayangnya tidak ada hotel yang dekat dengan posisinya saat ini, paling dekat 3 km.
Setelah berjalan cukup jauh, Hanung pun berhenti di sebuah warung. Ia membeli air putih dan es lilin untuk mengompres pipinya yang masih nyeri, sambil mencari agen travel di ponselnya.
"Nak, kami mau tutup. Apa kamu tidak pulang?" tanya pemilik warung.
"Saya.. Saya numpang disini sementara boleh? Saya akan pergi pagi nanti." Kata Hanung yang sudah menemukan agen travel yang bisa membawanya ke Bandara.
"Bahaya malam-malam perempuan diluar. Apa kamu mau singgah di rumah kami?"
"Tidak, Bu. Terimakasih."
"Jangan sungkan, saya hanya tinggal berdua dengan suami. Anak-anak sedang ada di pesantren."
"Ikut kami saja, rumah kami tak jauh dari sini." kata suami pemilik toko.
Setelah menimbang-nimbang, Hanung pun ikut pasangan suami istri itu kerumahnya yang hanya berjarak 3 rumah dari warung. Sampai dirumah, barulah mereka melihat luka memerah di pipi Hanung. Mereka tak bertanya, mereka menyiapkan kamar untuk Hanung dan menyuruhnya beristirahat.
Sementara itu, Gus Zam yang sudah dipenuhi dengan kecurigaan semakin membulatkan tekad untuk menjemput istrinya.