Anesha dan Anisha adalah kakak beradik yang terpaut usia tiga tahun. Hidup bersama dan tumbuh bersama dalam keluarga yang sama. Namun mereka berdua dibesarkan dengan kasih sayang yang berbeda. Sebagai kakak, Nesha harus bekerja keras untuk membahagiakan keluarganya. Sedangkan Nisha hidup dalam kemanjaan.
Suatu hari saat mereka sekeluarga mendapat undangan di sebuah gedung, terjadi kesalah pahaman antara Nesha dengan seorang pria yang tak dikenalnya. Hal itu membuat perubahan besar dalam kehidupan Nesha.
Bagaimanakah kehidupan Nesha selanjutnya? Akankah dia bahagia dengan perubahan hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pena Halu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ijin Pindah
Seharian penuh Fandi dan Nisha saling melempar tanya perihal parfum yang hanya mereka yang tahu. Padahal mereka sepakat untuk tidak sekalipun membicarakan hal tersebut sesampainya di rumah. Apalagi mereka berbelanja di mall yang jarang sekali dikunjungi orang biasa. Mana mungkin Garvi mengikutinya sampai kesana.
"Ah.. Aku tahu, sayang", celetuk Fandi seolah menemukan sebuah jawaban untuk teka-teki ini.
"Dia kan tukang ojol, sudah pasti dia lihat kita di mall pas dia lagi ambil orderan nggak, sih?!" Fandi menatap Nisha penuh keyakinan.
Nisha dengan cepat mengangguk berkali-kali. Kenapa mereka harus bingung dengan masalah sepele ini? Bikin pusing saja.
"Dasar tukang ojek sialan!" Umpat Fandi merasa memenangkan sebuah permainan teka-teki. Akhirnya mereka pun bisa bernafas lega tanpa rasa khawatir.
Dilain kamar, Pak Edi sedang menasehati Bu Rumi yang selalu marah setiap kali ia membela Nesha.
"Bapak jangan manjain si Nesha terus, dong!" ketus Bu Rumi seraya melipat baju.
"Kalau mau ibu begitu, ibu juga jangan manjakan Nisha, gimana?" Tanya Pak Edi sambil mendudukkan diri disamping Bu Rumi.
"Ya nggak bisa gitu, dong, Pak! Nisha itu anak bungsu."
"Nggak ada bedanya bu, anak bungsu sama anak sulung. Mereka sama-sama anak kita."
"Bapak sayang nggak sih sama Nisha?!" Bu Rumi sedikit membentak Pak Edi. Membuat Pak Edi sedikit terkejut.
"Bu, aku tu sayang sama Nisha dan Nesha. Mereka kan anak-anak kita. Kita harus menyama ratakan kasih sayang kita".
"Tapi bapak seolah selalu membela Nesha, aku nggak suka pak!"
"Kalau benar ya dibela, Bu. Kalau salah ya dinasehati, Bu. Jangan jadi orang tua yang berat sebelah", tutur Pak Edi dengan lembut.
Bu Rumi yang sedang memasukkan baju di dalam lemari, membanting pintu dengan kasar.
Pak Edi yang melihat istrinya marah setiap kali di nasehati, hanya bisa menghela nafas. Jika sudah seperti itu, ia akan mengalah dan memilih diam.
Pak Edi kemudian keluar kamar untuk mencari udara segar. Ia duduk di teras depan seraya memandang jalan yang tampak lengang ketika malam. Hanya ada beberapa orang yang berlalu-lalang.
"Mari, Pak!" sapa tetangga yang lewat sambil melambaikan tangan. Dibalas pula dengan lambaian tangan oleh Pak Edi.
Pikiran Pak Edi menerawang jauh entah kemana. Saat ini matanya menyiratkan isi kepala yang sangat penuh.
"Pak", sapa Garvi yang berdiri di sampingnya.
"Eh iya, ada apa Nak Garvi?" Jawab Pak Edi seraya menoleh pada sumber suara.
"Apa yang bapak pikirkan, sampai saya panggil berkali-kali nggak menyahut?"
"Hah, masa? Hehehe", Pak Edi terkekeh menyembunyikan kekalutannya.
"Ada yang mau saya bicarakan, Pak", ujar Garvi dengan wajah serius.
"Duduk sini", titah Pak Edi menepuk kursi kosong di pinggirnya. Segera Garvi duduk di tempat yang dipersilahkan.
"Kamu mau ngomong soal apa?" tanya Pak Edi penasaran.
"Pak saya mau mencari kontrakan, saya minta ijin sebelumnya untuk membawa Nesha ikut saya", ucap Garvi dengan hati-hati.
Mendengar peryataan Garvi membuat hati Pak Edi berdenyut. Ia sudah mempersiapkan hati jika suatu hari anak-anaknya akan ikut bersama suaminya keluar dari rumah ini. Namun ia tak menyangka hari itu telah tiba.
"Kamu sudah dapat kontrakan?"
"Belum, Pak. Saya masih cari-cari yang cocok."
Pak Edi mengangguk. Tersirat kesedihan diwajahnya yang sudah mulai mengeriput.
"Saya usahakan cari kontrakan yang dekat sini, agar Nesha masih bisa bekerja dan berkunjung ke rumah, Pak". Mendengar penuturan Garvi, Pak Edi tersenyum tipis. Sepertinya menantunya itu peka sekali.
"Terima kasih, Nak". Pak Edi menepuk-nepuk bahu kekar Garvi.
Mereka terdiam sejenak.
"Apa Nesha sudah kamu beritahu?"
"Belum, Pak. Ini baru wacana saya. Saya harus meminta ijin anda dulu".
"Nesha adalah seorang perempuan yang sudah menikah. Ia wajib berbakti dan mengikuti kemana pun kamu mengajaknya pergi sebagai suaminya, Nak. Sebagai orang tua, saya sudah bersiap dengan hal ini", penuturan Pak Edi sangat bijak dan tegas.
"Terima kasih untuk pengertiannya, Pak". Garvi mengulas senyum tatkala mendapat ijin dari bapak mertuanya untuk berpisah rumah.
"Kamu pasti kesusahan sekali tinggal di sini". Pak Edi tersenyum kecut mengingat bahwa menantunya ini selalu mendapat perlakuan dan omongan tidak baik dari istrinya.
Kedua lelaki beda zaman itu melanjutkan obrolan ringan dan sesekali bercanda.
"Seandainya Papa saya masih hidup, pasti beliau akan senang punya menantu Nesha dan besan seperti anda, Pak". Garvi menatap lekat wajah mertuanya yang selalu tampak tersenyum, persis dengan istrinya.
"Saya dengar ibumu sedang sakit. Apa begitu parah, Nak?" Tanya Pak Edi penasaran, karena ia belum pernah sama sekali bertemu dengan ibu Garvi.
"Mama sudah masa pemulihan, Pak. Beliau masih lemah. Nanti jika sudah benar-benar sehat, saya akan mengajak Mama menemui ibu dan bapak", ujar Garvi penuh sopan santun.
Pak Edi menatap wajah tampan Garvi. Tersirat rasa iba dalam benak Pak Edi. Saat ibunya terbaring sakit, ia malah harus menikahi putri sulungnya. Bak sudah jatuh tertimpa tangga pula, begitu kata pepatah.
"Maafkan bapak ya, Nak. Seharusnya kamu merawat ibumu, tapi malah harus menikah dengan anak saya", rasa haru tercipta begitu saja, bulir bening sudah memenuhi sudut mata Pak Edi.
"Tidak apa-apa, Pak. Mama sudah ada yang merawat, jadi bapak jangan khawatir. Saya malah beruntung memiliki istri yang baik seperti Nesha". Garvi mengelus punggung Pak Edi untuk menenangkannya.
Kemudian Pak Edi dan Garvi sama-sama masuk ke dalam rumah karena sudah larut malam.
Di dalam kamar, Nesha sedang memoles wajahnya dengan skincare. Ia duduk di tepian ranjang sembari memegang cermin kecil di tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya mengusap-usap lembut pipinya kanan-kiri bergantian.
"Mas darimana?" tanya Nesha melirik kearah Garvi yang baru masuk kamar.
"Tadi ngobrol sama bapak diluar", jawab Garvi seraya duduk di belakang Nesha, lalu melingkarkan tangannya di perut Nesha.
"Kamu makin cantik", bisik Garvi di telinga Nesha. Membuat Nesha merinding.
"Makasih, Mas. Ini semua kan karena kamu yang beliin aku skincare", ucap Nesha seraya membelai pipi Garvi dengan lembut, lalu melanjutkan memakai urutan skincare-nya.
Dari dulu wajah Nesha sudah bersih dan mulus tanpa jerawat. Hanya saja sedikit kusam karena tak pernah memakai skincare. Ia hanya memakai bedak padat yang ia beli di toko serta sabun cuci muka yang murah. Namun setelah memakai skincare mahal dengan merek "d'Alba" yang dibelikan oleh Garvi, wajah Nesha makin hari semakin bersih, bersinar, dan glowing. Membuatnya semakin percaya diri.
Bahkan beberapa hari lalu, Nisha yang menyadari perubahan wajah Nesha pun merasa iri. Ia pun merengek pada Fandi untuk dibelikan skincare yang sama. Namun yang didapat hanya janji dari suaminya itu.