Arsyi seorang wanita sederhana, menjalani pernikahan penuh hinaan dari suami dan keluarga suaminya. Puncak penderitaannya terjadi ketika anaknya meninggal dunia, dan ia disalahkan sepenuhnya. Kehilangan itu memicu keberaniannya untuk meninggalkan rumah, meski statusnya masih sebagai istri sah.
Hidup di tengah kesulitan membuatnya tak sengaja menjadi ibu susu bagi Aidan, bayi seorang miliarder dingin bernama Rendra. Hubungan mereka perlahan terjalin lewat kasih sayang untuk Aidan, namun status pernikahan masing-masing menjadi tembok besar di antara mereka. Saat rahasia pernikahan Rendra terungkap, semuanya berubah... membuka peluang untuk cinta yang sebelumnya mustahil.
Apakah akhirnya Arsyi bisa bercerai dan membalas perbuatan suami serta kejahatan keluarga suaminya, lalu hidup bahagia dengan lelaki baru?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rere ernie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter - 10.
Keesokan paginya, rumah besar itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Para pelayan berjalan setengah menunduk, menjaga suara langkah agar tidak menimbulkan kegaduhan. Semua tahu, satu ledakan kecil dari Nyonya Raisa bisa membuat seisi rumah bergetar.
Rendra turun dari kamar Raisa dengan wajah pucat kelelahan. Rambutnya berantakan, kemeja putihnya kusut tak karuan. Ia baru saja melewati malam panjang penuh jeritan dan tangisan istrinya.
Di ruang tengah, Arsyi sudah duduk sambil memangku Baby Aidan yang mengisap jempol mungilnya. Ia mendongak ketika melihat Rendra.
“Kau sepertinya bisa tidur nyenyak setelah memberikan ide itu padaku dan membuatku tak bisa tidur semalaman.” Rendra dengan nada dingin, seolah tuduhan.
Arsyi mengangkat alis, lalu tersenyum. “Tidur? Tuan pikir saya punya waktu tidur dengan bayi kecil ini yang baru saja pipis tiga kali semalam?“
Rendra hanya mendengus, melirik dingin.
Arsyi menepuk jidatnya pura-pura lupa, ia berbisik. “Sekarang saya harus berpura-pura jadi istri Anda, bukan?”
Rendra menegakkan bahu, matanya menajam. “Tidak ada yang lucu, Arsyi. Ini idemu...”
Arsyi menatapnya balik dengan sorot serius. “Saya tahu, Tuan. Demi Tuan kecil, saya akan lakukan apa pun. Bahkan... jika harus menjadi ‘istri pura-pura Tuan' di depan Nyonya Raisa.”
Keheningan sesaat melingkupi mereka berdua, hanya suara kecil baby Aidan yang menggumam dalam tidurnya.
Rendra menghela napas, akhirnya mengangguk tipis. “Dokter bilang, Raisa perlu diyakinkan bahwa dia tidak sendirian. Bahwa dia punya keluarga utuh, jika itu satu-satunya cara…”
Arsyi menyeringai kecil, meski dalam hati gugup. “Jadi kita sepakat, mulai sekarang… saya istri Anda. Tapi, jangan salahkan saya kalau nanti orang-orang mulai bergosip tentang betapa harmonisnya kita.”
“Arsyi.” Suara Rendra tajam, menegur.
Arsyi mengangkat tangan tanda menyerah, tapi tak bisa menahan tawa lirihnya. “Baiklah, Tuan. Tapi setidaknya… Anda harus pandai berakting, supaya kita tidak salah peran di depan Nyonya Raisa.”
Belum sempat Rendra menanggapi, suara langkah tergesa terdengar dari lantai atas. Salah satu pelayan berbisik, “Nyonya Raisa… beliau keluar kamar.”
Semua menegang.
Tak lama, Raisa muncul dengan langkah gontai. Rambutnya terurai kusut, wajahnya pucat namun sorot matanya lebih tenang dibanding semalam. Ia menatap sekeliling penuh waspada… sampai pandangannya jatuh pada baby Aidan yang tertidur di pangkuan Arsyi.
Raisa langsung gemetar. “Bayi itu…”
Refleks, Rendra berdiri dan meraih bahu Raisa. “Tenanglah, kau tidak perlu takut. Anak ini bukan ancaman...”
Namun Raisa seperti ingin menjerit, lalu Arsyi buru-buru berdiri sambil menggendong baby Aidan. Senyum tipis namun hangat terpampang di wajahnya, meski tangannya sedikit bergetar.
“Raisa… kau tidak perlu takut. Ini anakku...“ suara Arsyi begitu lembut penuh keibuan.
Rendra tertegun, hampir memprotes. Tapi ia cepat sadar, bahwa Arsyi sedang memainkan peran yang telah mereka sepakati.
“Anakmu?” Raisa mengulang dengan suara parau, bingung.
Arsyi melangkah pelan mendekat, lalu duduk kembali di sofa agar tidak terlihat mengancam. “Ya, anak kami. Anakku dan Rendra.”
Pelayan yang mendengar hampir terbatuk menahan syok, Rendra sendiri berwajah tegang.
“Anak kalian?” Raisa menatap bergantian antara Rendra dan Arsyi, matanya penuh keraguan.
Arsyi tersenyum samar, lalu menunduk menatap bayi kecil itu dengan lembut. “Dia bukan milikmu, Raisa. Jadi... kau tidak perlu takut padanya. Lihat, dia hanya bayi manis yang selalu menempel pada ibunya… padaku.”
Raisa terdiam. Untuk pertama kalinya, tidak ada jeritan, tidak ada amukan. Hanya kebingungan yang menahan suaranya.
Rendra melirik sekilas pada Arsyi dengan tatapan tajam separuh marah, separuh kagum. Arsyi membalas dengan kedipan singkat, yang membuat Rendra hampir tersedak ludahnya sendiri.
Namun yang paling penting, Raisa tidak histeris. Dan itu adalah awal... dari sandiwara gila mereka.
Raisa duduk di sofa, masih memeluk lututnya. Sorot matanya tajam menatap baby Aidan di gendongan Arsyi. Ada jeda hening yang panjang, seolah ia sedang menimbang apakah harus kembali berteriak atau mencoba mempercayai kata-kata tadi.
“Kalau begitu…” Raisa membuka suara, lirih tapi jelas. “Kalau bayi ini… anak kalian… kapan kalian menikah?”
Pertanyaan itu meluncur begitu saja, membuat ruangan langsung kaku. Para pelayan tak berani pergi memecah keheningan dan akhirnya mereka menjadi penonton.
Arsyi menoleh ke Rendra, memberikan tatapan penuh arti... seakan bicara 'giliranmu menjawab'
Namun Rendra hanya berdiri kaku, rahangnya mengeras, tatapan matanya berkata pada Arsyi 'Kau yang mulai, kau yang selesaikan'.
Arsyi menelan ludah, lalu tersenyum tipis. “Kami menikah… tiga tahun lalu.”
Raisa mengerutkan dahi. “Tiga tahun?”
“Iya, benar.” Arsyi mengangguk mantap, meski tangannya yang memeluk baby Aidan hampir berkeringat dingin. “Upacara kecil saja, sederhana. Tidak ada pesta besar, Rendra memang tipe suami dingin yang tidak suka keramaian dan sedikit protektif padaku... dia tak ingin ada laki-laki lain yang mengagumi kecantikanku saat aku memakai gaun pengantin. ”
Mata Rendra langsung melotot ke arahnya, tapi Arsyi pura-pura tidak melihat.
Raisa tampak berpikir. “Kalau begitu… kenapa aku tidak tahu?”
“Karena…” Arsyi cepat-cepat merangkai alasan, matanya berkilat penuh ide. “Karena saat itu kau sedang… ehm… bepergian jauh. Ya, kau sedang melakukan perjalanan panjang. Jadi wajar... kalau kau tidak hadir.”
Raisa menunduk, wajahnya diliputi kebingungan.
“Perjalanan… jauh…” gumamnya pelan. Ada sekelebat keraguan, tapi juga tanda-tanda ia mulai menerima jawaban itu.
Namun tiba-tiba Raisa mengangkat kepala, menatap tajam. “Kalau begitu… bagaimana anak itu bisa lahir? Aku ingin tahu.”
Sekali lagi, semua mata otomatis menoleh ke Arsyi. Bahkan Rendra sendiri mendengus tajam, jelas ingin tahu bagaimana perempuan itu akan menjawab.
Arsyi tersenyum manis, meski dalam hati menjerit. “Anak ini lahir… karena cinta. Tentu saja ada interaksi panas antara suami istri, lalu lahirlah anak ini.”
Para pelayan hampir tersedak menahan tawa.
Rendra mendekat selangkah, berbisik tajam di telinga Arsyi. “Kau serius?”
Arsyi tetap menatap Raisa dengan senyum hangat, tapi bibirnya berbisik balik pada Rendra tanpa menoleh. “Apa Tuan juga mempertanyakan bagaimana anak ini lahir? Apa Tuan belum berpengalaman cara membuat seorang anak?"
Rendra menggeram karena ucapan Arsyi tepat sasaran, ia mencoba menahan kejengkelan bercampur putus asa.
Raisa tampak termenung, entah karena alasan itu masuk akal baginya atau karena ia mulai lelah. “Cinta… ya… mungkin begitu.”
Untuk pertama kalinya sejak masuk ke rumah itu, Raisa tidak berteriak. Ia hanya memandang baby Aidan dengan mata berkaca-kaca. Raisa akhirnya bangkit untuk kembali ke kamar dengan langkah lunglai.
Rendra mendekat pada Arsyi, suaranya pelan.
“Sekali lagi kau menyebutku suami penuh cinta, aku akan pastikan kau pindah kamar. Ke kandang kuda...”
Arsyi menatapnya balik dengan senyum tipis. “Baik, Suami.”
Rendra hampir meledak.
Dari jauh, para pelayan berbisik sambil menahan geli. Drama rumah tangga itu baru saja dimulai dan semuanya menduga, jika sandiwara “istri palsu“ ini bisa jadi lebih berbahaya daripada penyakit Raisa sendiri.