Setelah kepergian istrinya, Hanan Ramahendra menjadi pribadi yang tertutup dan dingin. Hidupnya hanya tentang dirinya dan putrinya. Hingga suatu ketika terusik dengan keberadaan seorang Naima Nahla, pribadi yang begitu sederhana, mampu menggetarkan hatinya hingga kembali terucap kata cinta.
"Berapa uang yang harus aku bayar untuk mengganti waktumu?" Hanan Ramahendra.
"Maaf, ini bukan soal uang, tapi bentuk tanggung jawab, saya tidak bisa." Naima Nahla
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Asri Faris, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24
Nahla baru menyadari dan cukup kaget kalau perbuatan suaminya itu menimbulkan bekas merah keunguan di lehernya. Perempuan itu bingung sendiri cara menjelaskan pada putrinya.
"Owh ini ... ruam sayang, nggak pa-pa, nanti juga hilang," jawab perempuan itu yang keluar dari kepalanya.
Semoga alasan itu pas. Perempuan itu melirik suaminya yang tengah menatapnya dengan raut wajah tak biasa. Menahan hasrat yang hampir tumpah itu luar biasa tidak nyaman, dan sepertinya malam ini pria itu akan kerepotan sendiri menyamarkannya. Apalagi sudah lama tidak mendapatkan asupan kasih sayang, sudah barang tentu rasanya mupeng tak karuan.
"Icha, mimpi apa kenapa nangis?" tanya Nahla mencoba mengalihkan fokus gadis kecilnya.
"Aku keluar bentar ya," pamit Hanan menyela pembicaraan keduanya, beranjak turun dari ranjang. Mencari angin segar dan mencoba menenangkan si Bondan yang jelas-jelas tadi sudah hampir keluar dari sarangnya.
"Iya Mas," jawab Nahla mengangguk.
Jeda iklan karena kedatangan Icha, berharap hanya sebentar, nyatanya gadis kecil itu tak kunjung tidur kembali hingga malam. Tidur sambil memeluk ibunya.
Hanan sendiri keluar melakukan gerakan kecil. Pria itu sampai push up untuk mengalihkan, tetap saja rasanya tak nyaman. Sesuatu yang telah lama terpendam meminta untuk dilepaskan.
"Ya Tuhan ...!" Hanan memijit pelipisnya yang mulai terasa pening.
Setelah beberapa menit, pria itu kembali ke kamar. Ternyata putrinya belum juga tertidur kembali. Malah Nahla yang sudah kelihatan mengantuk. Pria itu makin resah dan galau saja.
Mau kesal tetapi harus sabar, hingga larut masih terjaga.
"Icha belum tidur? Sudah malam sayang, tidur," bujuk Pak Hanan gemas sekali. Icha mengangguk saja, tetapi tak kunjung merem.
Pria itu merebah tepat di samping istrinya. Sepertinya ia tidak bisa menunda keinginannya malam ini atau terancam tidak bisa tidur semalaman.
Kulit Nahla meremang seketika saat pria itu memeluk dari belakang. Mengusak lembut tengkuknya, seakan menghirup dalam-dalam wangi tubuh istrinya.
Sementara Nahla jelas tidak nyaman, selain panas dingin bercampur grogi, ada Icha dalam pelukan. Jadilah anak dan bapak itu saling berebut memeluk Nahla yang tiba-tiba merasa panas.
Rasanya ingin sekali protes, kenapa Mas Hanan nempel-nempel seperti ini saat bahkan ada Icha di ranjangnya. Walaupun tidak melakukan apa pun, tetap saja rasanya bikin jantung jedug jedug tak karuan.
Malam kian merangkak, tanpa sadar baik Nahla maupun Icha sama-sama tertidur. Tetapi tidak untuk Hanan yang hampir semalaman terjaga. pria itu benar-benar merasa tidak nyaman dan kesiksa sendirian. Paginya bonus mata panda dan kepala pening. Beruntung hari ini hari sabtu, Hanan libur ke kantor. Tetapi tidak untuk Nahla yang tetap mengajar.
"Mas, kamu nggak pa-pa? Kalau pusing minum obat ya? Atau mau aku belikan dulu di apotik," ujar Nahla polos sekali. Dia tidak paham kalau obat mujarabnya adalah Nahla sendiri.
"Kamu pulang jam berapa? Bisa nggak kalau sekarang izin saja."
"Hah, jangan dong Mas, aku tidak bisa izin lagi, kemarin sudah banyak absen. Belum lagi minggu depan resepsi mengambil cuti. Lagian nanti pulang lebih awal dari jam biasanya." Nahla tidak bisa serta merta izin tanpa alasan yang jelas.
"Ya sudah nggak pa-pa, aku antar saja nanti," ujar pria itu terlihat tak bersemangat sama sekali.
"Kalau Mas pusing, istirahat saja, aku bisa pesan taksi sekalian bareng Icha."
"Nggak pa-pa, pusing dikit kok," jawab Hanan kekeh mengantar istri dan anaknya.
"Ayo Ma berangkat!" seru Icha sudah siap. Nahla mengangguk setelah memastikan penampilan dirinya dan putrinya rapih. Lebih dulu ke sekolahan Icha, lalu ke sekolahan Nahla.
"Selamat belajar sayang!" seru Nahla mengantar gadis kecilnya sampai gerbang. Gadis enam tahun itu masuk setelah menyalim takzim ayah dan ibunya.
"Mas, nanti pulangnya aku mau mampir ke rumah Ibuk, ada yang mau aku omongin," pamit Nahla cukup sibuk. Tentu saja membahas acara resepsi yang sebentar lagi akan digelar.
"Aku udah booking gedung, catering, dan semuanya. Dijadiin satu saja, nanti undangan keluarga kamu sama keluarga aku sama. Jadi, kamu nggak usah ikut mikirin apa-apa lagi."
"Mas udah bilang sama bapak dan ibuk?"
"Belum, nanti sekalian juga nggak pa-pa. Pulang sekolah aku jemput, sekalian fitting baju pengantin." Rupanya Hanan telah menyiapkan semua keperluan resepsi. Sadar semuanya sedikit dadakan, pria itu tidak ingin membuat repot istri dan mertuanya.
"Owh ... gitu ya Mas," jawab Nahla sedikit bingung. Undangan sedang dicetak dan sepertinya perempuan itu harus segera mengabari kalau semua tamu dijadikan satu.
"Aku turun ya, hati-hati pulangnya!" pamit Nahla menyalim suaminya dengan sopan. Berlalu dengan tatapan sayu pria itu yang nampak tidak bersemangat menjalani hidup.
Pulang sekolah, Nahla langsung bertolak ke kediaman ibunya. Selain rindu, perempuan itu juga ingin mengatakan banyak hal tentang resepsi nantinya. Tak berselang lama, Hanan menghampiri ke rumah, pria itu bersilang jalan dengan Nahla yang menghampiri ke sekolahan.
"Maaf Mas, tadi aku udah kirim pesan, tapi kayaknya kamu nggak baca," sesal perempuan itu melihat suaminya menyusulnya.
"Iya, nggak pa-pa, yang penting sudah ketemu." Gegara kepala pening, pria itu gagal fokus seharian ini.
"Langsung pulang ya?"
"Kok buru-buru, baru juga sampai. Katanya mau ngomong sama bapak."
"Udah, tadi nemuin di toko, biar makin jelas. Sama ibuk juga sudah aku kabari, jadi nanti tidak usah terlalu repot."
Sebenarnya Nahla masih betah berlama-lama di rumahnya. Namun, pria itu yang sudah tidak betah meminta pulang. Terlihat gelisah dan tidak tenang.
"Besok bisa datang lagi, ayo pulang!" ajak pria itu setelah pamit dengan ibu dan nitip salam untuk bapak.
Hanan langsung membawa istrinya pulang, tetapi bukan langsung ke rumah. Melainkan, ke suatu tempat yang membuat kening Nahla mengeryit bingung.
"Mas, kita mau ke mana?" tanya Nahla kebingungan saat suaminya membawa ke sebuah hotel.