(Siapkan kanebo kering untuk menyeka air mata juga mental yang kuat untuk marah-marah!)
Sheila, seorang gadis culun harus rela dinikahi secara diam-diam oleh seorang dokter yang merupakan tunangan mendiang kakaknya.
Penampilannya yang culun dan kampungan membuatnya mendapat pembullyan dari orang-orang di sekitarnya, sehingga menimbulkan kebencian di hatinya.
Hingga suatu hari, Sheila si gadis culun kembali untuk membalas orang-orang yang telah menyakitinya di masa lalu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kolom langit, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perkenalan Dengan Pak Arman
Pak Arman mendekat pada Sheila. Laki-laki paruh baya itu tersenyum sambil mengusap dengan lembut kepala gadis itu, membuat Sheila menunduk malu.
"Siapa namamu, Nak?" tanya Pak Arman.
"She-Sheila, Pak!" jawabnya Sheila takut-takut, tidak berani menatap sosok lelaki paruh baya yang kelihatannya sangat galak itu.
"Jangan takut. Aku adalah wakil pemilik rumah sakit ini. Kalau anak perempuan tadi mengganggumu, kau boleh memberitahuku. Aku yang akan menegurnya."
Sheila memberanikan diri mendongakkan kepala, menatap wajah Pak Arman yang sedang tersenyum ramah ke arahnya.
Siapa bapak ini? Apa jabatannya lebih tinggi dari ibunya Maya? Tadi Maya langsung ketakutan saat bapak ini memarahinya. batin Sheila
"Terima kasih, Pak. Tapi tidak apa-apa. Aku tidak mau membuat masalah. Apalagi ibunya Maya adalah kepala rumah sakit ini. Kalau aku..." Sheila menggantung ucapannya, tidak berani melanjutkan. mengingat posisi Marchel sebagai salah satu dokter yang bekerja di rumah sakit itu-- yang mungkin akan kena masalah jika dirinya macam-macam dengan Maya.
Menyadari Sheila yang sepertinya sedang risau memikirkan sesuatu, Pak Arman pun berusaha menenangkan gadis itu. "Tidak apa-apa... Jangan khawatir. Kalau aku sudah menegurnya, dia tidak akan berani macam-macam. Oh, ya... Kau sedang apa duduk sendirian di sini?"
"Aku sedang menunggu Dokter Marchel."
"Dokter Marchel?" tanya Pak Arman diikuti anggukan oleh Sheila. Lelaki paruh baya itu kemudian meneliti wajah Sheila, lalu begitu terkejut ketika melihat kening gadis kecil itu terbalut plester obat. Tiba-tiba raut wajah kekhawatiran tergambar di wajahnya.
"Keningmu kenapa?"
Sheila meraba kain kasa yang membalut keningnya, lalu kemudian menggeleng pelan.
"Tidak apa-apa, Pak. Tadi hanya terbentur di sekolah. Dokter Marchel sudah mengobatinya."
"Syukurlah." Pak Arman kemudian mengajak Sheila duduk di kursi taman itu. "Kau sekolah di SMA Pelita Harapan, ya?"
"Iya, kelas tiga..."
"Apa kau punya banyak teman di sekolahmu?" Pak Arman terlihat begitu santai mengobrol dengan Sheila.
"Tidak, aku hanya punya satu teman bernama Rayhan. Di sekolah tidak ada yang mau berteman denganku," jawab Sheila dengan polosnya. Raut wajah Pak Arman pun terlihat berubah sedih mendengar jawaban Sheila. .
"Kenapa?"
"Seharusnya aku tidak sekolah di sana. Mendiang kakak memaksaku masuk ke sana. Di sekolah itu hanya ada anak-anak orang kaya dan mereka semua punya kehidupan yang keren. Makanya tidak ada yang mau berteman denganku." Tanpa rasa malu, Sheila menjawab semua pertanyaan Pak Arman.
"Kalau begitu, ayo kita berteman! Aku akan menjadi teman baikmu?" Pak Arman mengangkat jari kelingkingnya. Dan untuk pertama kalinya, Sheila merasa tidak malu bicara dengan seseorang yang baru di kenalnya. Sheila pun segera menautkan jari kelingkingnya dengan Pak Arman.
"Aku sangat senang bisa berkenalan denganmu hari ini," ucap Pak Arman.
"Aku juga. Ngomong-ngomong... Apa jabatan Bapak lebih tinggi dari ibunya Maya? Tadi aku lihat Maya sangat ketakutan."
Pak Arman tertawa kecil. Bicara dengan gadis sepolos Sheila rupanya sangat menyenangkan. "Kalau aku mau, aku bisa memecatnya sekarang juga."
GLEK!
Sheila membeku, susah payah menelan salivanya.
Kenapa aku seberani ini bicara dengan bapak ini. Berarti jabatannya lebih tinggi dari ibunya Maya. Apalagi Kak Marchel. batin Sheila.
"Kenapa?" tanya Pak Arman membuyarkan lamunan Sheila.
"Hehe, tidak apa-apa," jawabnya sambil menunduk malu.
Tidak lama kemudian, Marchel datang setelah memenuhi kewajibannya pada pasien.
"Sheila, maaf membuatmu menunggu..." Terdengar suara Marchel memanggil, namun sang dokter segera terdiam ketika melihat Sheila sedang bersama Pak Arman. "Pak Arman..." Marchel menundukkan kepalanya tanda hormat.
"Ah, Dokter Marchel... Lama tidak bertemu. Aku sedang berbincang-bincang dengan nona kecil ini."
Marchel melirik Sheila sekilas, lalu kembali menunjukkan senyum tipisnya pada Pak Arman.
Pak Arman kemudian berdiri dari duduknya, "Baiklah... Aku harus pergi. Sampai jumpa Nona Kecil." Pak Arman kembali mengusap puncak kepala Sheila, membuat Marchel keheranan.
Sheila hanya terdiam, lalu menatap punggung Lelaki paruh baya itu yang telah menjauh dari mereka.
***
"Tadi kau dan Pak Arman bicara apa?" tanya Marchel seraya memasang sabuk pengaman ke tubuh Sheila.
Posisi keduanya yang sangat dekat membuat Sheila tak sanggup menjawab pertanyaan Marchel. Ia terhanyut menatap wajah tampan suaminya itu. Hingga tatapan keduanya saling bertemu. Menatap Sheila dari jarak yang begitu dekat membuat Marchel begitu terpaku. Tangannya terulur, melepas kaca mata yang melekat di sana, Ialu mendekatkan wajahnya hingga tersisa jarak beberapa centi saja, lalu berbisik, "Kau sangat manis tanpa kacamata." Marchel semakin mendekatkan wajahnya, dan menempelkan bibirnya pada bibir ranum Sheila.
Sedangkan Sheila, setiap kali Marchel menghadiahinya ciuman, ia hanya dapat memejamkan mata. Seolah jantungnya akan melompat keluar. Selama beberapa saat, Marchel seakan lupa bahwa mereka sedang berada di tempat umum. Dan, tanpa disadari oleh mereka, Maya melihat adegan sepasang suami istri itu dari jarak yang cukup dekat. Gadis itu menjatuhkan buku di genggamannya saking terkejutnya.
"Itu kan Sheila dan Dokter Marchel. Mereka berciuman di dalam mobil. Ada hubungan apa di antara mereka?" gumam Maya. Cepat-cepat ia bersembunyi di balik sebuah pilar saat adegan mesra itu terhenti, lalu mengintip dari sana.
Wajah Sheila pun merona merah, membuat Marchel gemas dan mengacak rambutnya. Laki-laki itu merasa tingkah istrinya sangat menggemaskan.
"Kau belum menjawab pertanyaanku," ucap Marchel mencoba mencairkan suasana kaku yang tiba-tiba hadir di antara mereka.
"Ya-yang mana?"
"Tadi kau dan Pak Arman bicara apa?" Marchel mengulang pertanyaan nya lagi.
"Tidak banyak, Kak. Memangnya siapa Om tadi?" tanya Sheila dengan sisa-sisa perasaan malunya.
Marchel menyalakan mesin mobil dan mulai melajukannya. "Dia adalah pengelola Darmawan Group, sekaligus orang kepercayaan Tuan Surya Darmawan. Apa dia tidak bicara dengan keras denganmu? Dia adalah orang yang sangat tegas dan kadang mudah marah. Di rumah sakit, tidak ada yang berani mengangkat kepala di depannya."
Glek!
Sheila kembali menelan salivanya dengan susah payah, memikirkan ucapan Marchel tentang Pak Arman yang katanya sangat galak itu.
"Apa dia segalak itu? Tapi tadi dia sangat baik padaku. Bicaranya juga lembut." Marchel mengerutkan alisnya, seakan tak percaya jika orang seperti Pak Arman berbicara dengan lembut pada seseorang.
"Benarkah?"
Sheila menganggukkan kepalanya pelan, "Tapi tadi dia sempat memarahi Maya."
"Maya?" Marchel semakin mengerutkan alisnya, mencoba mengingat nama yang tidak asing di telinganya itu. "Siapa Maya?"
"Maya itu satu sekolah denganku. Aku baru tahu tadi kalau dia adalah anak kepala rumah sakit tempat Kak Marchel bekerja. Dan ayahnya adalah kepala sekolahku."
"Oh, aku ingat! Jadi namanya Maya ya..." Marchel terlihat kesal mengingat saat dimana Maya mendorong Sheila di aula sekolah saat ada pemeriksaan kesehatan.
Berselang dua puluh menit, Marchel dan Sheila tiba di rumah. Baru saja pasangan suami istri beda usia itu melangkah masuk ke dalam, tatapan tajam mengintimidasi dari ibu sudah terarah pada Sheila. Namun, Marchel seakan tidak memberi ibu celah untuk menjangkau istrinya.
"Selamat sore, Bu..." ucap Marchel seraya melingkarkan tangannya di bahu Sheila. Sejenak, ibu mengalihkan pandangannya dari tv, lalu menatap anak dan menantunya itu.
Namun, pemandangan yang tidak mengenakkan baginya terjadi. Saking kesalnya melihat adegan yang seakan membuat darahnya mendidih itu, Ibu tidak menjawab sapaan Marchel, sehingga membuat Sheila tidak enak sendiri. Gadis itu hanya dapat menundukkan kepalanya. Menyadari situasi yang tidak mengenakkan bagi sang istri, Marchel kemudian membelai rambut Sheila dengan sayang. "Ayo, kita ke kamar saja."
Ibu menghela napas panjang, menatap kepergian Marchel dan Sheila dengan ekor matanya. Meletakkan majalah yang berada di pangkuannya dengan kesal.
***
Di kamar, Sheila baru saja selesai berganti pakaian, sementara Marchel masih di kamar mandi. Tidak lama kemudian, Marchel keluar dari kamar mandi dengan lilitan handuk di pinggang.
"Sheila, tolong ambilkan pakaianku di lemari!" ucap Marchel seraya mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil. Sheila segera menuju lemari dan memilihkan pakaian untuk suaminya itu.
"Yang mana, Kak?" tanya Sheila bingung, melihat isi lemari Marchel.
"Yang mana saja. Baju kaos dan celana pendek."
Dengan segera, Sheila mengambil baju kaos dan celana pendek milik Marchel, bersamaan dengan ketukan pintu yang terdengar cukup keras. Sheila kemudian memberikan pakaian pada Marchel, lalu membuka pintu kamar. Tampak ibu berdiri di ambang pintu, membuat Sheila seketika menunduk takut.
"Dimana Marchel?" tanya ibu dengan nada sejudes mungkin.
"Ada apa, Bu?" Marchel muncul masih dengan lilitan handuk di pinggang.
"Marchel, bisakah kau jemput Audry? Dia sedang ke salon langganannya. Ini sudah malam dan ibu khawatir jika dia pulang sendiri. Kau tahu kan, gadis cantik itu bahaya kalau pulang malam-malam." Ibu dengan sengaja menekan kata gadis cantik sambil melirik tajam pada Sheila, seakan bermaksud menghina Sheila yang baginya hanya gadis kampungan.
Marchel menghela napas panjang, kemudian masuk kembali ke dalam dan memakai baju kaosnya. "Kalau sudah tahu berbahaya pulang malam-malam, kenapa dia keluar rumah sampai lupa waktu. Itu salahnya sendiri."
"Dia hanya ke salon, Marchel. Bukan keluyuran tidak jelas." Lagi-lagi ibu bermaksud menyindir Sheila yang beberapa hari lalu pulang malam dengan diantar Rayhan.
"Mau ke salon atau kemana pun, itu bukan urusanku, Bu! Dia bukan tanggung jawabku. Maaf, aku tidak mau menjemputnya. Suruh saja naik taksi online," jawab Marchel membuat ibu semakin kesal.
Sheila yang berdiri di dekat pintu hanya dapat menundukkan kepalanya, seakan tatapan tajam ibu mampu membelah tubuhnya menjadi dua bagian.
"Tapi Marchel..."
"Bu..." ucap Marchel memotong pembicaraan ibu. "Aku sudah bilang aku tidak mau. Di rumah ini ada sopir. Minta saja sopir menjemputnya."
Ibu memejamkan matanya kasar, sudah mulai kehabisan akal. Entah harus dengan cara apa lagi untuk dapat mendekatkan Marchel dan Audry, serta menjauhkan Sheila dari Marchel yang baginya tidak layak.
Dengan menahan rasa kesalnya, ibu meninggalkan kamar itu, menuju lantai bawah. Sheila kembali menutup pintu setelah memastikan ibu mertuanya sudah turun ke bawah.
**"
Bersambung
Resiko emak berdaster gabut hobi rebahan sambil baca novel...
ulang" trus novel yg favorit tp gak prnah bosan😁😁
blm bisa move on kk 🤭🤣🤣🤣🤣
nihh kudu balik baca lg 😁😁
/Ok//Good/
/Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm/