Di tengah gemuruh ombak kota kecil Cilacap, enam anak muda yang terikat oleh kecintaan mereka pada musik membentuk Dolphin Band sebuah grup yang lahir dari persahabatan dan semangat pantang menyerah. Ayya, Tiara, Puji, Damas, Iqbal, dan Ferdy, tidak hanya mengejar kemenangan, tetapi juga impian untuk menciptakan karya yang menyentuh hati. Terinspirasi oleh kecerdasan dan keceriaan lumba-lumba, mereka bertekad menaklukkan tantangan dengan nada-nada penuh makna. Inilah perjalanan mereka, sebuah kisah tentang musik, persahabatan, dan perjuangan tak kenal lelah untuk mewujudkan mimpi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon F3rdy 25, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MELODI DITENGAH GELOMBANG
Malam itu, mereka tidak hanya memutuskan untuk menolak tawaran besar, tetapi juga memutuskan untuk tetap setia pada diri mereka sendiri. Mereka tahu bahwa perjalanan mereka masih panjang, dan banyak rintangan yang akan menghadang, tapi mereka siap untuk menghadapi semuanya, bersama-sama.
Dengan langit Jakarta sebagai saksi, mereka melangkah menuju masa depan dengan kepala tegak, membawa semangat yang tak pernah padam dan keyakinan bahwa apapun yang terjadi, mereka akan tetap menjadi diri mereka sendiri.
Pagi di Jakarta datang dengan sinar matahari yang menusuk melalui tirai jendela, tapi di kamar Ferdy, sinar itu seakan tertahan di ambang batas. Udara pengap di dalam kamar hotel tidak membantu menenangkan pikirannya. Ferdy terbangun lebih awal dari biasanya, perasaan tidak nyaman masih menggantung di benaknya setelah pertemuannya dengan Ryan.
Saat dia bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju jendela, pemandangan kota Jakarta yang luas terbentang di depannya terasa menekan. Jalanan sibuk, orang-orang bergerak cepat menuju tujuan masing-masing, tapi Ferdy merasa terjebak, seolah berada di persimpangan yang tak kunjung menawarkan arah yang jelas.
Ketukan pelan di pintu menyadarkannya. Pintu terbuka sedikit, dan Ayya mengintip ke dalam.
"Udah bangun?" tanya Ayya, suaranya lembut, tetapi ada kekhawatiran yang jelas terlihat di matanya.
Ferdy mengangguk, menarik napas panjang sebelum menjawab. "Udah. Cuma masih belum bisa tidur nyenyak. Banyak yang kepikiran."
Ayya masuk ke dalam kamar, menutup pintu di belakangnya. "Aku bisa ngerti. Gue juga nggak bisa berhenti mikirin soal tawaran Ryan itu," ujarnya sambil duduk di tepi ranjang Ferdy. "Tapi apa lo yakin ini masalah besar banget? Mungkin ini cuma bagian dari bisnis musik yang emang nggak selalu lurus?"
Ferdy menatap Ayya, berusaha menemukan jawaban di balik pertanyaannya. "Gue ngerti kalo dunia musik itu keras, Ya. Tapi yang bikin gue nggak nyaman itu bukan soal jadi besar atau enggak. Gue takut kita kehilangan kontrol. Gimana kalo kita harus ngikutin apa yang dia mau? Gimana kalo kita harus jadi sesuatu yang bukan diri kita?"
Ayya terdiam sejenak, lalu mengangguk. "Gue paham. Itu risiko yang gede. Tapi gue percaya sama kita. Kita nggak bakal dengan gampang dikendalikan."
Ferdy menghela napas, duduk di sebelah Ayya. "Mungkin lo benar. Tapi gue tetep nggak bisa ngelepasin perasaan nggak enak ini."
Ayya menatap Ferdy dengan serius, matanya menyelidik. "Lo yakin perasaan itu datang karena lo bener-bener takut? Atau karena lo takut gagal?"
Pertanyaan itu membuat Ferdy tertegun. Dia belum pernah memikirkannya dari sudut pandang itu. Apa mungkin rasa takut yang ia rasakan bukan sepenuhnya soal kehilangan kontrol, melainkan ketakutan mendalam akan kegagalan?
Sementara itu, di kamar sebelah, Damas, Iqbal, Puji, dan Tiara sedang berkumpul untuk membahas langkah selanjutnya. Mereka semua merasa ketegangan yang sama seperti Ferdy dan Ayya, meskipun tidak ada yang mengatakan secara langsung. Iqbal, yang biasanya santai, terlihat lebih serius dari biasanya.
"Menurut gue, kita harus tetep fokus ke tujuan awal kita," ujar Iqbal, memecah keheningan. "Tawaran Ryan emang menggiurkan, tapi kita nggak bisa ngelupain kenapa kita mulai band ini dari awal."
Damas mengangguk setuju. "Bener. Gue nggak pengen kita jadi salah satu dari band-band yang kehilangan jati diri mereka cuma karena godaan buat jadi terkenal."
Puji yang duduk di ujung ruangan, mendengarkan dengan saksama. "Tapi, di sisi lain, ini kesempatan besar. Kalo kita nggak ambil sekarang, siapa yang bisa jamin kita bakal dapet kesempatan kayak gini lagi?"
Tiara, yang lebih banyak diam selama diskusi, akhirnya buka suara. "Gue ngerti dua-duanya. Gue ngerti kenapa kita harus hati-hati, tapi gue juga ngerti bahwa dunia musik itu penuh dengan keputusan sulit. Gue cuma nggak mau kita nantinya nyesel karena terlalu takut buat melangkah."
Suasana di ruangan itu menjadi semakin intens. Masing-masing dari mereka membawa kekhawatiran dan harapan sendiri, tapi semuanya berakar dari satu hal: kecintaan mereka pada musik dan keinginan untuk tetap menjadi diri sendiri.
Malam harinya, seluruh anggota Dolfin Band berkumpul di ruang makan hotel, mencoba menyelesaikan diskusi yang belum tuntas. Ferdy yang duduk di ujung meja tampak paling gelisah, namun berusaha untuk tetap memimpin percakapan.
"Gue tau kita semua punya keraguan, dan gue juga ngerti kalo ada ketakutan buat kehilangan jati diri kita," kata Ferdy memulai, suaranya lebih tegas dari biasanya. "Tapi ada satu hal yang lebih penting buat gue sekarang. Gue nggak mau kita ngambil keputusan karena kita takut."
Damas menatap Ferdy dengan penuh perhatian. "Lo bener, Fer. Tapi kita juga nggak bisa pura-pura kalo kita nggak punya kekhawatiran. Ryan bukan orang sembarangan, dan tawarannya nggak dateng tiap hari."
Iqbal, yang biasanya lebih tenang, angkat bicara. "Gue setuju. Tapi, gue juga nggak pengen kita jadi band yang cuma ngejar popularitas tanpa punya kontrol atas karya kita sendiri."
Suasana di meja semakin tegang. Semua orang tahu bahwa keputusan ini tidak bisa diambil dengan sembarangan, tapi waktu terus berjalan dan mereka harus segera menentukan langkah mereka.
Ayya, yang duduk di sebelah Ferdy, menatap semua orang satu per satu sebelum akhirnya berbicara. "Kita udah bareng-bareng sampai sini. Gue percaya kalo apapun yang kita pilih nanti, itu harus jadi keputusan kita semua. Kalo ada satu orang aja yang nggak yakin, kita nggak bakal ambil jalan itu."
Kata-kata Ayya membuat suasana sedikit lebih tenang. Mereka semua tahu bahwa apapun yang terjadi, mereka akan tetap bersama, dan itu yang paling penting.
Setelah beberapa saat hening, Ferdy menarik napas panjang dan berkata, "Gue setuju. Ini keputusan kita bareng-bareng. Kita harus siap dengan konsekuensinya, apapun itu."
Hari berikutnya, mereka bertemu kembali dengan Ryan. Suasana di ruang pertemuan terasa lebih tegang dari sebelumnya. Ryan, dengan senyuman tipis yang biasa, menatap mereka seolah tahu bahwa keputusan besar akan segera diambil.
"Jadi, apa keputusan kalian?" tanya Ryan dengan nada tenang namun menekan.
Ferdy menatap semua anggota bandnya sebelum akhirnya menjawab. "Kita nggak bakal ambil tawaran lo, Ryan."
Ryan mengerutkan kening, tidak menyangka mendengar jawaban itu. "Kenapa? Ini kesempatan besar buat kalian."
"Gue ngerti itu," jawab Ferdy, suaranya tegas. "Tapi kami lebih peduli sama apa yang kami perjuangkan. Kami nggak mau kehilangan kendali atas band ini. Kami nggak mau jadi sesuatu yang bukan diri kami."
Ryan terdiam sejenak, lalu tersenyum samar. "Gue respek sama keputusan kalian. Gue bisa liat kalo kalian emang punya prinsip yang kuat. Tapi kalian juga harus tau, keputusan ini bakal punya konsekuensi."
"Kami siap," jawab Ayya dengan tenang.
Ryan mengangguk, seolah mengakui keberanian mereka. "Baiklah. Gue harap kalian sukses dengan jalan yang kalian pilih. Tapi inget, dunia musik nggak selalu ramah buat orang-orang yang terlalu idealis."
Setelah pertemuan itu selesai, mereka keluar dari ruang pertemuan dengan perasaan lega, namun juga ada ketidakpastian yang masih menggantung. Mereka tahu bahwa mereka telah memilih jalan yang lebih sulit, tetapi mereka juga tahu bahwa itu adalah jalan yang benar bagi mereka.
Malam itu, mereka duduk di rooftop hotel, memandangi langit malam Jakarta yang gelap namun penuh dengan cahaya kota. Suara lalu lintas terdengar samar di kejauhan, tapi di atas sini, mereka merasa jauh dari hiruk-pikuk kehidupan kota.
"Apa kalian yakin dengan keputusan ini?" tanya Iqbal, suaranya terdengar pelan namun penuh arti.
Ferdy menatap langit sebelum menjawab. "Gue yakin. Mungkin kita bakal menghadapi banyak tantangan ke depan, tapi gue nggak nyesel."
Ayya, yang duduk di sebelah Ferdy, mengangguk setuju. "Ini jalan kita. Kita nggak perlu jadi orang lain buat sukses."
Damas tersenyum tipis. "Bener. Lagipula, siapa bilang kita nggak bisa sukses dengan jadi diri kita sendiri?"
Mereka semua tertawa kecil, merasakan perasaan lega yang perlahan menggantikan kegelisahan yang sempat menghantui mereka.
Malam itu, mereka tidak hanya memutuskan untuk menolak tawaran besar, tetapi juga memutuskan untuk tetap setia pada diri mereka sendiri. Mereka tahu bahwa perjalanan mereka masih panjang, dan banyak rintangan yang akan menghadang, tapi mereka siap untuk menghadapi semuanya, bersama-sama.
Dengan langit Jakarta sebagai saksi, mereka melangkah menuju masa depan dengan kepala tegak, membawa semangat yang tak pernah padam dan keyakinan bahwa apapun yang terjadi, mereka akan tetap menjadi diri mereka sendiri..
Pagi itu, suasana di rumah Iqbal terasa berbeda. Aroma kopi yang mengepul dan bau roti panggang yang hangat memenuhi ruangan. Semua orang berkumpul di meja makan, merayakan kebersamaan yang telah lama terjalin. Sejak pertemuan dengan Ryan, mereka bertekad untuk lebih memperkuat ikatan satu sama lain dan membangun kembali semangat yang sempat goyah.
Ayya, dengan senyum cerahnya, menyajikan makanan sambil bercerita tentang idenya untuk lagu baru. "Gue mikir, kita bisa bikin lagu yang merefleksikan semua perjalanan yang udah kita lalui. Tentang ketegangan, ketakutan, dan keberanian untuk jadi diri sendiri."
Ferdy yang duduk di sampingnya menyenggol tangan Ayya, "Wah, itu ide yang bagus! Kita butuh lagu yang menggugah semangat, apalagi menjelang festival."
Damas yang duduk di ujung meja ikut menambahkan, "Kita bisa campur gaya rock dengan unsur-unsur tradisional, misalnya alat musik daerah atau melodi yang terinspirasi dari budaya kita."
Tiara, yang tampaknya sedang fokus menikmati sarapannya, tiba-tiba berkomentar, "Tapi jangan sampai melupakan elemen utama kita, yaitu energi. Kita butuh sesuatu yang bisa bikin orang bergerak dan terinspirasi."
Iqbal, yang selama ini menjadi pendengar setia, akhirnya angkat bicara. "Gue setuju sama semua ide ini. Tapi jangan lupa, kita juga butuh lirik yang bisa menyentuh hati orang. Jangan hanya sekadar buat enak didengar."
Mereka semua terdiam sejenak, merenungkan kata-kata Iqbal. Ya, lirik yang menyentuh adalah bagian penting dari sebuah lagu. Setiap kata harus bisa menggugah emosi dan menjalin koneksi dengan pendengar.
Setelah sarapan, mereka bergegas menuju studio untuk mulai berlatih. Begitu sampai di sana, suasana di studio terasa lebih hidup. Mereka membawa semua alat musik dan perangkat yang diperlukan, siap untuk menciptakan sesuatu yang baru.
Puji, yang selama ini memegang gitar melodi, mulai memainkan beberapa chord sederhana. "Gimana kalau kita mulai dari sini?" tanyanya, menekan senar dengan lembut.
Damas mengikuti dengan memainkan rhythm yang lebih energik. "Coba deh, kita tambahin sedikit kecepatan. Biar lebih asik."
Ferdy dan Ayya saling pandang, seolah bertanya dalam hati: "Ini dia saatnya."
Ferdy, dengan keyboard di tangannya, mulai menambahkan nada-nada pelengkap yang membangun suasana. Sementara Ayya bersiap dengan vokalnya, meresapi melodi yang terbentuk.
"1, 2, 3!" seru Ayya dan mereka mulai bermain bersama.
Suara musik mengalun penuh semangat, menyatu menjadi harmoni yang menggugah. Setiap anggota Dolfin Band berkontribusi dengan cara mereka masing-masing, menciptakan melodi yang tak hanya enak didengar, tetapi juga penuh makna.
Mereka berlatih selama berjam-jam, sampai tangan mereka terasa pegal dan suara mulai serak. Tetapi tak ada satu pun dari mereka yang keberatan. Semangat mereka tak terbendung, dan kegembiraan karena bisa menciptakan sesuatu yang baru membuat mereka melupakan semua rasa lelah.
Ketika sore menjelang, mereka berhenti sejenak untuk beristirahat. Tiara dan Iqbal mengeluarkan minuman dingin dari cooler, dan semua duduk bersantai di ruang tunggu.
"Apa kita udah nemu liriknya?" tanya Puji, sambil mengelap keringat di dahi.
Ayya menggeleng. "Belum. Tapi kita harus cari lirik yang bisa nyambung dengan melodi ini. Gue pengen lirik yang kuat, bisa bikin orang merasakan perjuangan kita."
Damas tersenyum, "Gimana kalau kita mulai dari pengalaman kita selama ini? Setiap langkah, setiap keputusan yang bikin kita ada di sini sekarang."
"Itu ide yang bagus!" seru Iqbal. "Kita bisa nulis tentang ketakutan kita, tentang keberanian untuk menghadapi risiko, dan tentang persahabatan yang menguatkan."
Mereka mulai berdiskusi dengan semangat, mencoba menggali kembali kenangan dan pengalaman yang telah membentuk diri mereka. Cerita demi cerita mengalir, menciptakan kerinduan dan tawa yang mewarnai suasana.
Hari-hari berlalu dengan cepat, dan di tengah kesibukan mereka menciptakan lagu baru, festival Rock Island semakin dekat. Semangat dan antusiasme mereka semakin tinggi.
saya Pocipan ingin mengajak kaka untuk bergabung di Gc Bcm
di sini kita adakan Event dan juga belajar bersama dengan mentor senior.
jika kaka bersedia untuk bergabung
wajib follow saya lebih dulu untuk saya undang langsung. Terima Kasih.