Tujuh ratus tahun telah berlalu, sejak Azkan ditugaskan menjaga Pulau Asa, tempat jiwa-jiwa yang menyerah pada hidup, diberi kesempatan kedua. Sesuai titah Sang Dewa, akan datang seorang 'Perempuan 'Pilihan' tiap seratus tahun untuk mendampingi dan membantunya.
'Perempuan Pilihan' ke-8 yang datang, membuat Azkan jatuh cinta untuk pertama kalinya, membuatnya mencintai begitu dalam, lalu mendorongnya masuk kembali ke masa lalu yang belum selesai. Azkan harus menyelesaikan masa lalunya. Namun itu berarti, dia harus melepaskan cinta seumur hidupnya. Bagaimana mungkin dia bisa mencintai seseorang yang di dalam tubuhnya mengalir darah musuhnya? Orang yang menyebabkannya ada di Pulau Asa, terikat dalam tugas dan kehidupan tanpa akhir yang kini ingin sekali dia akhiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BERNADETH SIA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
AYAH LAINA
Tidak seperti biasanya, dugaan Azkan bahwa dia akan memasuki masa lalu seseorang, misalnya ibu Laina, ternyata salah besar. Kali ini, Azkan masuk ke dunia manusia yang masih hidup. Azkan muncul di sebuah rumah, di masa modern, dengan dekorasi rumah yang didominasi warna putih dan coklat kayu. Sebagian besar perabotannya juga terbuat dari kayu. Beberapa pot tanaman hijau ditata di dalam rumah, dan cahaya matahari bisa masuk dengan bebas dari salah satu dinding kaca yang terbuka lebar. Azkan berdiri di tengah ruang keluarga. Sinar matahari yang menyilaukan matanya, berasal dari dinding di sisi kiri ruang keluarga yang juga menampilkan pemandangan gedung-gedung di luar. Azkan menyadari kalau dia berada di bangunan yang tinggi. Ternyata manusia sekarang tinggal di tempat setinggi ini ya? Kenapa mereka suka sekali pada bangunan yang sangat tinggi? Semua gedung di sekitar sini, terlihat sangat tinggi. Apa semua itu juga tempat tinggal? Jadi di dalam satu gedung, ada berapa banyak orang yang bisa tinggal? Wah, berapa banyak penduduk di tempat ini?
Rasa penasaran Azkan terhenti oleh kedatangan seorang pria ke ruang keluarga tempatnya berdiri. Azkan memperhatikan pria yang berjalan keluar dari salah satu ruangan di sisi lain ruang keluarga kemudian melewatinya begitu saja. Azkan tak bisa menahan isi pikirannya yang langsung bersuara dengan lantang. Laina! Pria itu, benar-benar mirip dengan Laina. Rambut hitam yang tebal, mata biru, kulit putih, bentuk mata, bentuk bibir, hingga bagaimana ekspresi wajah yang ditunjukkan pria tersebut. Semuanya benar-benar mirip. Siapa pun yang melihatnya, pasti akan langsung mengetahui kalau mereka berdua adalah ayah dan anak.
Jadi bukan ayahku? Azkan berusaha mencari bukti lainnya. Pasti ada sesuatu yang bisa membuktikan dugaannya. Selain kemiripan mereka. Sesuatu. Dia harus menemukan sesuatu. Azkan mengabaikan kehadiran pemilik rumah yang dia datangi dan memasuki setiap ruangan, mencari apapun yang menarik perhatiannya.
Seperti sedang mengamati perbuatan Azkan, pria yang mirip Laina tersebut, mengikuti Azkan masuk ke dalam ruang kerjanya. Dia berjalan melewati Azkan yang kaget karena pria itu ikut masuk. Dengan langkah tanpa suara, pria tersebut menuju meja kerjanya, menarik laci paling atas, lalu mengeluarkan setumpuk berkas yang sudah usang. Terlihat jelas sudah berapa kali pria itu membaca berkas tersebut berulang-ulang. Azkan berdiri di belakang pria tersebut, ikut membaca berkas yang dibacanya entah untuk yang keberapa kali.
Itu adalah laporan penyelidikan tentang pencarian orang hilang. Pria itu telah mencari seorang anak perempuan selama bertahun-tahun. Azkan memiringkan kepalanya ketika berkas yang dibacanya menunjukkan foto seorang perempuan yang memiliki sedikit kemiripan dengan Laina muncul. Mungkinkah ini ibu Laina? Orang yang meninggalkan Laina di panti asuhan karena lebih memilih pacar-pacarnya itu? Kemarahan Azkan pada perempuan itu muncul begitu saja.
Dengan rasa marahnya, Azkan meninggalkan sosok yang mungkin ayah Laina, dan berpindah pada masa lalu perempuan di dalam berkas tersebut. Azkan berada di sebuah bar dengan pencahayaan yang kurang tapi dipenuhi oleh orang yang berlalu lalang. Meski sosoknya tak akan terlihat dan tidak bisa bertabrakan dengan siapa pun yang sekarang ada di sekitarnya, Azkan tetap saja berusaha menghindar sebisa mungkin dari orang-orang yang berlalu-lalang di sekitarnya. Dia tidak ingin tiba-tiba terlempar pada masa lalu orang lain yang tidak ada hubungannya dengan pencariannya sekarang. Kadang, bisa terjadi, ketika emosi dan perasaan seseorang yang dia temui di masa lalu terlalu kuat dan bersentuhan dengannya, Azkan jadi terlempar ke masa lalu orang tersebut. Karena sudah menjadi tugasnya sebagai Sang Penjaga dan Pemulih jiwa-jiwa yang terluka, Azkan bisa tertarik pada masa lalu orang yang jiwanya terluka ketika sedang memasuki masa lalu seseorang.
Di sudut meja bar yang paling gelap, Azkan bisa mengenali sosok perempuan yang dilihatnya tadi. Ibu Laina. Dia sedang duduk sendirian dalam keadaan mabuk dan meracau. Terdengar oleh Azkan, ocehannya tentang seorang pria yang meninggalkannya begitu saja tanpa kabar. Azkan berdiri beberapa langkah dari ibu Laina, menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. Saat itulah pria yang tadi dilihatnya di dunia manusia yang masih hidup, muncul. Pria itu, dengan rasa penasaran dan khawatir, menghampiri ibu Laina dan bertanya padanya, apakah dia baik-baik saja. Pria itu juga menawarkan bantuan untuk memesan taksi pulang. Tetapi respon dari ibu Laina tidak sesuai dengan tawaran bantuan yang diberikan. Ibu Laina langsung memeluk erat pria itu ketika melihatnya.
“Akhirnya kau kembali! Kenapa kau pergi begitu saja? Kemana saja kau seminggu ini? Aku sangat merindukanmu. Aku sungguh-sungguh mencintaimu. Aku ingin menghabiskan seluruh hidupku bersamamu. Jangan tinggalkan aku lagi. Aku telah jatuh cinta padamu. Aku tidak bisa hidup tanpamu.” Ibu Laina menangis tersedu-sedu sambil memeluk pria yang kebingungan.
“Aku sangat menyukai mata birumu ini,” Ibu Laina meraih wajah pria tersebut lalu menciumnya. Kejadian berikutnya, tak ingin dilihat Azkan hingga akhir. Ibu Laina memaksa pria itu untuk ikut masuk ke apartemennya. Dengan semua godaan dan rayuannya, Ibu Laina menahan pria itu sepanjang malam.
Azkan bisa melihat kalau itu adalah sebuah kesalahan satu malam. Namun sebuah benih jiwa yang suci, muncul dari kejadian tersebut. Keesokan paginya, ibu Laina terkejut dan marah pada pria yang ditariknya masuk ke dalam apartemen semalam. Meski pria itu berusaha menjelaskan kejadian sebenarnya seperti apa, ibu Laina tidak mau mendengarnya dan langsung mengusirnya. “Anggap saja aku terlalu mabuk dan semalam adalah sebuah kesalahan. Mari kita jangan sampai bertemu lagi.” Seperti itulah ibu Laina mengusir pria yang tadi ditemui Azkan.
Kejadian-kejadian yang kemudian dilihat Azkan menunjukkan bahwa sebenarnya pria itu, sudah memperhatikan ibu Laina sejak beberapa waktu sebelumnya dan menyukainya. Jadi baginya, kejadian malam itu, bukanlah sebuah kesalahan. Dikiranya, lewat kejadian tersebut, dia akan mendapat kesempatan untuk berhubungan dengan perempuan yang dia sukai. Namun ternyata, hasilnya justru sebaliknya. Bahkan meski dia tahu ibu Laina mengandung dan ingin bertanggung jawab, ibu Laina menolak dengan tegas. Ibu Laina tak mau mengakui kalau bayi dalam kandungannya, bukan anak dari ayah Azkan. Ibu Laina terus menanamkan dalam dirinya, bahwa dia sedang mengandung anak dari pria yang dia cintai, bukan dari pria yang salah dia kenali karena matanya sama-sama biru.
Usaha pria itu untuk menemui Laina setelah lahir juga sia-sia karena ibunya selalu membawa Laina berpindah-pindah tempat, tergantung dimana pacarnya tinggal. Hingga ketika Laina berusia empat tahun, dia ditinggalkan di panti asuhan. Pacar-pacar ibunya, tak ada yang suka kalau dalam hubungan mereka ada seorang anak kecil yang harus dirawat. Ibu Laina, tentu saja lebih memilih tinggal bersama pacarnya daripada berjuang membesarkan seorang anak sebagai ibu tunggal.
Azkan kembali ke rumah ayah Laina. Sekarang dia sudah yakin kalau pria itu benar-benar ayah Laina. Tetapi kesedihan juga mengisi hati Azkan. Karena pencarian ayah Laina, tidak akan pernah membuahkan hasil yang baik. Sekarang, Laina ada di Pulau Asa. Itu artinya, Laina tak lagi ada di dunia manusia yang masih hidup. Bagi ayah Laina, Laina sudah meninggal. Ayah Laina tak punya kesempatan untuk melihat sosok anaknya yang tumbuh menjadi seorang perempuan mempesona. Azkan merasa bersalah karena kelegaan juga memenuhi dirinya di tengah kenyataan menyedihkan yang dia lihat.
Di meja kerja ayah Laina, ada sebuah foto yang dibingkai indah. Di foto itu, tampak seorang bayi perempuan yang sedang tertidur lelap. “Kapan ayah bisa bertemu denganmu, nak?” harapan pilu terdengar dari mulut ayah Laina yang belum mengetahui fakta tentang meninggalnya Laina. Juga kesalahpahaman Laina mengenai sosok ayahnya yang sebenarnya.