MANTAN. Apa yang terbesit di pikiran kalian saat mendengar kata 'MANTAN' ?
Penyesalan? Kenangan? Apapun itu, selogis apapun alasan yang membuat hubungan kamu sama dia berubah menjadi sebatas 'MANTAN' tidak akan mengubah kenyataan kenangan yang telah kalian lewati bersama.
Meskipun ada rasa sakit atas sikapnya atau mungkin saat kehilangannya. Dia pernah ada di garis terdepan yang mengisi hari-harimu yang putih. Mengubahnya menjadi berwarna meski pada akhirnya tinta hitam menghapus warna itu bersama kepergiannya.
Arletta Puteri Aulia, gadis berkulit sawo matang, dengan wajah cantik berhidung mancung itu tidak mempermasalahkan kedekatannya lagi dengan cowok jangkung kakak kelasnya sekaligus teman kecilnya-- Galang Abdi Atmaja. Yang kini berstatus mantan kekasihnya.
Dekat? Iya,
Sayang? Mungkin,
Cemburu? Iya,
Berantem? Sering,
Jalan bareng? Apa lagi itu,
Status? Cuma sebatas mantan.
Apa mereka akan kembali menjalin kasih? Atau mereka lebih nyaman dengan -MANTAN RASA PACAR- julukan itu
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Asmi SA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Draft
“Maaf”
Gadis itu menunduk mengambil buku yang ia jatuhkan tadi. Ia juga mengusap sepatu yang ia injak tadi.
Bodohnya ia lompat-lompat di perpustakaan karena tidak dapat mengambil buku yang cukup tinggi itu.
“Udah ngga usah,” ucap cowok itu menarik kedua lengan gadis itu agar berdiri.
“Maaf, sepatu kakak jadi kotor,” sesal Gadis itu. Gadis yang masih empat belas tahun itu tampak menggemaskan di mata cowok itu.
“Ngga apapa, kamu mau ambil buku yang mana?” tanya cowok itu mengamati buku-buku yang tersusun rapi di rak atas.
“Yang itu kak,” tunjuk gadis itu.
“Lain kali kalo susah, minta bantuan ya dek,” ucap cowok itu menepuk pelan puncak kepala gadis itu.
***
Rafa bersedekap menatap lurus ke depan. Di depannya, seorang gadis tengah kesulitan mengambil buku di rak yang cukup tinggi itu. “Dia lagi, dan seperti itu lagi,” gumam Rafa tersenyum. Rafa perlahan mendekatinya.
“Kesulitan lagi?”
Gadis itu menoleh, “eh iya kak.” Rafa menoleh pada rak tadi, ia mengambilkan buku yang cukup tebal dari sana.
“Yang ini?” Rafa mengulurkan buku itu. Gadis itu mengangguk pelan. “iya kak, makasih,” ujarnya tersenyum.
“Duduk di sana yuk,” ucap Rafa lembut pada gadis itu. Gadis itu hanya menurut, ia sedikit malu hingga ia terus menunduk sampai di mana mereka duduk.
“Nama kamu siapa? Waktu itu kita belum kenalan,” ucap Rafa menatap wajah polos gadis itu.
“Raya kak,” ucap Raya menatap Rafa. Takut, malu bercampur jadi satu, Raya tidak pernah berbicara dengan orang asing, apalagi melihat pria di depannya ini memang umurnya tampak jauh di atasnya.
“Raya? Aku Rafa,” ucapnya tersenyum.
“Boleh berteman?” Ucap Rafa mengulurkan tangannya. Raya ikut tersenyum, sepertinya kakak ini tidak jahat. Ia menerima uluran tangan kakak itu.
Rafa baru tersadar, gadis itu adalah gadis yang menjatuhkan buku waktu itu. Ini kali ketiga ia bertemu dengan gadis itu. Apa ini takdir?
Namun ia buru-buru menggeleng. Setelah berbincang dengan gadis itu, ia berpamitan untuk pergi. Seperti biasa ia membawa paperbag dengan beberapa buku novel di dalamnya.
***
Gadis itu duduk mengayunkan kedua kakinya. Ia tampak menunggu seseorang yang mungkin akan datang lagi. Namun sudah dua jam ia menunggu, pria itu tak kunjung datang.
Hari berganti, gadis itu kembali duduk di dekat rak yang mempertemukan dia dengan pria itu. Bosan. Ia berdiri dari sana, baru beberapa langkah ia berhenti. Ia tersenyum melihat kedatangan pria itu. Entah mengapa ia sangat menunggu Rafa datang.
Dari hari itu mereka sering pergi membaca buku bersama, bahkan sekedar jalan-jalan di sore hari. Ia begitu bosan di rumah. Saat di rumah, ia hanya akan menuruti papah yang selalu menyuruhnya belajar.
Setelah kepergian Rafa, Raya berjalan dengan senang memasuki rumah. Baru saja ia melangkahkan kaki. Sosok laki-laki yang asing yang kini jadi kakaknya itu muncul dengan ekspresi wajah yang sulit diartikan. "ikut gue ke ruangan papah, sekarang!" ucapnya datar.
Raya pun masuk dengan enggan menemui papanya.
"Dari mana kamu?" ucap Pria dewasa yang ia sebut papa itu. Nadanya dingin, tatapannya tajam mengarah ke arah gadis itu. Pria itu mengulurkan sebuah foto gadis itu bersama seorang pria.
"Aku..." gadis itu tak mampu berucap apapun. Ia terlalu takut dengan papanya. Papa yang sangat disegani. Semenjak mama meninggal, papa begitu keras padanya. Selama ini ia hanya mengikuti perintah papanya. Dan selama ini pun papa tidak pernah memarahinya tanpa sebab.
Gadis itu menoleh pada sofa yang tak jauh dari tempatnya berdiri. Seseorang tengah duduk santai di sana. Ia menatap tajam pada cowok itu. Hingga kepalanya menoleh ke samping. Kejadian itu sangat cepat, hingga ia tidak bisa menghindarinya. Ia mengusap pipinya yang terasa panas. Bulir air matanya menetes begitu saja. Ia baru saja ditampar papanya. Dan itu untuk pertama kalinya papa melakukannya.
Gadis itu menatap papanya, kecewa. Namun ia lebih kecewa pada cowok itu. Tanpa mengatakan apapun, gadis itu lari ke dalam kamar dan menguncinya. Ia tak peduli dengan panggilan papa yang terus menggema. Ia menutup kedua telinganya, sembunyi di balik pintu itu.
"Maafin gue, Ya"
***
Setelah siuman beberapa hari yang lalu, Yurika, gadis yang selama ini Rafa tunggu itu akhirnya di perbolehkan keluar untuk sekedar jalan-jalan.
Ia tampak senang bisa menghirup udara segar pagi itu.
"Gue mau ngomong bentar." Rafa menoleh saat seseorang mencekal lengannya. "wait." Cowok itu berjalan sedikit menjauh dari Rafa dan Yurika.
Rafa menoleh pada Yurika. "kamu tunggu di sini sebentar ya," ucapnya tersenyum. Yurika tampak mengangguk.
Rafa kembali mendekati cowok itu. "Lo Bian kan? Temen Tata? Kalo gue ngga salah inget."
"Gue ngga mau basa basi sama lo. Jangan mainin perasaan Raya." ucap Bian datar.
"Apa maksud lo? Raya? Pacar-"
"Dia adik gue. Adik tiri lebih tepatnya." potong Bian. Rafa mengangguk paham. Bian menoleh pada gadis yang tak jauh dari mereka lalu kembali menatap Rafa datar. "Gue tau, mereka berdua mirip. Tapi jangan pernah sekalipun lo permainin hati Raya."
"Tunggu, maksud lo?" Rafa belum mencerna apa yang dikatakan Bian barusan.
"Raya nungguin lo tiap hari di perpustakaan. Kalo lo ngga percaya, lo dateng tiap jam lima."
Rafa tampak berpikir namun dalam hati ia tetap mengiyakan ucapan Bian.
***
Seperti yang Bian ucapkan tadi. Rafa ke perpustakaan itu. Memastikan bahwa Raya benar di sana. Benar saja, Raya di sana. Hari berikutnya pun Raya setia duduk di tempat duduk yang sama. Kali ini Rafa baru memberanikan diri untuk menemui Raya.
"Hai, kita ketemu lagi."
Seperti itu hingga berjalan beberapa hari. Bahkan musim gugur tiba, mereka menghabiskan sore hari bersama.
Bian tampak melihat mereka dari jauh, "Maafin gue, Ya."
***
Rafa merasa janggal dengan Raya yang tidak bisa dihubungi. Namun bertepatan dengan itu, kondisi Yurika kembali memburuk hingga akhirnya Yurika menghembuskan nafas terakhirnya.
Rafa begitu terpukul, merasa bersalah karena meninggalkan Yurika sendirian di sore hari. Yurika sangat membutuhkan Rafa di saat terakhirnya. Namun ia tidak ada.
Begitu hingga dua tahun berlalu, ia kembali ke Indonesia dan tanpa ia duga. Ia kembali bertemu dengan gadis itu, Raya. Perasaannya begitu campur aduk, Membayangkan sosok Yurika yang melekat di diri Raya. Perasaan yang sama namun dengan orang yang berbeda. Buru-buru ia tepis itu. Ia tak ingin menyakiti hati gadis kecil itu.
***
“Apa aku ngga bisa gantiin dia di ruang hati kakak?”
Kata-kata itu terus terngiang di benak Rafa. Ia menatap awan di sebelahnya, beberapa menit lalu ia baru saja kembali menggoreskan luka di hati Raya, gadis yang pernah menyemangati harinya.
Andai waktu dapat ia ulang kembali. Ia justru tidak akan mau bertemu dengan Raya jika ia akan menyakiti perasaan gadis itu.
Rafa memejamkan matanya seraya menenangkan hatinya yang tengah kacau itu.
Ting, bunyi ponsel di genggamannya membuat ia membuka matanya.
Aku akan mencoba untuk mengikhlaskan semuanya seperti kemarin-kemarin, dan aku akan anggap kita belum pernah bertemu sebelumnya. Jika nanti kita dipertemukan lagi dengan waktu dan cara yang berbeda, kuharap kesempatan itu ada untukku.
***
Raya menatap awak pesawat yang semakin mengecil. Ia tersenyum tipis. Mungkin kali ini ia bisa untuk menjauh. Perlahan, ia tahu mungkin sulit, tapi ia akan mencobanya.
Raya berbalik pulang. Ia menggenggam erat ponselnya. Ia merasakan sebuah tangan berat di pundaknya. Tanpa ia menoleh, ia tahu siapa pelakunya.
“Lo boleh nangis, kalo itu buat hati lo lega. Gue siap jadi bahu lo bersandar,” ucapnya.
Raya menoleh, matanya berkaca-kaca. Dia memeluk Raya dengan sayang.
“Maafin gue udah jahat sama lo, gue ngga ada niatan buat nyakitin lo, gue cuma mau lindungin lo. Mau kan kita mulai dari awal lagi?”
Raya sempat ragu, namun perlahan ia mengangguk. “Thanks Bi.”
Merekapun pulang dengan perasaan lega. Raya menoleh, “Lo, gimana sama Letta?”
“Gimana apanya? Kan kita cuma temenan.” Ucap Bian santai. Raya menghela nafas, “perasaan lo sendiri?”
Bian mengedikkan bahu, “biar gimanapun perasaan yang cuma sepihak itu ngga akan bisa berjalan. Hubungan itu perlu perasaan yang sama di antara kedua belah pihak. Gue sadar, gue udah tertinggal jauh dari Galang. Bahkan perasaan Tata juga.”
Bian menoleh dengan sendu, “gue ikhlas lepasin Tata demi perasaan gue juga.”
Raya tersenyum. Ia mengangguk paham mencoba menguatkan kakak tirinya itu.
“Banyak cewek yang ngantri di luar sana! Keep strong my bro!” ucap Raya menyemangati kakak tirinya itu. Begitupun Bian ikut tersenyum melihat Raya tersenyum padanya.
tinggal urusan cintanya aja yang masih jauh🤭