"Ahhh, sakit sekali. Apa yang kau lakukan?”
“Maaf, aku tidak sengaja.”
“Aku tidak akan memaafkanmu, kecuali kamu bertanggungjawab atas apa yang terjadi padaku.”
“Ya. Kalau perlu Aku akan menikahimu!” Siapa yang akan menyangka perkataan tanpa pikir panjang itu, mendatangnya kepada masalah yang rumit dan mengubah hidupnya sangat jauh hingga tak ada jalan untuk kembali.
Kecelakaan hari itu, membawa mereka berdua pada ikatan paksa bernama pernikahan.
____
Pernikahan yang semula indah dan damai seolah pernikahan pada umumnya, hingga Ia lupa, bagaimana pun Ia adalah penyebab kehancuran suaminya. Ia layak untuk di benci.
Kau bersabar atas luka di sekujur tubuhmu
Aku bersabar atas sikapmu yang menyakitiku.
Jika kau tak pernah selembut itu mungkin perubahanmu tak begitu menyakitiku. Figuremu di hatiku seindah itu, sebelum sifatmu berubah membekukanku.
#Nikahpaksa
#Cintahadirkarnaterbiasa
Jangan lupa tinggalkan tanda di setiap partnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Light_Ryn23, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kemarahan Papa
Ditengah malam yang hening, dengan keadaan yang cukup mengenaskan Yamani memaksakan diri berkeliling penjuru rumah mertuanya. Sendirian, di tengah kesunyian, Ia berjalan dengan bantuan kruk, nyaris menyeret Kakinya berjalan.
Kebingungan menjelajahi semua ruangan, sampai dia berdiri di depan tangga menuju lantai dua, tempat kamar istrinya berada. Mungkinkah dia ada di sana? Tapi selama beberapa hari ini, istrinya selalu tidur disisinya, disampingnya, menemaninya dan selalu siap membantunya.
Apakah istrinya setega itu menelantarkan suaminya yang sedang sakit sendirian. Ia ragu dan Ia tak mampu untuk menaiki tangga, keadaannya tak memungkinkan. Ia terus menatap lurus ke atas tangga, berharap seseorang muncul dari sana, entah untuk membantunya ke atas atau mengkabarkan keadaan istrinya.
Cemas dan khawatir menjadi satu, beberapa kali Ia terjatuh dan perlahan Airmata menetes tanpa disadarinya. Ia takut kejadiannya akan berakhir seperti lima tahun yang lalu, saat Ia ditinggalkan oleh Mantan Calon Istrinya. Ia terlalu takut untuk ditinggalkan.
Jika orang yang dikenalnya bertahun tahun dan mengaku mencintainya saja dengan mudah meninggalkannya, bagaimana dengan Fidzah yang baru dikenalnya beberapa minggu dan belum tentu mencintainya. Pada akhirnya dia sendirian, saat keadaannya sehat saja perempuan dengan mudah meninggalkannya, bagaimana dengan ketidak-berdayaannya ini?
Suara ketukan tongkat kruk yang membantunya memecah keheningan malam, Ia ingin mengetuk kamar mertuanya menanyakan keadaan Istrinya. Sebab hanya kamar Sang Mertua yang berada di lantai bawah. Namun, Ia enggan membangunkan Sang Mertua. Dia sudah banyak merepotkan, diterima sebagai menantu saja sudah Anugerah terbesar dalam hidupnya.
Berkali-kali Ia terjatuh sebab Ia terlalu kalut dan tergesa-gesa menyusuri rumah. Menggenggam Handphone dengan tangan bergetar, menelpon istrinya adalah hal yang sia-sia saat handphonenya tertinggal di kamar. Dengan tangan gemetar Ia mengetik satu nama, berharap orang di sebrang sana mengangkat telponnya dan menghilangkan kekhawatirannya.
Namun bukan suara, tapi deringan yang terdengar nyaring dari arah Ruang Tamu. Dengan tertatih-tatih Ia melangkah kesana dan hanya mendapati Handphone yang menyala di atas meja, di sana terdapat Handphone Jefri tergeletak tak berdaya dan deringan Nyaring itu membangunkan Sang Papa Mertua. "Kenapa berisik sekali?"
Papa sempat ingin marah, sebab Ia mengira Sang Adik yang berbuat keributan di tengah malam mengusik tidurnya. Ia tak mendapati Adiknya, hanya melihat Menantunya berdiri dengan kruk di tanganya, Ia terlihat bergetar dengan wajah yang basah.
"Fidzah mana?" Papa membantu Yamani duduk di atas Sofa yang ada di ruang tamu, mendapati keadaan Menantunya yang agak memprihatinkan, Ia langsung tertuju mencari Sang Anak.
Yamani hanya menjawab pertanyaan itu dengan gelengan kepala, merasa bersalah telah membuat kegaduhan. "Kamu gak tau Fidzah kemana?" Lagi, Yamani hanya menggelengkan kepala tak tau harus menjawab Apa.
"Nadyaaa." Papa berteriak keras memanggil Anak tertuanya, setelah menggambil handphone Jefri. Yamani terkejut mendengarnya, terlihat wajah Papa memerah menahan Amarah. Dari arah tangga Nadya sempat turun, sebelum kembali menaiki tangga dan masuk ke kamarnya saat didapati ada Adik Iparnya di bawah. Dari arah tangga yang mengarah langsung ke ruang tamu berhadapan dan terlihat jelas, maka dari itu di sela kesadarannya yang belum terkumpul sepenuhnya Nadya bergegas mencari kerudung dan kardigannya, untuk menutup Aurat sepenuhnya.
"Dimana Adikmu?" Nadya yang berlari tergesa-gesa menuruni tangga, mengernyit bingung. Sebentar, adiknya yang mana satu? Ah iyaa, yang satunya sedang berada jauh darinya. Pasti adik perempuannya yang sedang dicari Papa.
"Dikamar memangnya gak ada Pa?"
"Kalau ada Papa gak nanya Kamu Nadya."
"Cepat cari di kamarnya di atas, kalau perlu cari kesemua ruangan di atas tanpa terkecuali. Cari juga Jefri."
Nadya dengan cepat berlari menaiki tangga, menuruti perintah Sang Ayah yang sudah akan murka. Dengan keyakinan Dia mencari di kamar Adiknya. Kosong, tidak ada siapa-siapa, bahkan Ia sempat mengecek kolong ranjang dan kedalam lemari. Ia bergegas keluar, Kamar Jefri, dan kamar satunya lagi bahkan kamarnya sendiri, tak luput dari pengecekan Nadya. Tidak ada, siapa-siapa di sana. Baik Fidzah atau Jefri. Memangnya pergi kemana adiknya?
Ia kembali berlari menuruni tangga, bukan untuk menghampiri dua orang di sana, hendak pergi keluar rumah lewat pintu dapur, siapa tau adiknya Nangkring di atas pohon mangga, setidaknya sebelum perkataan Papa membuatnya berhenti mematung "Mereka gak ada di luar, udah Papa cek bahkan, Motor Jefri juga gak ada."
"Mungkin mereka keluar bentar Pa." Nadya mencoba menenangkan Papanya dan memberikan Air kemasan yang diambil dari kolong meja, untuk Papa dan adik Iparnya. Mereka duduk di sofa, sambil menenangkan pikiran masing-masing.
"Dia beneran gak izin sama sekali sama ke Kamu?"
"Gak ada Pa, Maaf."
"Papa yakin nih, mereka pasti keluar agak jauh."
"Ini gak tau yang tau? Maa--" Perkataan Papa terhenti saat Nadya menyentuh tangan Papanya dan menggeleng lemah.
"Gak usah bangunin Mama Pa, Aku yang tidur paling lambat. Mama habis isya udah masuk Kamar gak lama setelah Papa. Aku datang sama Robi tadi juga udah gak ada siapa-siapa di bawah Pa. Aku kira mereka udah tidur."
"Nanti mereka balik kok Pa, mungkin bentar lagi."
"Kamu jangan kebiasaan belain adik Kamu Nadya, sifat kamu yang kaya gini yang malah bikin Dia makin membangkang."
"Jefri sama Fidzah cuma main Papa, biasanya juga gitukan Izin sama Papa habis isya." Main dalam artian baik, entah mereka jalan-jalan beli jajan, majelisan, tabligh akbar, bahkan Ziarah. Bahkan pernah mereka baru pulang nyaris pagi, karna sekalian ikut Kuliah Shubuh.
"Ya bolehlah dulu, karna Papa tau Jefri bakalan jagain Anaknya. Ini masalahnya dia gak bisa jaga Anaknya dari kemurkaan Allah karna keluar tanpa izin Suaminya. Sama papa oke dibolehin, selagi mereka bener. Ini udah menyimpang dari Aturan yang Papa tetapin buat keduanya. Perlu dikasih pelajaran mereka ini, biar gak mengulangi hal yang salah." Papa lebih senang menyebut Fidzah Anak Jefri, dalan maksud Anak keponakan.
"Gini yang buat Papa mikir-mikir nikahin Fidzah. Bocah dinikahin yang ada di otaknya cuma Main aja." Papa bergumam dan menggelengkan kepalanya lemah, Yamani yang dari tadi hanya mampu mendengarkan terkejut dengan perkataan Papa yang terakhir.
Tak lama terdengar suara tawa menggelegar Jefri dari arah luar diseratai deru motor memecah keheningan malam. Mendengar hal itu, Papa bergegas keluar rumah dan membuka pintu dengan keras, mengagetkan kedua insan yang sedang mengunyah jagung bakar di tangan masing-masing. Keduanya terdiam dan saling melirik dengan mata membesar dan mengisyarat satu satu kata Mati kita pikir Jefri.
"Darimana kalian? Tengah malam keluar gak izin sama suami. Baru beberapa hari nikah udah buat dosa besar, di mana Pikiranmu Hafidzah? Jefri bagaimana kamu mendidiknya selama ini, kamu ajakin kemana? Papa yang salah dalam mendidik Kalian, Papa gagal jadi Ayah, gagal jadi Kakak yang bener."
"Kita cuma Ziarah Ke Makam Guru bentar Papaa ... "
"Berani kamu ngejawab? Salah itu diakui bukan malah membela diri. Masuk sana! Urus Suamimu. Renungi dosamu, bertaubat secepatnya. Minta Ampun sama Suamimu, Sebelum kamu dilaknat lebih keras."
Terdapat hadis yang membahas mengenai larangan perempuan yang keluar tanpa izin dari suami. Hadis ini biasanya ini digunakan sebagai legitimasi mutlak melarang tindakan tersebut.
“Rasulullah SAW mengatakan bahwa hak suami atas istrinya adalah seorang istri tidak diperbolehkan keluar dari rumahnya kecuali dengan izin suami. Apabila Ia melakukannya maka ia dilaknat oleh malaikat rahmat dan malaikat ghodob sampai ia bertaubat,” (HR. Abu Daud).
Cinta yang rela menunggu, tapi bukan sebagai kekasihmu 🤕
Ditunggu Partnya Satriaa ya Thor