"Aku memacari Echa, hanya karena dia mirip denganmu. Aku gak akan bisa melupakanmu Inayah. Jadi dengarkan aku, pasti... pasti aku akan memutuskan Echa apabila kamu mau kembali padaku!" Terdengar lamat-lamat pertengkaran Catur dengan mantan kekasihnya yang bernama Inayah dihalaman belakang sekolah.
Bagai dihantam ribuan batu, bagai ditusuk ribuan pisau. Sakit, nyeri, ngilu dan segala macam perasaan kecewa melemaskan semua otot tubuhnya. Echa terjatuh, tertunduk dengan berderai air mata.
"Jadi selama hampir setahun ini aku hanya sebagai pelampiasan." monolog gadis itu yang tak lain adalah Echa sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Erchapram, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kebohongan Pertama
Terlihat samar dari balik kerumunan orang-orang yang sedang panik, seseorang berlari menuju kearahku berdiri. Semakin dekat dan semakin jelas, jika orang tersebut adalah kak Ghofar yang terlihat sekali dari sorot matanya bahwa dia tengah dilanda kepanikan luar biasa. Sambil mengatur nafasnya yang tersengal-sengal, dia memegang kedua bahuku.
"Cha...kamu baik-baik saja kan? Aku sangat khawatir saat mendengar bahwa banyak anggota pramuka putri yang kesurupan akibat bermain air di sumber mata air dibawah pohon besar itu." Ucap kak Ghofar sambil sesekali menghela nafas kasar.
"Alhamdulillah, aku dan Echa baik. Kami tidak seperti mereka yang tidak sopan ditempat asing" Ratna menyauti, karena melihat aku yang masih saja terdiam.
"Alhamdulillah kalau begitu, ayo kita segera pergi dari sini. Dan sebaiknya kita bermalam di masjid kampung dulu sementara waktu. Sampai keadaan membaik." Saran kak Ghofar yang kami iyakan.
Aku berjalan tapi pandanganku kosong, aku terlalu syock dengan yang baru saja terjadi. Ada banyak pertanyaan yang menuntut segera terjawab. Tapi dari sekian banyak hal yang membuatku gelisah. Ada satu yang saat ini membuatku kecewa. Kulirik jam tangan hitam kecil yang melingkar dipergelangan tanganku. 'Sudah hampir adzan Isya', tapi kenapa kamu tidak datang kak?' tanyaku dalam hati.
Jujur disaat seperti ini aku butuh pelukanmu. Aku butuh dirimu, sehingga perasaan galau ini bisa terobati. Bukan lebay tapi aku kangen.
Setelah menunaikan sholat Isya berjamaah. Aku, kak Ghofar dan Ratna memilih tetap tinggal. Dan berbaur dengan penduduk asli daerah yang selesai jamaah juga.
"Dek, seharusnya kalian mendengarkan apa yang sudah tetua kami sampaikan tadi. Kenapa malah ada kejadian seperti ini." Seorang bapak berpeci hitam terlihat menyesalkan perbuatan sebagian dari kami.
"Mereka kesurupan, pasti mereka tidak sopan saat mendekati area terlarang itu. Padahal sudah sangat jelas ada pagar bambu yang mengelilingi pohon besar itu. Harusnya dari kalian sudah bisa mikir, kenapa hanya pohon itu yang diberi pagar." Ketus salah seorang Ibu yang bertubuh gempal.
"Maaf, pak bu, mereka bukan berasal dari sekolah yang sama dengan kami bertiga." sanggah kak Ghofar dengan sopan.
Setelah perdebatan panjang antara kak Ghofar dan beberapa penduduk yang ada di masjid tadi. Aku memutuskan untuk tidur bersandar tembok dipinggir masjid bersebelahan dengan Ratna. Sedangkan kak Ghofar terlihat berada sedikit jauh dari luar masjid. Mungkin sambil memantau keadaan diarea perkemahan tapi juga masih bisa menjangkau keberadaan kami.
"Na, aku sedih deh. Kenapa ya kak Catur gak jadi datang berkunjung. Disaat aku membutuhkannya, tapi justru dia tidak ada. Bahkan kabarpun tak dia berikan." Curhatku pada Ratna.
"Mungkin dia lupa, mungkin disana hujan, mungkin dia ada keperluan mendadak yang penting. Coba positif thinking dulu ya." Nasehat Ratna.
Aku membenarkan apa yang dibilang Ratna barusan, tapi ada ragu terselip dalam hati dan pikiranku. Sesusah itu kah memberi kabar jika tidak bisa datang. Setidaknya biarkan aku bisa bernafas lega dengan mendengar suaranya atau sekedar membaca chat darinya.
Sementara ditempat lain, ada seorang cowok sedang duduk di warung nasi dekat rumahnya bersama sejumlah teman-temannya. Bercanda dan tertawa tanpa beban seakan lupa jika dia punya janji yang harus ditepati. Entah benar lupa atau sengaja lupa. Hanya dia dan Tuhan yang tahu.
Pagi menjelang, suasanya sudah perlahan kondusif. Orang-orang yang kesurupan sedikit demi sedikit sudah tersadar kembali. Tinggal beberapa saja yang sepertinya tertempel lebih parah daripada yang lainnya. Dia tak henti2nya berteriak, tertawa lalu menangis. Seolah hidupnya penuh penderitaan.
Menurut cerita yang kami dengar dari penduduk semalam, ada seorang gadis yang dulu hidupnya penuh penderitaan. Dia menderita suatu penyakit kulit aneh yang sulit disembuhkan. Meskipun memiliki paras yang cantik, tapi karena bau busuk yang keluar dari sebagian kulitnya yang melepuh itu dia dijauhi banyak orang. Bahkan oleh keluarganya sendiri. Ditinggal hidup sebatang kara dengan kondisi yang mengenaskan tanpa belas kasih sedikitpun. Caci maki sumpah serapah dia terima tanpa mengenal waktu. Bahkan kematian menjadi tujuannya saat itu. Tapi Allah masih memberi dia kesempatan hidup, meskipun berulang kali mencoba mengakhiri hidupnya sendiri. Sampai akhirnya dia menghembuskan nafas terakhir akibat tidak lagi mau menyentuh makanan yang sengaja diberikan oleh sedikit dari penduduk yang masih peduli. Sejak kematiannya diketahui warga, dia dimandikan dekat pohon tua dan menggunakan air dari sumber mata air yang keluar dari pohon tersebut. Penduduk berfikir, air murni itu bisa menetralkan bibit penyakit yang bersarang dikulit gadis itu agar tidak menularkan ke orang lain. Namun, setelahnya selalu terdengar tangis pilu yang menyayat hati siapapun yang mendengarnya. Tak jarang pun diselingi tawa frustasi.
Terkadang empati, simpati mati rasa hanya karena orang itu tidak sama dengan kita. Yang menurut kita menjijikkan, bahkan sebenarnya lebih menjijikkan perbuatan kita yang tak lagi memiliki nurani untuk peduli. Bukankah, semua makhluk itu sama dihadapan Allah? Hanya amal ibadah yang membuat kita beda nantinya. Tapi kenapa seolah ada jurang tinggi yang membentang membuat jarak antar sesama manusia.
"Ah, sudahlah itu urusan mereka. Yang terpenting saat ini adalah aku dan kamu tidak ikut terganggu seperti mereka. Mungkin karena kemarin itu aku minta ijin dulu kali ya" Ucapku pada Ratna setelah kami berdua meninggalkan masjid dan kembali ke tenda kami.
"Bisa jadi, ingat pepatah dimana bumi dipijak disana langgit dijunjung. Kita tidak bisa semena-mena di wilayah orang lain." Imbuh Ratna. Dan kami pun sampai di tempat dimana tenda kami berdiri kokoh. Namun sepi.
Kesampingkan dulu beberapa orang yang masih dalam tahap penyembuhan dari kesurupan kemarin. Sekarang waktunya melanjutkan kegiatan pramuka yang sempat tertunda. Acara demi acara terlaksana dengan baik dan lancar. Hari ini adalah hari terakhir kami mengikuti kegiatan Raimuna tingkat Kabupaten tahun ini. Dan itu artinya sudah 2 malam janji kak Catur meleset. Juga tiada kabar terdengar ditelingaku. Sedih ada, tapi rasa kecewa lebih mendominasi.
"Cha, setelah pulang dari sini. Gimana kalau kita mampir dulu ke pantai. Kita bisa minta tolong antar sopir mobil Sekolah yang nanti menjemput. Dengan ganti ongkos bensin tentunya?" Ajak Kak Ghofar padaku dan juga Ratna.
"Boleh banget kak" Jawabku sambil tersenyum paksa. 'Andai kamu ada disini juga kak, aku pasti akan sangat bahagia.' Batinku menangis.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Alhamdulillah, aku update lagi. Semoga suka ya... Maaf kalau lama menunggu. Dunia nyata ku sedang sangat sibuk.
Jangan lupa tinggalkan jejak kalian dengan cara like, komen dan share cerita ini.
NO PLAGIAT!
Terima kasih.
By : Erchapram