✰Rekomendasi Cerita "Introspeksi"✰
Nero, seorang pewaris perusahaan ternama, menikahi Aruna, gadis desa sederhana yang bekerja di perusahaannya. Cinta mereka diuji oleh keluarga Nero, terutama ibu tirinya, Regina, serta adik-adik tirinya, Amara dan Aron, yang memperlakukan Aruna seperti pembantu karena status sosialnya.
Meskipun Nero selalu membela Aruna dan menegaskan bahwa Aruna adalah istrinya, bukan pembantu, keluarganya tetap memandang rendah Aruna, terutama saat Nero tidak ada di rumah. Aruna yang penuh kesabaran dan Nero yang bertekad melindungi istrinya, bersama-sama berjuang menghadapi tekanan keluarga, membuktikan bahwa cinta mereka mampu bertahan di tengah rintangan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Detia Fazrin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
She's My Wifeꨄ
...»»————> Perhatian<————««...
...Tokoh, tingkah laku, tempat, organisasi profesi, dan peristiwa dalam cerita ini adalah fiktif dan dibuat hanya untuk tujuan hiburan, tanpa maksud mengundang atau mempromosikan tindakan apa pun yang terjadi dalam cerita. Harap berhati-hati saat membaca....
...**✿❀ Selamat Membaca ❀✿**...
Malam itu di Rumah Nero
Nero baru saja sampai di rumah. Tubuhnya lelah setelah seharian bekerja dan menghabiskan waktu dengan Aruna. Namun, saat ia membuka pintu utama, matanya terkejut melihat Bianca, gadis yang selama ini selalu dijodohkan oleh ibunya, Regina. Bianca tampak sibuk di dapur, memasak sesuatu yang sepertinya adalah makanan kesukaan Nero.
"Nero, aku sudah buatkan makan malam untukmu," kata Bianca dengan senyuman yang dipaksakan, tampak gugup dan berharap mendapatkan respon baik dari Nero.
Namun, Nero hanya tersenyum tipis. “Terima kasih, Bianca. Tapi, maaf, aku tidak bisa makan malam bersamamu. Aku sudah makan.”
Sebelum Nero bisa melangkah lebih jauh, ibunya, Regina, muncul dari balik pintu ruang makan dengan wajah murka. “Nero! Kamu seharusnya menghargai Bianca. Dia sudah susah payah memasak untukmu!”
Nero menarik napas panjang, mencoba untuk tetap tenang. “Ma, aku menghargai usaha Bianca, tapi aku tidak bisa dipaksa untuk sesuatu yang tidak aku inginkan. Terima kasih, Bianca, tapi aku harus pergi.”
Dengan sopan, Nero melangkah pergi meninggalkan ruang makan. Bianca tampak kecewa, wajahnya tertunduk, sementara Regina hanya bisa mendesah dengan frustrasi.
Di Tangga
Saat Nero sedang naik ke kamarnya, adik tirinya, Amara, menghentikan langkahnya di tangga. Amara memandang Nero dengan rasa ingin tahu yang dalam. “Kak, ini semua karena Luna, kan? Kau jadi begini karena gadis itu, ya?”
Nero hanya menggeleng sambil menatap adiknya dengan serius. “Bukan, ini bukan soal Luna atau siapapun yang kalian coba pasangkan denganku. Aku hanya tidak tertarik pada Bianca, dan aku tidak ingin terjebak dalam hubungan yang tidak aku pilih sendiri.”
Amara menatap kakaknya lebih dalam. “Tapi... Kak, bukankah kita semua tahu, Bianca adalah pasangan yang sempurna untukmu? Dia punya segalanya.”
"Begitu dengan Luna, Luna cantik dia kayak dan cocok dengan mu." lanjut Amara.
Nero menghela napas, kemudian mengusap rambut Amara dengan lembut. “Kadang, apa yang terlihat sempurna di luar, belum tentu cocok di hati, Mar. Kau akan mengerti nanti.”
Setelah berkata begitu, Nero melanjutkan langkahnya ke kamar. Amara berdiri di tangga dengan alis berkerut. Ada sesuatu yang sedang disembunyikan oleh kakaknya, dan Amara yakin itu bukan soal tender atau wanita yang akan dijodohkan. Ada sesuatu yang lebih besar, tetapi Amara memilih untuk tidak terlalu memikirkannya dan dia pun pergi.
...***...
Beberapa Jam Kemudian, di Perjalanan Pulang Amara
Amara bersama beberapa teman-temannya sedang dalam perjalanan pulang setelah menghabiskan waktu di klub. Mereka semua dalam kondisi mabuk. Amara, yang duduk di depan, memandang jalan dengan mata setengah terpejam, kepalanya terasa berat karena alkohol.
“Kita pulang sekarang, ya?” kata salah satu temannya, yang terduduk lemas di kursi belakang.
Amara hanya mengangguk, menepuk-nepuk dahinya yang berdenyut karena pusing. Tiba-tiba, mobil yang dikendarainya hampir menabrak seseorang yang sedang berlari di jalan. Amara terkejut dan segera menghentikan mobilnya dengan keras. Teman-temannya di belakang terhentak ke depan.
“Apa-apaan ini?” Amara keluar dari mobil dengan emosi yang meluap-luap.
Di depan mobil, tampak seorang gadis yang berjongkok, mencoba menangkap seekor kucing kecil yang sedang berlarian di jalan. Gadis itu tidak lain adalah Aruna.
“Apa kamu gila?! Mau mati, ya?!” Amara berteriak sambil berjalan ke arah Aruna dengan langkah goyah. Matanya menyipit karena mabuk.
Aruna bangkit berdiri, masih memegang Biru, kucing kecil yang tadi lepas dari genggamannya saat dia berjalan dari supermarket. “Maaf, saya tidak sengaja. Kucing saya berlari tiba-tiba...”
Amara tidak peduli. “Aku tidak peduli dengan kucingmu! Kau hampir mati, tahu?!” Amara terlihat kehilangan kendali. Teman-temannya yang setengah mabuk hanya duduk di dalam mobil, tidak ada yang berani menghentikan Amara.
Aruna mencoba untuk tetap tenang. Dia merogoh tasnya dan mengambil sebotol air minum, lalu menyodorkannya pada Amara. “Minumlah, kamu terlihat mabuk. Mungkin ini bisa membantu.”
Namun, bukannya menerima dengan baik, Amara malah mendorong Aruna hingga terhuyung. “Aku tidak butuh air itu!”
Aruna mulai merasa tidak nyaman. Saat dia mencoba mengeluarkan ponselnya untuk menghubungi seseorang, Amara tiba-tiba merebut ponsel itu dari tangannya dan mulai mengetik nomor telepon seseorang.
“Aku akan panggil seseorang untuk membereskan ini!” Amara berteriak tanpa jelas siapa yang ia hubungi.
Aruna hanya bisa berdiri diam, bingung dengan apa yang sedang terjadi. Setelah beberapa saat, suara deru mesin mobil mendekat, dan tak lama kemudian, Nero muncul di tempat kejadian. Aruna terkejut melihat Nero turun dari mobil. Dia mendekati Amara dan segera menarik adiknya menjauh dari Aruna.
“Amara, apa yang kamu lakukan?” suara Nero terdengar tegas, namun penuh kekhawatiran. Amara hanya menatap kakaknya dengan mata merah, mabuk berat.
“Kak, dia hampir membunuhku dengan kucingnya!” Amara meracau tidak jelas.
Nero menghela napas, mengerti bahwa adiknya tidak dalam kondisi untuk berbicara rasional. Ia menoleh ke arah Aruna dan mendapati ekspresi gadis itu penuh keterkejutan. “Maafkan Amara, Aruna. Dia tidak bermaksud begitu. Dia hanya... tidak sadar.”
Aruna hanya bisa mengangguk pelan. “Tidak apa-apa, Nero. Aku mengerti.”
Nero menggenggam tangan adiknya dengan lembut, lalu menatap mata Aruna penuh permintaan maaf. “Aku akan pastikan Amara tidak menyusahkan mu lagi. Sekali lagi, aku minta maaf Aruna.”
Tanpa berkata lebih lanjut, Nero membawa Amara masuk ke mobilnya, lalu melirik sekali lagi ke arah Aruna sebelum menutup pintu. Mobil Nero berlalu meninggalkan tempat itu, dan Aruna hanya bisa berdiri diam, memandang kepergian mereka sambil mendekap Biru erat-erat di pelukannya.
Di Dalam Mobil
Amara mulai tenang setelah berada di dalam mobil. Nero mengemudi dengan serius, matanya lurus memandang jalan di depannya. Suasana di dalam mobil terasa berat. Amara akhirnya bersuara, walaupun dengan suara yang pelan dan serak.
“Kak... kamu kenal gadis itu ya, Aruna... siapa dia?"
"Pertemuan macam apa ini?"
"Apa dia yang membuatmu berubah?” tanya nya kembali.
Nero tidak menjawab seketika. Ia hanya menarik napas panjang sebelum akhirnya berkata, “Bukan urusanmu, Mar. Jangan mencampuri urusan yang tidak perlu.”
Amara tidak puas dengan jawaban itu, tapi dia terlalu lelah dan mabuk untuk membalas lebih jauh. Ia bersandar di kursinya, menutup mata, dan terdiam.
Di Apartemen Aruna
Aruna pulang dengan pikiran yang campur aduk. Dia masih memikirkan kejadian tadi dan bagaimana Nero datang untuk menenangkan situasi. Tanpa sadar, dia tersenyum kecil saat mengingat cara Nero memperlakukannya dengan begitu sopan dan perhatian. Namun, dia juga sadar bahwa ada banyak halangan jika perasaannya terhadap Nero tumbuh lebih dalam.
“Biru, kamu tahu... rasanya aneh, ya?” bisik Aruna pada kucing kecil yang duduk di pangkuannya. “Aku tidak tahu apa yang sebenarnya kurasakan. Tapi... aku harus tetap kuat. Aku tidak boleh jatuh cinta padanya. Nero adalah seseorang yang berbeda. Dia tidak mungkin untukku.”
Biru hanya mengeong kecil, seakan memahami pergolakan batin yang dialami Aruna.
...➳༻❀✿❀༺➳...
sekarang sudah sibuk takut pergaulan anaknya.
bentar mereka keluarga tiri Nero kan? apa bedanya dengan Mereka yang hanya menikmati kekayaan ayahnya Nero
jangan sampai jadi fitnah kalau cuma berdua dengan Aron.
tetap semangat ya thor..