NovelToon NovelToon
Catatan Hanna

Catatan Hanna

Status: tamat
Genre:Teen / Tamat / Keluarga / Persahabatan / Kontras Takdir
Popularitas:10.6k
Nilai: 5
Nama Author: Rijal Nisa

Saat tidak ada teman yang dapat mendengar keluh kesahnya, Hanna menorehkan semua uneg-unegnya di buku hariannya. Tentang cinta, teman, dan keluarga, semua ada di sana.

Hidup Hanna yang begitu rumit, membuat dia kadang-kadang frustasi, namun dia tetap harus kuat menghadapi ombak kehidupan yang terus menghantam.

Ikuti kisah hidup Hanna di "Catatan Hanna."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rijal Nisa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Surat Dalam Lemari

Aku sudah tidak tahan mendengar suara mereka yang memperebutkan harta warisan dari ibu.

Di tengah keadaan duka seperti ini, sempat-sempatnya kak Riri mengungkit soal harta.

Sebagai suami bang Arman malah diam saja, dia tampak tak mengindahkan omongan istrinya.

Aku yang sudah muak dengan tingkah istrinya itu, tanpa pikir panjang langsung meluncurkan gelas kosong yang kubawa dari dalam kamar. Gelas itu terbang bebas dari lantai dua, semuanya terkejut melihat gelas itu jatuh dan pecah berkeping-keping.

"Hanna!" teriak bang Andi.

Aku masa bodoh aja, siapa suruh mereka ribut di rumahku ini.

Yang harusnya disalahkan adalah kak Riri, namun untuk mengusir wanita satu itu, tentunya tidak mudah.

"Bang Arman, kalau Abang tidak bisa mendidik istri Abang ini, mending Abang pulang aja sana!" usirku.

Kak Riri tidak terima, dia malah mengerling tajam melihatku.

"Udahlah, Ri. Jangan buat keributan di sini," ucap bang Arman melerai.

Aku menatap mereka berdua dengan sinis, lalu beralih menatap bang Andi. "Kalau kalian ingin tidur di sini malam ini, pastikan untuk tidak membuat keributan apa pun!"

Tidak ada jawaban, aku pun berlalu meninggalkan mereka. Gelas yang tadinya aku pecahkan dengan sengaja, kini harus dibersihkan oleh kak Yuni.

Aku pergi menuju dapur, dan apa yang ada di depan pandanganku sekarang membuatku cukup kaget.

Iqbal sedang jongkok di bawah meja dengan mulut dipenuhi coklat.

"Iqbal, kamu ngapain di sana?" tanyaku, anak itu hanya tersenyum memperlihatkan deretan giginya yang mulai tumbuh.

"Ta-Tante, air." Iqbal menunjuk air yang ada di atas meja dapur. Aku pun segera mengambilnya, melihat aku yang mengambil air, Iqbal merangkak keluar dari bawah meja.

"Tampaknya mereka terlalu sibuk memikirkan soal pembagian harta peninggalan ibu, makanya Iqbal pun tidak diurus. Orang tua macam apa yang membiarkan anaknya sendirian berada di dapur seperti ini." Aku cuma bisa ngomel dalam hati.

"Hanna, kakak pulang dulu ya," pamit kak Yuni. Dia memberikan beberapa lembar uang ratusan padaku.

"Enggak usah, Kak," ucapku menolak.

"Ini hak kamu, ambil saja! Jangan takut, aku sudah ngomong soal ini sama bang Imran, dan dia tidak keberatan kok," ucap kakak memperjelas, supaya aku tidak keberatan menerima uang pemberian darinya.

"Makasih ya, Kak." Aku mengambil uang itu dan memasukkannya ke dalam kantong piyama yang aku kenakan

"Mending kamu istirahat dulu, kasih aja Iqbal sama ibunya. Kamu perlu nenangin diri, Hann. Besok kakak ke sini lagi."

Aku mengangguk patuh, meski ibu sudah tidak ada, tapi setidaknya aku masih punya seorang kakak yang begitu peduli dengan keadaanku. Namun aku juga tidak ingin bergantung hidup pada siapa pun, aku akan berusaha mandiri. Aku harus bisa melakukan semuanya sendiri tanpa bantuan dari mereka.

Setelah menghabiskan segelas air putih, aku pun membawa iqbal pada ibunya.

"Sayang, kamu kan tahu aku enggak bisa keluar malem ini. Aku lagi di rumah ibu, mereka semua ada di sini. Tadi aja pas kita jalan bareng ada yang lihat, dan aku enggak mau kali ini ketangkap basah sama mereka."

Tanpa sengaja aku mendengar obrolan kak Riri dan bang Zidan.

Aku tidak peduli lagi dengan perselingkuhannya, aku melewatinya tanpa respon apa-apa. Kak Riri tampaknya juga tidak peduli walaupun aku mendengar pembicaraannya dengan bang Zidan.

Masa bodoh! Terserah dia mau berbuat apa, bukan urusanku juga. Sekarang aku cukup fokus saja sama hidupku sendiri, bang Arman nantinya juga akan merasakan penyesalan yang mendalam saat istrinya itu menjadi milik bang Zidan seutuhnya.

----- 

 

Tujuh belas Maret, tepat hari ulang tahunku. Sudah sebulan lebih sejak ibu meninggal, aku mencoba untuk menjalani kehidupan seperti biasa. Meski sulit, tapi aku harus tetap menjalaninya. Sebisa mungkin mencoba ikhlas dengan keadaan ini, aku tahu ibu sangat sayang sama aku, dan beliau ingin aku bahagia.

Biasanya ibu akan merayakan hari ulang tahunku dengan membagi-bagikan makanan kepada para tetangga dan anak yatim, tapi sekarang ibu sudah tidak ada, dan aku harus melakukan semuanya sendiri.

Aku tidak mengajak Ayu, mbak Santi, dan kak Yuni. Aku melakukan semuanya sendiri, dan ternyata aku bisa.

Aku mengambil cuti lagi hari ini, aku menunggu orang-orang yang mungkin ingat akan ulang tahunku, namun tidak ada.

Kak Yuni juga tidak ingat, Rian, dan bahkan Ayu juga.

Kenapa tidak ada yang ingat, aku merasa aneh dengan ini semua. Pikiran buruk kembali berkeliaran di otakku, mungkin saja mereka lupa. Aku mencoba menghilangkan pikiran buruk ini.

Semuanya sudah selesai ku kerjakan, setelah pulang untuk membagi-bagikan makanannya, aku langsung membersihkan lantai dapur, mencuci semua piring kotor, dan menjemur lagi baju yang belum kering.

"Akhirnya beres juga," ucapku pelan. Tiba-tiba hatiku merasa rindu sama ibu, air mata kembali mengalir. Baru sebulan, jujur saja ini masih sangat berat.

Berat rasanya menjalani hidup tanpa ibu, dadaku terasa begitu sesak. Kali ini aku menangis sejadi-jadinya, gegas aku berlari masuk ke dalam kamar ibu. Mungkin dengan duduk menyendiri di sana bisa membuat rindu ini sedikit berkurang.

Aku membuka lemari pakaian ibu, sudah lama lemari ini tidak kubuka. Meskipun begitu, tetap tak ada debu yang menempel karena aku tetap membersihkannya setiap hari.

Dengan hati-hati, tanganku mulai bergerak membuka lemari pakaian ibu.

Sebuah kado berwana biru langit terletak dengan baik dalam lemari. Sepertinya itu milik ibu, tapi kenapa aku tidak pernah melihat kado ini?

Hatiku semakin penasaran, aku pun sedikit menjinjit agar bisa meraih kado dalam lemari ibu.

Ternyata ini kado ulang tahun untukku, sebuah kado yang telah ibu siapkan jauh-jauh hari sebelum beliau sakit.

Di atas kado itu sudah tertulis namaku. 'TERUNTUK HANNA, ANAK GADIS KESAYANGAN IBU.'

Air mataku semakin tak bisa dibendung, aku sangat menyesal, kenapa di akhir hayatnya ibu harus membaca semua isi diaryku? Jika mengingat hal itu, aku pasti membenci diriku sendiri.

Semua keluhanku tentang ibu ada dalam diary itu, keluhan tentang sikap ibu yang kadang seperti menganaktirikan aku, sikap ibu yang melebih-lebihkan kedua anak lelakinya. Semua itu tertulis jelas dengan tinta hitam yang tiap lembarnya tentu saja membuat ibu sesak di kala membacanya.

Pikiranku terus menerawang jauh mengingat kembali moment-moment bersama ibu, sedangkan tanganku mulai membuka kado dari ibu, aku ingin tahu apa isi di dalamnya.

Ternyata isinya adalah mukena, mukena yang dulu pernah aku minta dibelikan sama ibu.

Aku kembali menyimpan mukena ini, tidak boleh berlarut-larut juga dalam kesedihan.

Saat ingin menutup pintu lemari, tak sengaja mataku melihat sebuah amplop berwarna coklat yang diselipkan di bawah baju.

Surat keterangan tentang penyakit yang diderita pasien dari rumah sakit. Mataku tak berkedip sama sekali saat melihat kenyataan yang baru saja aku ketahui ini.

Penderita itu adalah ibu, selama ini ibu ternyata menderita penyakit kanker paru-paru.

Serapi ini ibu menyembunyikan penyakitnya dari kami semua.

----

----

Hari ini aku dan kak Yuni ingin bertemu dengan dokter yang menangani penyakit ibu. Dokter Mirza, dia adalah orang yang mengetahui semuanya tentang rahasia ibu.

Aku yakin, ibu pasti punya alasan kenapa menyembunyikan ini semua dari kami.

"Ayu, kamu yakin bisa jalan sendiri? Sini aku bantuin!"

Aku langsung menarik kak Yuni, mengajaknya untuk berputar arah. Kini kami bersembunyi di balik dinding yang menjadi pembatas antara ruang IGD dan ruangan dokter Mirza.

"Kak, itu Ayu sama Rian."

"Kok mereka bisa jalan berdua?" tanya kakak.

"Ya mana aku tahu."

Kami mulai memfokuskan diri mendengar obrolan Rian dan Ayu.

"Rian, sampai kapan hubungan kita seperti ini?" tanya Ayu. Rian tidak langsung menjawab, dia menuntun Ayu dan mengajaknya duduk di bangku yang ada di depan kamar pasien.

Ayu cuma sakit demam biasa, tapi Rian tampak sangat peduli padanya. Kini aku baru tahu kalau mereka memang memiliki hubungan di belakang aku.

"Hann, mereka ber_"

"Diam, Kak! Jangan ngomong apa-apa untuk saat ini." Aku menempelkan jari telunjuk di bibirnya kak Yuni, aku menyuruhnya untuk diam sebentar saja.

Mataku dan pikiranku kembali fokus sama Ayu dan Rian.

Jujur, ada rasa sakit yang mulai masuk dalam hati ini. Bohong jika aku mengatakan bahwa aku tidak kenapa-kenapa, bohong kalau aku mengatakan, sahabat lebih berarti daripada pacar. Ini bukan lagi pacar, Rian dan aku sudah bertunangan dan kami akan segera menikah.

Hanya tinggal dua bulan lagi, dan apa yang terjadi sekarang? Semua hancur hanya karena seorang sahabat. Kedekatan mereka telah menimbulkan rasa cinta, dan aku yang membuat mereka dekat. Aku yang telah memberikan celah untuk cinta itu tumbuh di antara mereka.

"Bagaimana dengan Hanna?"

"Kamu enggak bisa gini terus, Rian. Kamu harus milih antara aku dan dia."

"Aku enggak bisa dulu, Yu. Hati aku juga masih sayang sama Hanna, aku juga enggak rela ninggalin dia," jawab Rian.

Rian tidak rela ninggalin aku, dia masih sayang sama aku. Semua itu cuma omong kosong! Kalau dia memang cinta dan sayang sama aku, seharusnya dia bisa menjaga hatinya dan tidak memberikan kesempatan untuk orang lain masuk dalam hubungan kami.

"Kamu sadar enggak sih? Kamu itu udah nyakitin hati kami berdua." Ayu menangis pilu, dan ada hal yang paling membuat aku tidak habis pikir adalah, saat di mana Rian memeluk Ayu untuk menenangkannya.

"Hann, ngapain kita ngintip di sini? Mending samperin aja mereka biar semuanya jelas!" ajak kak Yuni.

Aku menggeleng, hati aku udah terlanjur sakit melihat mereka berdua. Niat hati ingin bertemu dengan dokter Mirza, malah mendapatkan kenyataan menyakitkan seperti ini.

Aku berlari sekencang mungkin, tak sengaja saat lewat di depan lobi, aku malah menabrak seorang pria.

"Akh!"

Kepalaku terantuk dengan dagunya, sakit banget rasanya.

"Sakit," lirihku.

"Jalan lihat-lihat dong!"

Suara bariton pria ini membuat aku mendongak menatapnya.

Tunggu! Bukankah dia dokter Mirza? Ya, dia memang dokter Mirza.

Mataku sama sekali tidak berkedip menatap wajah lelaki yang sekarang berada di depanku. Ternyata dia lebih tampan jika dilihat secara langsung.

1
* bunda alin *
dan indah pada waktu nya 🥰
P 417 0
semoga kita semua selalu di berikan kesehatan ,kebhagiaan dan keberkahan/Pray//Pray/
P 417 0
hmmm.bner2 di tamatin/Sleep//Sleep/
P 417 0
perasaan yg mbulet/Drowsy/
* bunda alin *
tap tap tap ..
P 417 0
tamat/Sleep/
* bunda alin *
tegang bgt ,, 😱
P 417 0
/Drowsy//Drowsy/tuh kan akibatnya klo terlalu baik
P 417 0
/Proud//Proud//Proud/hmmm bner2 polos
P 417 0: ntah/Silent/
🥑⃟Riana~: apanya yg polos/Sweat/
total 2 replies
P 417 0
/Facepalm//Facepalm//Facepalm/rekomendasi yg bgus
P 417 0
ajaran yg baik bkl jdi baik hasilnya/Smile/
* bunda alin *
malang nya Hanna,,, selalu di hinggapi hal yg tdk terduga
ayo donk .. kapan Hanna bisa bahagia ... 💜
P 417 0
hmmmm .berarti ada dalng lain juga/Speechless/
🥑⃟Riana~: Anda/Shame/
P 417 0: sapa🙄
total 4 replies
P 417 0
oooo.ternyata bgas /Sleep//Sleep/
🥑⃟Riana~: hooh 🤧
total 1 replies
P 417 0
sapa sih sebnernya/Drowsy//Drowsy/
P 417 0
ooh tk kira abis gitu aja/Facepalm//Facepalm/
P 417 0
sepertinya obrolan di atas sedikit kurang mnurt aku/Silent/
🥑⃟Riana~: Harus ditambah lagi? kamu aja yg nambah kk/Sweat/
total 1 replies
* bunda alin *
tq sdh up ,, next thor
P 417 0
kita udah berapa tahun ya🤣🤣🤣🤣
P 417 0
/Facepalm//Facepalm//Facepalm/klo ngliat di reel mngkin lbh seru kali ya
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!