Lastri selalu di injak harga dirinya oleh keluarga sang suami. Lastri yang hanya seorang wanita kampung selalu menurut apa kata suami dan para saudaranya serta ibu mertuanya.
Wanita yang selalu melayani keluarga itu sudah seperti pembantu bagi mereka, dan di cerai ketika sang suami menemukan penggantinya yang jauh berbeda dari Lastri.
Namun suatu hari Lastri merasa tidak tahan lagi dan akhir mulai berontak setelah ia bercerai dengan sang suami.
Bagaimana cara Lastri membalas mereka?
Yuk simak kisahnya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LaQuin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15. Surat
Bab 15. Surat
POV Author
"Hendra, apa si Lastri itu benar-benar sakit?" Tanya Bu Ida melalui via telpon.
"Tadi waktu aku mau pergi dia memang tampak lemah sih Bu."
"Duh, jadi siapa dong yang bersihin rumah Ibu? Ibu capek hari ini Hendra."
"Suruh si Nilam dulu deh Bu. Biar Lastri istirahat sehari. Kalau sampai sakitnya berkepanjangan dan mesti di bawa ke dokter apalagi rumah sakit, kan jadi makin banyak biaya Bu."
"Bener juga ya. Ya sudah, Ibu suruh Nilam saja."
"Iya, Nilam aja. Nanti Lastri sehat aku suruh bantu Ibu lagi."
"Iya. Sudah ya."
Telpon di tutup.
Bu Ida pun beranjak dari duduknya guna menghampiri kamar anak bungsunya.
"Nilam...! Nilam...!"
Bu Ida setengah berteriak memanggil Nilam yang berada dalam kamarnya.
Tidak lama, wajah kusut Nilam pun terlihat dari balik pintu.
"Ada apa sih Bu? Ibu ganggu aja!" Kata Nilam dengan wajah cemberut.
Bu Ida tak kalah membalas raut wajah Nilam dengan tatapan tajam.
"Sana cuci piring, baju dan nyapu! Kerjaan mu cuma dekam aja dalam kamar. Emang kamu lagi ngeram?!"
"Dih Ibu, emang aku ayam yang lagi ngeram telor?! Kok jadi aku yang ngerjain pekerjaan rumah, kan harusnya Lastri dekil itu Bu?!"
"Dia lagi sakit. Mas mu suruh dia biar istirahat saja."
"Ih, enak bener dia!"
"Kalau sakitnya parah terus ke rumah sakit, kamu mau biayai pengobatannya?!"
"Ya tidak lah Bu! Itu kan tidak sedikit biayanya?! Mana punya aku uang banyak."
"Makanya jangan protes! Cepat sana, beres rumah!"
"Kenapa tidak Mbak Tatik aja. Toh si kembar yang bikin berantakin rumah?!"
"Enak saja kamu! Kan kamu yang di suruh Ibu." Sambar Tatik tidak ingin di salahkan.
"Loh, Mbak ikut andil dong?! Kan Mbak tiap hari nongkrongin rumah ibu. Pantas saja rumah disana bersih dan rapi, berantakinnya disini sih!"
"Kamu itu ya?!"
Tatik segera berdiri dan ingin memukul adiknya.
"Eh, sudah! Sudah!"
Wawan segera memeluk istrinya, untuk menahan agar tidak berdekatan dengan Nilam.
"Biarin Mas sesekali perlu ku jambak rambutnya!" Geram Tatik.
"Enak aja!" Sahut Nilam tidak mau kalah.
"Sudah Tik, kamu tidak perlu marah-marah. Nilam sana cepat pergi...!" Ujar Wawan.
"Sana Nilam!"
Kali ini Bu Ida ikut memerintahkan.
"Ck!!"
Mau tidak mau, Nilam mengikuti perintah Wawan dan ibunya. Ia pun berlalu dari hadapan mereka sambil menghentakan kaki.
***
Di tempat yang berbeda.
Dua orang insan yang sedang di mabuk asmara, Hendra dan Rara sedang mengamati para pekerja yang sedang sibuk bergelut dengan bata, semen dan juga pasir. Mereka sedang melihat pembangunan rumah baru yang sudah berjalan 60%. Rencananya rumah yang berukuran besar dan memiliki tiga kamar itu akan di tinggali oleh Hendra dan Rara yang akan segera di nikahi olehnya.
"Siapa yang nelpon sih Mas?" Tanya Rara ketika Hendra masukan kembali handphonenya ke saku celana.
"Ibu. Kerepotan tidak ada yang beresin rumah. Karena Lastri sedang sakit." Ungkap Hendra.
Rara cemberut mendengar nama Lastri.
"Kalau kita menikah nanti aku tidak mau ya Mas, jadi kayak istri kamu itu, pembantu!" Kata Rara dengan tatapan mengintimidasi.
"Ya tidak dong sayang..., bisa di marahi Papamu nanti aku biarin anak kesayangannya bekerja kasar."
"Harus serba praktis ya Mas, baju laundry, makan beli jadi dan bersihin rumah pakai jasa cleaning service." Tuntut Rara
"Iya sayang...."
Hendra menyanggupi permintaan Rara. Karena ia berpikir, mereka berdua pasti bisa hidup nyaman dengan dua gaji yang sama besarnya.
"Terus istri kamu itu bagaimana Mas?"
"Kamu tenang saja. Aku berencana membuat surat yang akan dia tanda tangani olehnya. Isinya penyataan bahwa dia menyetujui aku menikah lagi. Dengan dalih tugas dinas keluar kota, aku akan tinggal denganmu. Biar saja Lastri tetap menjadi istriku, sebagai pembantu Ibu."
"Terus rumah kalian gimana? Pasti nanti jadi besar Mas kalau membiayai dua dapur."
"Rumah itu akan aku sewakan. Hasilnya bisa buat ibu dan kamu. Si Lastri akan aku suruh tinggal di kamar belakang. Untuk dia dan Diah, kamar itu pasti cukup.
"Kok ibu juga dikasih sih Mas? Itu kan uang kamu?!" Protes Rara.
Hendra menghela napas. Berpikir sejenak untuk memberi pengertian kepada kekasihnya.
"Ibu selalu mendoakan kesuksesan ku sayang. Jadi sepantasnya aku berbakti kepada ibuku. Yang terpenting jatah mu lebih besar dari ibu. Sudah, jangan cemburu ya..."
Hendra mengambil dagu Rara yang berwajah di tekuk seribu. Lalu mencium pipinya hingga wajah itu berubah bersemu.
"Aku mau mempersiapkan dulu surat-surat yang akan di tanda tangani oleh Lastri. Kamu bantu ya?"
"Apa dia nanti tidak curiga Mas?"
"Surat untuk rencana kita akan aku selipkan di tengah. Jadi dia tidak akan mungkin membacanya. Aku juga akan membuat surat bohongan untuk ijin tugas ke luar kota."
Rara tersenyum mendengar rencana kekasihnya. Setelah mereka melihat rumah masa depan mereka. Mereka pun pergi ke rumah Rara untuk membuat berkas palsu untuk Lastri.
***
Malam kian larut. Hendra baru saja memarkirkan sepeda motornya ketika lampu di dalam rumahnya sudah gelap. Ia pun membuka pintu dengan kunci cadangan yang ia bawa, lalu masuk ke dalam rumah tanpa menimbulkan keributan.
Ini saat yang tepat! Batin Hendra.
Setelah memastikan kembali pintu terkunci, Hendra masuk ke dalam kamar mereka.
"Las, Lastri bangun sebentar."
Hendra berusaha membangun Lastri dengan menepuk pelan bahu istrinya.
Lastri langsung tersadar dengan mengerjap pelan. Lalu menoleh pada Hendra dengan temaram lampu yang remang-remang.
"Mas sudah pulang? Ada apa, apa Mas lapar?"
"Tidak. Aku hanya ingin minta tanda tanganmu. Ini surat persetujuan suami istri, kalau aku di pindah tugaskan ke luar kota."
Hendra menunjukkan beberapa lembar kertas di tangannya beserta pulpen yang telah di siapkan. Lastri pun membaca sekilas Kop surat itu dengan kesadaran yang belum penuh karena mengantuk.
"Sudah, jangan terlalu di baca. Tanda tangan saja. Besok pagi aku sudah harus memberikan kepada atasanku. Setelah tanda tangan, kamu bisa istirahat lagi. Besok kalau masih kurang sehat, tidak usah kerumah ibu dulu."
Lastri membaca sekilas isi surat di halaman pertama itu. Tertera data-data Hendra serta penyataan bahwa siap di pindah tugaskan. Ia pun lalu membubuhkan tanda tangannya sesuai yang Hendra arahkan.
"Tidur lah..." Ujar Hendra sambil membelai pucuk kepala Lastri sambil tersenyum setelah semua kertas sudah di tanda tangani oleh Lastri.
"Iya Mas."
Lastri ikut membalas senyum itu, dan kembali merebahkan dirinya. Dan tidak lama kemudian ia pun terlelap kembali dalam mimpinya.
Akhirnya, aku bisa menikahi Rara secara hukum, batin Hendra senang.
Bersambung...