Anthony Chavez, ibunya Barbara, istrinya Dorothy dan kedua anak lelakinya Ethan Chavez dan Fred Chavez, ditemukan polisi sudah tidak bernyawa dengan tubuh lebam kebiruan di dalam kamar. Keempat jenazah itu saling bertumpuk di atas tempat tidur. Di dalam tubuh mereka terdapat kandungan sianida yang cukup mematikan. Dari hasil otopsi menyatakan bahwa mereka telah meninggal dunia lebih dari 12 jam sebelumnya. Sedangkan putri bungsu Anthony, Patricia Chavez yang masih berusia 8 bulan hilang tidak diketahui keberadaannya. Apakah motif dari pembunuhan satu keluarga ini? Siapakah pelakunya? Dan Bagaimanakah nasib Patricia Chavez, anak bungsu Anthony? Temukan jawabnya di sini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bas_E, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28. Dia Kekasihku (?)
Pagi baru saja menjelang. Sinar mentari yang menyingsing di ufuk timur, masih tampak malu-malu. Angsa dan bebek sudah bermain-main di tepi sungai dengan riangnya sembari berburu sarapan pagi mereka. Kelinci mengintip dari liang rumahnya menyaksikan peri embun pagi sedang melaksanakan tugasnya. Pak berang-berang pun sangat bergiat pagi ini, mengumpulkan ranting-ranting untuk menyambut buah hatinya yang sebentar lagi akan lahir ke dunia. Membangun tempat yang aman agar penerusnya bisa tumbuh dan berkembang tanpa ada gangguan dari binatang buas.
Melihat keriuhan penghuni tepian sungai St Louis yang sudah beraktivitas di pagi buta, kelinci melompat dari lubangnya ingin ikut serta mengambil bagian dari penghuni lokal yang bersemangat. Namun, pada lompatan ke tiga, ia mendengar suara langkah kaki mendekat ke arahnya. Dengan terpaksa ia mengurungkan niatnya dan bergegas kembali ke dalam rumah untuk berlindung.
Kresek.. Kresek.. Kresek..
Benar saja. Sepatu boot wanita size 7 berbahan kulit lembu, sedang melangkah pasti di antara rimbunan rerumputan di tepi sungai St Louis. Dari ayunan langkahnya, ia seperti sudah mengetahui tempat yang akan ditujunya. Langkah itu berhenti di samping sesosok tubuh pria yang meringkuk tak bergerak di atas rerumputan yang basah. Dalam keremangan pagi, wanita itu kemudian terlihat berjongkok di samping tubuh pria itu seraya mengulurkan tangannya. Jari tengah dan telunjuk kanannya menekan lembut di sudut antara leher dan rahang bawah kanan. Bersamaan dengan itu, matanya memperhatikan perubahan angka jam digital di pergelangan tangan kirinya, sembari menghitung irama jantung dalam hati.
1
2
3 ...
"72 per menit." Gumamnya. "Bagus. Tetapi mengapa ia belum sadarkan diri?" (Hitungannya gini bestie, normalnya orang yang berusia di atas 10 tahun itu, memiliki 60 – 100 detak jantung per menit).
"Tuan.. Tuan Dwayne. Kau bisa mendengarkan aku?" Wanita itu menepuk lembut pipi kanan Dwayne, sembari memanggil-manggil namanya. "Tuan.. Tuan.. Bangunlah. Tuan.. Tuan Dwayne..." Ia mengulangi hingga beberapa kali.
"Tuan.. Tuan Dwayne. Bangunlah Tuan. Kita harus segera pergi dari sini."
Dalam kegelapan, sayup Dwayne mendengar seseorang memanggil-manggil namanya. Dwayne mencoba membuka kedua kelopak matanya yang terasa berat. Suara itu terasa begitu familiar baginya, seakan memberikan energi untuk bangun.
Matanya mulai bergerak, kemudian terbuka perlahan. Seberkas cahaya mengenai bola mata Dwayne, mengantarkan sinyal saraf yang mengirimkannya ke otak. Memberikan pesan tentang keberadaan cahaya, dan kekuatan cahaya yang datang. Lalu otak Dwayne mengirim balik sinyal dan memerintahkan sejauh mana otot disekitar iris harus mengerut.
Semua tampak menyilaukan dan buram. Dwayne mengerjapkan kedua kelopak matanya berulang, kemudian membuka kembali matanya perlahan.
Samar sesosok bayangan seorang wanita sedang berjongkok di hadapannya. Dwayne menutup lagi dan membuka matanya perlahan. Bayangan wanita itu semakin jelas. Wanita berambut coklat sebahu mengenakan hoodie krem dengan kaos putih di dalamnya dipadukan celana jeans biru, tepat berada di hadapannya. Pantas, suara itu terasa begitu familiar baginya. Wajah wanita itupun terasa tak asing, tetapi ia lupa di mana pernah bertemu dengan wanita itu sebelumnya?
"Aku di mana?" Dwayne berusaha duduk sambil memegang kepala belakangnya yang terasa berat.
"Kau ada tepi sungai, Tuan."
"Tepi sungai? Apa yang aku lakukan di sini?" Tanya Dwayne sambil meringis.
"Kau tidak apa-apa Tuan?" Wanita itu tidak menjawab pertanyaan Dwayne, tetapi malah balik bertanya.
"Kepalaku..." Matanya terpejam dengan ekspresi kesakitan.
"Kau bisa berjalan, Tuan? Kita harus segera pergi dari sini." Tanya wanita itu dengan nada khawatir.
"Aku rasa bisa. Tapi kepalaku.."
Bersama dengan itu, tiga orang pria terlihat sedang menyusuri tepian sungai Saint Louis dengan menggunakan perahu bermotor. Di dalam perahu mereka tersimpan peralatan memancing. Mereka menghentikan laju perahunya begitu melihat seorang pria dan wanita terlihat tidak baik-baik saja di tepi sungai.
"Kau baik-baik saja, Nona?!!" Teriak seorang pria yang mengenakan rompi pancing warna army.
Mendengar suara yang datang dari kejauhan, wanita itu bangkit dari jongkoknya.
"Aku baik-baik saja, Tuan !!!" Jawabnya singkat. Kemudian wanita itu melirik Dwayne yang duduk sambil memegang kepalanya, "Tetapi kekasihku tidak. Bisakah kalian membantuku membawanya ke mobil?" Lanjutnya.
"Baiklah, Nona. Tunggulah di sana !!" Rekan dari pria berompi itu menepikan perahu mereka. Pria berompi army serta seorang rekannya yang lain turun dari perahu. Mereka kemudian bergegas menuju ke arah Dwayne.
"Apa yang sudah terjadi, Nona?" Tanya pria berkemeja kotak-kotak.
"Aku tidak tahu Tuan. Aku menemukannya sudah dalam keadaan seperti ini."
"Tadi kau bilang pria ini kekasihmu. Kenapa sampai kau tidak mengetahui apa yang telah menimpanya?" Tanya pria mengenakan rompi army.
"Tadi malam setelah pertengkaran kami, kekasihku ini pergi dari rumah. Aku menunggunya sepanjang malam, tapi dia tidak kunjung pulang. Jam 3 dini hari, aku memberanikan diri mencarinya ke sini, karena setahuku dia sering ke tempat ini untuk menenangkan diri. Benar saja. Aku menemukannya tetapi sudah dalam keadaan seperti ini."
"Kalian bertengkar setelah berci nta terlebih dahulu?" Tanya pria berompi army sambil tersenyum.
"Kenapa Tuan berkata begitu?"
"Tanda di lehermu menjelaskan semuanya, Nona." Pria berkemeja kotak ikut menimpali." Seraya menunjuk lehernya sendiri.
"Astaga..." Wanita itu kemudian menaikan resleting dari zipper hoodie yang ia kenakan. Namun percuma saja, tanda memalukan itu tetap terlihat. Hoodie si a lan itu sama sekali tidak membantu.
^^^Hoodie Zipper adalah salah satu jenis Hoodie yang memiliki model dengan resleting pada bagian depannya yang dapat ditutup atau dibuka dan tentunya penutup kepala yang dapat dipakai dan dilepas.^^^
"Tuan, apakah kau tidak apa-apa?" Pria berompi kemudian berjongkok di samping Dwayne.
"Kepalaku, sakit sekali." Keluh Dwayne.
Mendengar jawaban Dwayne, pria itu memeriksa kepala bagian belakang, Dwayne. Benar saja, dia menemukan bekas pukulan benda tumpul di sana yang meninggalkan jejak kebiruan.
"Sepertinya seseorang telah memukulmu, Tuan. Apakah kau tidak mengetahuinya?"
"Hah.. Benarkah?"
"Benar, Tuan. Apakah ada harta benda milikmu yang hilang?"
"Aku tidak tahu."
"Nona, Apakah kau mengetahuinya?" Tanya pria itu lagi.
"Sepertinya pick up milik kekasihku tak ada. Aku tidak menemukan keberadaan mobil itu, ketika menuju ke tempat ini."
"Sebaiknya, Kau segera menghubungi polisi, Nona." Pria berompi memberikan saran. "Sepertinya kekasihmu baru saja dirampok. Lakukan juga visum untuk memperkuat bukti."
"Baik Tuan. Setelah ini aku akan membuat laporan polisi atas peristiwa yang menimpa kekasihku."
"Ya sebaiknya lakukan sesegera mungkin. Selagi bukti fisik masih melekat di tubuh kekasihmu ini."
"Terima kasih sarannya, Tuan. Aku akan melakukannya. Sekarang, bisakah Anda membantuku memindahkan kekasihku ke mobil yang ada di atas?"
"Tentu bisa, Nona."
Kedua orang itu kemudian memapah Dwayne menuju mobil milik Mia yang terparkir di ujung jembatan.
.
.
.