NovelToon NovelToon
GITA & MAR

GITA & MAR

Status: sedang berlangsung
Genre:Duda / CEO / Beda Usia / Cinta Seiring Waktu / Fantasi Wanita / pengasuh
Popularitas:4.2M
Nilai: 5
Nama Author: juskelapa

Gita yang gagal menikah karena dikhianati sahabat dan kekasihnya, menganggap pemecahan masalahnya adalah bunuh diri dengan melompat ke sungai.

Bukannya langsung berpindah alam, jiwa Gita malah terjebak dalam tubuh seorang asisten rumah tangga bernama Mar. Yang mana bisa dibilang masalah Mar puluhan kali lipat beratnya dibanding masalah Gita.

Dalam kebingungannya menjalani kehidupan sebagai seorang Mar, Gita yang sedang berwujud tidak menarik membuat kekacauan dengan jatuh cinta pada majikan Mar bernama Harris Gunawan; duda ganteng yang memiliki seorang anak perempuan.

Perjalanan Gita mensyukuri hidup untuk kembali merebut raga sendiri dan menyadarkan Harris soal keberadaannya.


***

Cover by Canva Premium

Instagram : juskelapa_
Facebook : Anda Juskelapa
Contact : uwicuwi@gmail.com

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon juskelapa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

27. Siang Di Rumah Harris

“Mbak Mar …,” panggil Chika di dapur. “Mbak Mar ke mana?” Bocah perempuan itu menerobos ke kamar asisten rumah tangga seperti biasanya. Mencoba mengetuk satu persatu pintu yang berada di lorong kecil.

Suara pintu mengayun terbuka dan wajah Mar muncul dari dalam. “Chika ke sini. Mari main dengan Hasan. Mbak Mar kira kamu tidur siang.” Mar membereskan pakaian Jaya dan Hasan ke dalam kabinet alumunium yang sebelumnya merupakan tempat berkas. Pagi tadi ia meminta Agung memindahkan kabinet itu dari gudang ke kamarnya. “Tadi gimana di sekolah? Happy, kan? Anak-anak itu memang sebaiknya banyak bermain dan tidur. Anak-anak tumbuh tinggi sewaktu tidur. Jadi, kamu harus banyak tidur.”

“Oh, gitu ya? Aku boleh tidur siang di sini?” Biar bareng dengan Hasan.” Chika memegang tangan Hasan yang tertidur lelap.

“Jangan tidur di sini, nanti bapak kamu marah.” Jaya memandang wajah Mar menunggu reaksi atas ucapannya.

“Sebaiknya memang jangan tidur di sini. Tapi sambil menunggu Mbak Mar beres-beres pakaian ini, kamu boleh baring-baring. Nanti kalau ketiduran Mbak bangunin.” Mar masih sibuk menyusun pakaian dan sisa jajanan Jaya ke dalam laci.

“Dibangunin? Kenapa nggak digendong?” tanya Chika.

“Memangnya biasa digendong? Memangnya Mbak Mar kuat?” Mar memandang Chika, juga memandang tangan dan kakinya untuk memperkirakan kesanggupannya menggendong dan menaiki tangga. Ia lalu menggeleng. “Kayaknya nggak sanggup. Tapi nggak apa-apa. Kamu tidur aja. Jangan pikirkan hal yang belum terjadi.”

Selama Mar menyelesaikan pekerjaannya menyusun pakaian ke kabinet, Chika terus berceloteh soal guru dan kegiatannya hari itu di sekolah. Sambil membereskan pakaian Mar bertanya pendapat Chika tentang guru dan teman-temannya. Mar juga bertanya tentang apa yang dipikirkan Chika soal sekolahnya. Chika menjawab dengan lancar. Terkadang Jaya ikut menimpali percakapan itu dan memberi pendapatnya.

“Mbak Mar sekarang ngomongnya keras. Kurang lembut,” kata Chika.

“Pekerjaan Mbak Mar itu dulunya berdagang. Kalau kamu mau yang lembut, kamu harus ketemu sama pegawai bank.” Mar tergelak sesaat karena apa yang ia katakan.

“Aku sekarang suka karena rumah jadi rame. Kenapa nggak dari dulu aja Mbak Mar ajak Jaya dan Hasan tinggal di sini?” Chika tadi duduk kini sudah berbaring di sebelah Hasan. Jaya pun sudah bersandar dengan bantal yang ia letakkan ke kepala ranjang.

“Kenapa nggak dari dulu ya ….” Mar memandang Chika. “Mungkin karena belum waktunya aja.” Mar mengedipkan mata pada Chika.

“Aku sedih karena apa-apa sendirian. Nggak ada teman. Semuanya sendiri. Teman-temanku selalu ditemani mamanya. Mereka sering kasian liat aku.” Chika terus berceloteh meski matanya sudah terkantuk-kantuk.

Mar menutup laci kabinet dan menghempaskan badannya di dekat Chika. “Sebenarnya orang-orang itu nggak perlu kasian sama orang yang apa-apa sendiri. Karena yang dikasihani itu harusnya orang yang mau apa-apa nggak bisa sendirian. Gimana? Bener, nggak?”

“Kayak gitu, ya?” Chika menggenggam tangan Hasan yang tidur di sebelahnya.

Jaya baru tertidur. Mar lalu merangkak ke dekat Chika. “Kamu udah ngantuk. Ayo, Mbak Mar anter ke kamar. Mbak nggak kuat kalau mesti gendong kamu dari sini.”

Suara pintu yang diketuk membuat Mar dan Chika memandang pintu.

“Chika sudah tidur? Kalau sudah biar saya yang gendong ke kamarnya.”

Mar terkesiap.

Harris? Harris ke kamar asisten rumah tangga? Memangnya nggak kerja?

Sebelum Mar membuka pintu Chika menyahut lebih dulu. “Aku belum tidur, Pi. Tapi aku mau digendong.”

Mar membuka pintu lebar-lebar dan langsung beradu pandang dengan Harris yang masih rapi dengan setelannya pagi tadi.

“Ehem! Saya izin masuk mau gendong Chika dan bawa ke kamarnya.” Harris menunjuk Chika sedikit canggung.

Mar menepi dan sedikit menunduk dengan sikap hormat. “Silakan, Pak,” ucap Mar pelan.

Harris masuk ke kamar Mar lengkap dengan sepatunya. Dengan setengah berlutut ia mengangkat Chika dan mendekapnya. “Gimana sekolahnya hari ini?”

Mar menepi dari ambang pintu. Membiarkan Harris melewatinya bersama Chika dalam gendongan.

“Teman-teman heran liat kuncirku. Mereka penasaran siapa yang bikinin. Bu Guru jelasin ke teman-teman kalau kuncirku itu perpaduan antara kepang dan kuncir.” Chika lalu tertawa kecil. “Ngomong-ngomong … kenapa Papi pulang kerja siang-siang?”

Mar sedang memejamkan mata di ambang pintu. Menikmati percakapan ayah-anak dan wangi parfum Harris yang tinggal di kamarnya.

Pertanyaan Chika membuat langkah kaki Harris terhenti. “Papi pulang lebih cepat? Oh, iya … hampir lupa.” Harris memutar langkah menatap Mar yang masih memejamkan mata dengan hidung mengendus-endus. “Ehem! Mar! Satu jam lagi temui saya di ruang kerja.” Tanpa menunggu Mar mengatakan iya atau tidak Harris pergi. Kepalanya menggeleng melihat kelakuan Mar. Lebih menggeleng lagi karena mengingat obrolan Mar dan Chika tadi.

Memang benar Mar sedang kerasukan arwah wanita bernama Gita itu, pikir Harris. Mar yang sekarang malah sudah menjadi ahli filsuf. Tahu apa Mar tentang merangkai kata sebijak itu soal kesendirian? Suara sepatu Harris menghilang di lantai dua.

Mar sempat gelagapan saat Harris tiba-tiba meminta untuk ditemui di ruang kerja. Spontan mendatangi cermin dan mengecek penampilan.

Mau dicek seratus kali muka Mar gini-gini aja. Kenapa aku harus salah tingkah?

Walau begitu Mar tetap merapikan rambut dan pakaiannya.

Aku harus ngomong ke Surti sebelum naik ke ruangan Pak Harris. Kira-kira … mau apa Harris manggil aku? Mau ngobrolin apa? Apa biasanya Harris dan Mar sering ngobrol?

Surti tidak perlu waktu lama menjawab ketukan Mar di pintu kamarnya. “Ada apa, Mar? Aku baru mau tidur. Pak Harris sudah ketemu Chika? Tumben banget hari ini pulang cepat.” Wajah Surti sedikit mengantuk.

“Asisten rumah tangga di sini memang biasa tidur siang?” Mar memang heran. Semua pekerja di rumah itu terlihat santai.

“Kalau pekerjaan udah selesai ya tidur siang. Memangnya mau ngapain lagi? Ikut bangun ibukota baru? Kamu mau apa? Pergi lagi? Anakmu, kan, udah di sini.”

“Memangnya semua pekerjaan udah selesai? Bisa santai gitu.” Mar memang merasakan rumah Harris sangat sepi. Jauh berbeda dengan rumah-rumah orang kaya yang pernah ia datangi. Para asisten rumah tangga hilir-mudik karena memiliki lebih dari lima orang.

Surti berdecak seraya menggeleng. “Makin hari makin aneh kamu ini. Itu adalah pertanyaanku di hari pertama bekerja di sini. Kamu ingat?”

Mar menggeleng.

“Kamu bilang Pak Harris nggak suka berisik dan keramaian. Jadi beliau lebih memilih menggaji Agung dua kali lipat untuk jadi satpam dan bersih-bersih, aku buat masak dan dapur, lalu kamu buat jaga Chika dan mengurus pakaian. Udah? Kamu jangan pergi keluar. Nanti bisa dipecat. Kasian anakmu.”

Atas nama Mar, Gita yang berada dalam tubuh Mar menyetujui apa yang disampaikan Surti. Ia akan menjaga pekerjaan Mar sebisa mungkin. Tidak salah kalau Surti mengatakan majikan mereka sangat baik. “Sekarang anakku udah di sini, makanya permintaanku sekarang beda. Aku mau ke lantai dua. Lihat Chika di kamarnya, lalu mau nemuin Pak Harris di ruang kerjanya. Bantu denger suara dari kamarku. Siapa tau Hasan bangun dan nangis. Itu aja.”

“Itu aja?” ulang Surti.

“Sebelum ke atas aku mau ke toilet dulu. Mumpung Pak Harris di atas. Aku nggak bisa di toilet jongkok. Kaki pegel. Apalagi kalau kakinya pendek dan bulet begini.” Mar menunjukkan kakinya pada Surti.

“Kamu bisa dipecat kalau ketauan. Toilet di depan cuma buat tamu.” Surti tetap bersikeras.

Larangan Surti sia-sia. Mar sudah tergopoh-gopoh menuju toilet yang letaknya dekat ruang tamu.

“Aduh … lega,” ucap Mar setelah duduk di WC yang dilengkapi dengan bidet otomatis dengan tombol-tombol. Sejak tiba di rumah itu Mar jatuh cinta dengan toilet tamu di ruang depan.

Selalu wangi. Pengharumnya mahal. Ada lukisan. Sabun cuci tangan mahal. Lantainya kering. Berasa duduk di galeri Plaza Indonesia.

Mar memejamkan mata. Menekan tombol flush berkali-kali dan memainkan tombol bidet otomatis. Kebutuhannya di toilet sudah selesai tapi ia masih ingin duduk.

Kayaknya aku bisa me time di sini. Ternyata ada untungnya si Harris nggak suka rumahnya ramai.

Suasana siang itu sangat sepi. Sejak kejadian aneh yang menimpanya, beberapa menit di toilet dengan pengharum aromaterapi membuat kepala Mar seperti dipijat. Sampai ketukan sepatu wanita yang mendekat ke toilet membuatnya terkesiap.

TOK TOK TOK

Mar membekap mulut.

Itu siapa? Aduh ….

“Ada siapa, sih? Biasa nggak pernah dikunci. Ck.” Karin yang baru tiba beberapa saat yang lalu ingin mencuci tangan dan touch up makeup.

Suara perempuan? Perempuan yang sedang getol-getolnya pedekate sama Harris?

“Siapa di dalam?” Suara Karin kembali terdengar.

Mar sontak berdiri, lalu mondar-mandir di dalam. Kalau ia keluar sekarang, bisa-bisa terjadi keributan. Wanita itu bisa mengomelinya dan sedikit kemungkinan kalau ia tidak menjawab omelan itu. Mar yang asli bisa benar-benar dipecat.

Di dalam toilet, Mar menempelkan telinganya di daun pintu.

“Mas … Mas Harris! Pintu toilet ini kayaknya rusak. Apa aku pakai toilet lain? Yang di kamar?”

Mar menjauhkan telinganya dari pintu karena Karin terus menggedor-gedor.

Mae mencibir dan mendengus tanpa suara.

Mas Harris...Mas Harris .... Mau ke toilet kamar? Jangan pake alasan abad pertengahan, deh, lo! Kamar siapa maksud lo? Kamar Surti aja sana!

“Pintunya kemarin baik-baik aja, kok. Coba kamu minggir sedikit. Biar aku liat.” Suara Harris terdengar mendekat.

Harris udah dateng. Ini kesempatan untuk keluar. Perempuan itu pasti nggak akan berani ngomel di depan Harris. Pasti maunya terlihat elegan.

Mar membuka pintu dengan tiba-tiba. Harris dan Karin sedang berada di depan pintu toilet. Dengan tangan Harris berada di pundak Karin. Pria itu belum sempat menggeser tubuh Karin untuk mengecek kunci pintu toilet tamu.

“Ehem!” Mar sedikit membungkuk. “Sekarang keran air wastafel sudah saya perbaiki. Bisa dicek,” kata Mar.

“Keran rusak? Kamu benerin keran air?” tanya Harris dengan wajah bingung. Benar-benar tidak mengantisipasi bahwa salah satu asisten rumah tangganya berada di dalam kamar mandi itu.

Mar mengangguk. “Benar, Pak. Tadi kerannya rusak dan baru saya perbaiki. Bapak bisa cek ke dalam. Tapi sendirian aja. Toilet ini terlalu kecil untuk berdua.” Mar menatap tangan Harris di bahu Karin.

Sadar tangannya sedang menjadi objek tatapan Mar, Harris langsung melepaskan bahu Karin.

“Oke. Sudah beres. Saya permisi dulu kalau gitu.” Mar kembali mengangguk.

“Nanti ke ruangan kerja saya,” seru Harris di belakang punggung Mar.

Mar berbalik dan berjalan mundur. “Hubungi saya kalau tamu Bapak udah pulang.” Mar kembali membungkuk tanpa menghentikan langkahnya.

Dari kejauhan Mar mendengar Karin mengatakan, “Itu pembantu Mas? Nggak ada sopannya! Kayaknya perlu diganti!”

To be continued

1
Jamiatun Yusuf
aq terharu,🥺🥺🥺🥺🥺
Henny Haerani
dua orang yg saling menyayangi terpisahkan karena keadaan, miris sekali kisah cinta Gita jalannya tak pernah mudah jauh dari kata mulus. ujiannya berat banget walaupun diantara Pak Harris, Gita, dan Chika saling menyayangi dan mencintai dengan tulus. semoga kedepannya Bu Helena menyadari klw Chika jauh lebih baik ada dlm pengampuan Ayahnya.
Henny Haerani
mestinya neneknya introspeksi diri kenapa Cucu nya menjauhinya, biasanya anak kecil lebih peka tau mana yg tulus dan mana yg modus. apalagi ini sm nenek kandung dari Ibu pula, ini sih kayaknya Chika akan dimanfaatkan sm neneknya buat meraih harta kekayaan Harris dikemudian hari. keliatan banget itu si nenek sangat terobsesi.
ᴰᴱᵂᴵ 𝒔𝒂𝒓𝒂𝒔𝒘𝒂𝒕𝒊🌀🖌:
keren pak Harris
ᴰᴱᵂᴵ 𝒔𝒂𝒓𝒂𝒔𝒘𝒂𝒕𝒊🌀🖌:
wkwkwk kok lucu ucapan surti
ᴰᴱᵂᴵ 𝒔𝒂𝒓𝒂𝒔𝒘𝒂𝒕𝒊🌀🖌:
pembantu nya keren kan
azkayramecca
terima kasih kak Njus🙏❤️
ᴰᴱᵂᴵ 𝒔𝒂𝒓𝒂𝒔𝒘𝒂𝒕𝒊🌀🖌:
sungguh kalian berdua berbeda bagai langit dan bumi
ᴰᴱᵂᴵ 𝒔𝒂𝒓𝒂𝒔𝒘𝒂𝒕𝒊🌀🖌:
pabalikbek, lieur dah wkwkwk
ᴰᴱᵂᴵ 𝒔𝒂𝒓𝒂𝒔𝒘𝒂𝒕𝒊🌀🖌:
bingung ya pak Harris
ᴰᴱᵂᴵ 𝒔𝒂𝒓𝒂𝒔𝒘𝒂𝒕𝒊🌀🖌:
kalau kangen orang yang telah tiada susah ketemu walaupun dalam mimpi
ᴰᴱᵂᴵ 𝒔𝒂𝒓𝒂𝒔𝒘𝒂𝒕𝒊🌀🖌:
jawaban yang gak masuk di akal
ᴰᴱᵂᴵ 𝒔𝒂𝒓𝒂𝒔𝒘𝒂𝒕𝒊🌀🖌:
apa hubungan nama panggilan dengan pusing, anneh pak Harris ini
ᴰᴱᵂᴵ 𝒔𝒂𝒓𝒂𝒔𝒘𝒂𝒕𝒊🌀🖌:
bingung kan pak Harris
ᴰᴱᵂᴵ 𝒔𝒂𝒓𝒂𝒔𝒘𝒂𝒕𝒊🌀🖌:
woww bahasa nya keren
ᴰᴱᵂᴵ 𝒔𝒂𝒓𝒂𝒔𝒘𝒂𝒕𝒊🌀🖌:
ini gita banget, mar gak berani seperti itu
ᴰᴱᵂᴵ 𝒔𝒂𝒓𝒂𝒔𝒘𝒂𝒕𝒊🌀🖌:
wkwkwk gak mempan ya
ᴰᴱᵂᴵ 𝒔𝒂𝒓𝒂𝒔𝒘𝒂𝒕𝒊🌀🖌:
siap siap kena omel nih
ᴰᴱᵂᴵ 𝒔𝒂𝒓𝒂𝒔𝒘𝒂𝒕𝒊🌀🖌:
wkwkwk mar pasti terpesona nih
ᴰᴱᵂᴵ 𝒔𝒂𝒓𝒂𝒔𝒘𝒂𝒕𝒊🌀🖌:
bahasa mu mar, ketinggian buat jaya
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!