Rania terjebak dalam buayan Candra, sempat mengira tulus akan bertanggung jawab dengan menikahinya, tapi ternyata Rania bukan satu-satunya milik pria itu. Hal yang membuatnya kecewa adalah karena ternyata Candra sebelumnya sudah menikah, dan statusnya kini adalah istri kedua. Terjebak dalam hubungan yang rumit itu membuat Rania harus tetap kuat demi bayi di kandungannya. Tetapi jika Rania tahu alasan sebenarnya Candra menikahinya, apakah perempuan itu masih tetap akan bertahan? Lalu rahasia apakah itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon TK, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
28 Ruangan Pribadi nya
Merasa bosan terus diam di kamar, Rania memutuskan keluar berkeliling rumah itu. Ia terus memperhatikan sekitar khawatir bertemu Livia. Wanita itu sepertinya tidak bekerja, jadi diam di rumah dan kemungkinan mereka bertemu pun cukup besar.
"Eh pintunya sekarang gak dikunci," ucap Rania.
Ada satu ruangan di lantai dua paling ujung yang belum pernah Ia lihat dalamnya karena dikunci. Tetapi sekarang tidak, membuat Rania yang dari lama penasaran memutuskan masuk. Ternyata ruangannya lumayan luas, tapi hanya ada satu piano besar berwarna putih di tengah-tengah.
Rania yang merasa terpukau pada benda itu mendekat, dengan sedikit gugup menekan satu tuts sampai terdengar bunyinyabunyinya yang menggema. Ruangan ini terlihat nyaman sekali untuk bermain piano, apalagi dindingnya terbuat dari kaca, jadi langsung melihat pemandangan keluar.
"Piano ini punya siapa ya? Apa hanya pajangan saja di rumah ini?" tanyanya seorang diri.
Biasanya orang kaya kan begitu, membeli barang mewah walaupun jarang digunakan hanya sebagai hiasan tambahan di rumah. Rania lalu duduk di kursi yang berhadapan dengan piano itu, Ia jadi semakin tertarik memainkannya.
"Di sini ada buku cara mainnya, tapi aku tidak mengerti."
Rania memutuskan membacanya dahulu, Ia memilih salah satu lagu yang menurutnya lumayan gampang. Rania lalu mempraktekan nya, dan merasa cukup puas Ia bisa tahu dalam waktu cepat. Ya walaupun memang masih sedikit kikuk dan perlahan.
Ceklek!
"Apa yang kamu lakukan di sini?!"
Suara keras itu membuat Rania tersentak sampai menghentikan kegiatannya. Ia melihat Livia di ambang pintu sambil menatapnya tajam, membuat Rania panik sendiri lalu berdiri dari duduknya.
"Kenapa kamu bisa masuk kesini?" tanya Livia mendekat.
"Ma-maaf mbak, pintunya tidak dikunci jadi saya--"
"Kamu itu tidak sopan ya main masuk ruangan, kamu tahu gak ini ruang pribadi saya?" omel Livia.
Kedua mata Rania terbelak, "Maaf mbak, saya tidak tahu kalau ini ruangan pribadi mbak Livia."
"Pembantu saja tidak saya izinkan sembarangan masuk kesini, apalagi orang asing seperti kamu."
Rasanya Rania malu sekali mendengar itu, Ia sudah bersikap tidak sopan di sini. Tetapi sungguh Rania tidak tahu kalau ruangan ini punya Livia, Ia kira hanya tempat bersantai saja. Melihat ekspresi marah di wajah Livia, sepertinya kesalahannya sangat fatal.
"Kamu bahkan baru beberapa hari di sini, tapi sudah bersikap tidak sopan ya. Bagaimana dengan nanti, apa kamu memang ada rencana menguasai rumah ini?" tanya Livia menuduh.
"Tidak mbak, saya tidak seperti itu."
"Oh ya? Kalau begitu mungkin kamu katro, ya maklum saja orang desa dan baru tinggal di rumah mewah begini."
Sepertinya begitu, walau sedikit sakit hati tapi Rania mengakui jika dirinya sangat senang bisa tinggal di rumah besar dan mewah begini. Impiannya terwujud, siapa juga yang tidak senang. Tetapi kenapa caranya harus seperti ini sih?
"Sekali lagi saya minta maaf mbak Livia, saya janji tidak akan masuk ke sini lagi," ucap Rania.
"Awas saja kalau kamu main masuk ke ruang pribadi saya ini. Apa kamu juga sempat memainkan piano itu?"
"I-iya, saya--"
"Astaga benar-benar ya, membuat saya kesal saja. Saya tidak suka ada orang yang menyentuh piano saya itu."
"Maaf mbak." Hanya kata itu saja yang bisa Rania ucapkan, sungguh Ia benar-benar merasa bersalah.
"Sekarang pergi, jangan masuk lagi kesini," usir Livia.
Rania mengangguk lalu berjalan cepat untuk keluar dari ruangan itu, tapi saat melewati Livia, langkahnya terhenti mendengar perkataan wanita itu.
"Satu lagi, saya juga tidak suka kamu panggil saya mbak. Seperti pembantu saja," ketus Livia.
"Lalu saya panggilnya apa?"
"Terserah, tapi jangan mbak."
"Kakak?"
"Ck saya bukan Kakak kamu, cepat pergi!"
"I-iya."
Sesampainya di dapur, Rania mencoba mengatur nafasnya yang memburu. Ia menyentuh dadanya yang berdetak cepat, Rania belum tenang sepenuhnya karena kejadian memalukan tadi. Ia malu sekali bersikap tidak sopan begitu, walau atas ketidaktahuannya juga.
"Nona dari mana? Kok kelihatan capek begitu?" tanya bi Nina menghampiri.
"Gak dari mana-mana kok mbok."
"Masa?"
"Hm, tadi cuma ada sedikit kejadian di atas."
"Apa?"
"Em saya gak sengaja masuk ke ruangan yang ada piano itu, ternyata itu ruangan pribadi Kak Livia. Pas tahu saya di sana, dia marah besar dan omelin saya. Tapi sungguh, saya gak tahu itu ruangan khusus dia," cerita Rania.
Mbok Nina ikut terkejut, "Ya ampun, tapi Nona baik-baik saja, kan?"
"Aku gak papa kok mbok, tapi aku ngerasa gak enak sama Kak Livia karena masuk ke ruangan pribadi dia."
"Maaf ya mbok juga gak bilang ini, tapi mbok kira ruangan itu selalu dikunci jadi Nona pun tidak akan bisa masuk."
"Tapi ruangannya bersih, apa mbok sering bersih-bersih di sana?"
"Hanya seminggu sekali saja, Nyonya Livia juga melarang mbok sembarangan ke sana. Ruangan itu memang khusus Nyonya Livia."
"Apa Kak Livia suka main piano?"
"Suka kok, mbok sering dengar suaranya sampai ke lantai bawah juga. Nona pasti tidak tahu, kalau dulu Nyonya itu seorang pianis di teater."
"Wah keren."
"Dan di sana juga dia bertemu dengan Tuan Candra."
"Benarkah?"
"Yang mbok dengar begitu, jadi Tuan Candra sering datang ke teater itu hanya untuk melihat pertunjukan dari Nyonya Livia."
Membayangkan itu menurut Rania ceritanya cukup romantis, seperti di novel saja. Rania jadi semakin penasaran dengan kisah dua orang itu. Apakah dirinya aneh?
"Aku kira Mas Candra di jodohkan dengan Kak Livia." Biasanya orang kaya seperti itu, kan?
"Tidak, mereka bahkan sempat pacaran selama satu tahun. Lalu Tuan Candra melamar Nyonya di Paris, dan mereka melangsungkan pernikahan cukup mewah di Bali."
"Waw."
Seperti orang kaya lainnya, terkesan mewah dan sangat romantis. Rania lalu membandingkan dengan dirinya, merasa kasihan sendiri tapi juga sadar diri. Lagi pula dirinya bisa dengan Candra juga kan karena kecelakaan, bukan saling mencintai.
"Katanya mereka sudah menikah lumayan lama ya mbok?" tanya Rania.
"Iya, sudah lima tahun lah."
"Maaf kalau boleh tahu, apa Mas Candra dan Kak Livia punya anak?"
Mbok Nina menggeleng, "Sampai sekarang belum, mungkin memang belum Tuhan berikan."
Rania mengangguk-anggukan kepalanya menyetujui, lagi pula kan keturunan itu yang menentukan Tuhan. Rania juga tidak mau banyak bertanya lagi tentang hal pribadi itu, karena rasanya tidak sopan dan bukan urusannya juga.
"Mbok aku boleh minta dibuatin jus jeruk gak?"
"Boleh dong Nona, jangan malu-malu gitu kalau minta apa-apa sama bibi ya."
"Hehe makasih mbok."
Maklum saja, dulu kan Rania bekas pembantu jadi sekarang saat memerintah begitu rasanya tidak terbiasa dan takut tidak sopan. Walaupun sekarang statusnya sudah naik, Rania tidak akan bersikap semena-mena.