Cinta memang gila, bahkan aku berani menikahi seorang wanita yang dianggap sebagai malaikat maut bagi setiap lelaki yang menikahinya, aku tak peduli karena aku percaya jika maut ada di tangan Tuhan. Menurut kalian apa aku akan mati setelah menikahi Marni sama seperti suami Marni sebelumnya???
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Its Zahra CHAN Gacha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22. Kematian
Pagi itu Surti segera berkemas setelah mendengar pemberitahuan dari pengeras suara Masjid.
"Siapa yang meninggal Bu?" tanya Amar
"Parjo keponakan Kartini," jawab Surti
"Tunggu bentar aku tak siap-siap," jawab Paijo segera masuk ke kamarnya
Sementara itu Amar baru membuka matanya. Ia merasa sangat lemas hingga malas bangun.
"Kamu gak kerja Mas?" tanya Marni
"Gak tahu dek, badanku lemes banget," ucap Amar membuat Marni langsung menghampirinya
Wanita itu duduk disampingnya dan meletakan telapak tangannya di kening sang suami.
"Gak panas kok, tapi wajahmu pucat mas," ucap Marni memperhatikan wajah pucat suaminya
"Mungkin karena aku kelelahan kemarin dek,"
"Kalau begitu kamu izin saja mas, biar kita periksa ke dokter saja. Aku takut kamu kenapa-kenapa," ucap Marni
"Gak usah dek, aku gak papa kok, hanya kelelahan saja. Setelah istirahat pasti kondisi ku baikan lagi," jawab Amar
Ia kemudian menarik selimutnya dan tidur lagi. Sementara Marni segera bergegas ke dapur untuk memasak.
Suasana rumah berubah sepi. Amar tiba-tiba merasakan tubuhnya menggigil, hingga ia menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut. Namun rasa dingin itu tak kunjung menghilang meskipun ia sudah memakai jaket dan selimut berlapis.
"Ah sial, apa aku akan mati!" ia memperhatikan luka lebam di tangannya yang berubah semakin menghitam
Wajahnya tiba-tiba memucat. Ia buru-buru bangun dari tidurnya dan berganti pakaian.
"Aku harus menemui Pak Dhe, aku tidak boleh mati sekarang!" Amar segera memakai sepatunya dan berlari meninggalkan kamarnya
Marni yang melihat suaminya pergi segera mengejarnya.
"Katanya sakit, kok malah mau kerja?" tanya Marni
"Sepertinya Mas harus kerja dek, kalau dibawa istirahat terus takut malah makin parah," jawab Amar
Marni mengangguk pelan, ia tak bisa melarang suaminya bekerja. Ia pun mencium punggung tangan suaminya sebelum Amar pergi.
Tiba-tiba tatapan mata Marni berubah setelah Amar mencium keningnya.
"Nek gak kuat yo ojo dipekso le, urip mati ne menungsa iku kuasane Gusti Allah,"
(Kalau tidak kuat jangan dipaksa nak, hidup mati seseorang itu kehendak Gusti Allah)
*Deg!
Tubuh Amar bergetar melihat sorot mata wanita tua di depannya. Wanita itu seolah tak suka melihatnya. Amar yang ketakutan pun buru-buru berlari meninggalkannya.
Seperti dikejar setan, Amar mengendarai sepeda motornya dengan kecepatan tinggi.
*Ciiitt!!
*Braakkkk!!
Semua orang berlari ke parkiran saat mendengar suara motor jatuh. Amar berusaha bangun dari himpitan kedua sepeda motor yang menindihnya.
"Astaghfirullah, Amar!" seru Ruri langsung membantu mengangkat sepeda motor yang menimpa sahabatnya itu.
"Kamu tidak papa kan?" tanya Ruri membantunya berdiri
Amar mengangguk, beberapa orang berdatangan membantu menggeser sepeda motornya.
Ruri membawa Amar ke klinik. Darah segar mengucur dari lengan Amar. Seorang perawat dengan sigap langsung mengobati lukanya.
"Sebaiknya kamu pulang saja Mar, kondisimu gak memungkinkan untuk bekerja," ucap Ruri
"Dimana Damar?" tanya Amar
"Hari ini di ditugaskan untuk mengecek kantor cabang, kenapa memangnya??"
"Kamu tidak mau pulang, masih takut dengan Marni??" tukas Ruri seperti tahu apa yang dipikirkan oleh sahabatnya
Melihat respon Amar membuat Ruri semakin kesal.
"Haish sialan, dasar asu, kalau begini akhirnya mending kamu ceraikan saja si Marni itu Mar, percuma juga punya istri cantik kalau membahayakan nyawa kita," gerutu Ruri
"Diam brengsek, gak usah ikut campur urusan ku!" sahut Amar mendorong Ruri
"Bukan gitu Mar, aku cuma kasian lihat lo kaya gini," imbuhnya
"Aku gak butuh belas kasihan mu!" sahut Amar
Ia berjalan meninggalkan klinik dengan langkah sempoyongan hingga jatuh ke lantai. Ruri menghampirinya dan membantunya berdiri meskipun Amar menolaknya. Meskipun kesal dengan sikap keras kepala Amar, tetap saja Ruri tak tega untuk membiarkannya pergi sendiri.
"Mau aku antar ke rumah Damar?"
"Untuk saat ini hanya rumah itu yang membuat ku nyaman,"
Tanpa basa-basi, Ruri mengajak Amar keluar klinik. Ia segera memarkirkan Rx King miliknya dan melesat meninggalkan halaman klinik.
Amar memeluk erat sahabatnya itu. Tubuhnya menggigil kedinginan meskipun cuaca begitu terik.
Keringat dingin membuat bajunya basah kuyup. Sesekali ia mulai mengigau membuat Ruri sengaja mengerem mendadak untuk menyadarkannya.
"Sebentar lagi Mar, kamu harus kuat. Kamu gak boleh mati dulu, kasian Marni nanti menjanda lagi!" teriak Ruri
Ia bahkan terus menambah kecepatan sepeda motornya agar bisa cepat tiba di kediaman Ustadz Rasyid.
*Ciittt!!
Ruri segera melompat turun dari sepeda motornya dan memapah Amar.
Rasyid yang sedang menyiram tanaman bergegas menghampirinya.
"Ada apa ini?" sapanya
"Amar Pak Dhe!" seru Ruri kemudian membaringkan Amar ke sofa
"Kenapa kamu le?"
Rasyid menatap wajah Amar yang tampak sayu.
"Apa aku akan mati?" tanya Amar dengan suara lirih
Rasyid tertawa mendengar ucapan Amar.
"Kamu itu terlalu banyak nonton film horor. Kamu tidak akan mati secepat itu le. Sebaiknya kamu istirahat saja di kamar Damar, tapi jangan lupa setelah magrib kamu harus pulang. Ingat ini adalah waktunya untuk menangkap siluman itu!" ucap Rasyid
"Inggih pak Dhe,"
Dibantu Ruri, Amar bergegas menuju ke kamar Damar. Ia kemudian membaringkan tubuhnya menatap langit-langit kamar yang dipenuhi dengan ayat-ayat Al-Qur'an. Suasana sejuk di kamar Damar membuat siapapun akan mudah tidur. Aroma wangi dan sejuknya pendingin ruangan membuat Amar pun terlelap.
Melihat sahabatnya terlelap Ruri pun kembali ke kantor. Sementara itu Rasyid menghampiri Amar yang sudah meringkuk di bawah selimut. Lelaki itu mengusap luka lebam di lengannya sambil membaca ayat-ayat suci Alquran.
Tiba-tiba Amar pun merintih dan menggeliat kesakitan. Rasyid mengambil tisu untuk mengusap keringat di wajahnya.
"Semoga kamu bisa melawannya le, aku tahu kamu kuat. Dengan cinta yang kamu miliki untuk wanita itu aku yakin kamu bisa mengalahkannya,"
Kumandang adzan Maghrib membuat Amar reflek membuka matanya.Rasyid tersenyum simpul menatapnya.
"Kamu sudah enakan le?" tanyanya menepuk pundaknya
"Alhamdulillah Pak Dhe," jawab Amar
"Syukurlah, pakai saja motor Pak Dhe, motor kamu masih di bengkel,"
"Inggih, makasih banyak Pak Dhe. Amar pamit dulu, assalamualaikum...."
"Waalaikumsalam,"
Rasyid memberikan kunci motornya dan mengantar Amar sampai depan rumah.
"Semoga semuanya berjalan lancar le...."
Setibanya di rumah Amar segera mengambil air wudhu dan sholat. Sementara itu sambil menunggu suaminya sholat, Marni merapikan tempat tidurnya.
Wanita itu kemudian duduk di depan meja riasnya dan merapikan rambutnya.
"Makanannya sudah aku siapkan Mas, ayo makan dulu," ucap Marni saat melihat Amar selesai sholat
"Mas sudah makan dek di kantor, aku mau langsung tidur saja," jawab Amar
Ia kemudian merapikan alat sholatnya dan segera berbaring di tempat tidur.
"Kamu masih sakit??" tanya Marni mengusap keningnya
Amar mengangguk pelan.
"Tangan kamu kenapa!" seru Marni saat melihat lengan Amar yang dibalut perban.
Wanita itu terlihat begitu khawatir hingga hampir menangis.
"Aku jatuh dari motor dek, tapi gak papa kok cuma lecet dikit,"
Amar memeluk erat Marni yang mulai terisak. Marni memang terlalu lembut, ia mudah menangis saat melihat sesuatu terjadi kepada orang yang ia sayang.
"Jangan sedih sayang, Mas gak papa kok,"
Amar mengusap lembut kepalanya.
*Dug, dug, dug!!
Amar melepaskan pelukannya dan bergegas membuka pintu kamarnya.
Paijo berdiri di depan pintu dengan wajah tegang.
"Kamu harus pergi sekarang,"