Aura, gadis berusia 26 tahun yang selama hidupnya tidak pernah memahami arti cinta.
Karena permintaan keluarga, Aura menyetujui perjodohan dengan Jeno.
Akan tetapi, malam itu akad tak berlanjut, karena Aura yang tiba-tiba menghilang di malam pengantinnya.
Entah apa yang terjadi, hingga keesokan harinya Aura justru terbangun di sebuah kamar bersama Rayyan yang adalah anak dari ART di kediamannya.
"Aku akan bertanggung jawab," kata Rayyan lugas.
Aura berdecih. "Aku tidak butuh pertanggungjawaban darimu, anggap ini tidak pernah terjadi," pungkasnya.
"Lalu, bagaimana jika kamu hamil?"
Aura membeku, pemikirannya belum sampai kesana.
"Tidak akan hamil jika hanya melakukannya satu kali." Aura membuang muka, tak berani menatap netra Rayyan.
"Aku rasa nilai pelajaran biologimu pasti buruk," cibir Rayyan dengan senyum yang tertahan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chyntia R, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
28. Bertemu mertua
Sebenarnya Rayyan tidak tega meninggalkan Aura di Jerman tanpa pengawasannya langsung, meski disana ada yang menjaga Aura dan Rayyan juga mempekerjakan maid untuk membantu istrinya tapi tetap saja pria itu mengkhawatirkannya.
Terlepas dari Aura yang pernah mengalami depresi akibat pelecehan, Rayyan pun dituntut rasa tanggung jawab sebagai seorang suami untuk wanita itu.
Namun kenyataannya, Rayyan sudah pergi dan melewatkan waktu tiga hari tanpa Aura. Di waktu senggangnya yang tidak terlalu banyak, sering Rayyan mencoba menghubungi nomor sang istri, namun nyatanya Aura tidak pernah mau menerima panggilannya.
Meski demikian, Rayyan selalu memantau kondisi serta kesehatan Aura dari maid yang ia pekerjakan di Apartmen tersebut.
"Kapan kamu balik ke Jerman?"
Ditengah kesibukannya, Rayyan juga menyempatkan untuk mengunjungi kedua mertuanya dan disinilah ia berada sekarang, di sebuah hunian milik orangtua Aura.
"Mungkin besok atau lusa, Pa."
"Kenapa ragu begitu?" Papa Sky dapat membaca gelagat menantunya yang tampak gelisah.
"Karena pekerjaan saya disini seakan tidak ada habisnya. Padahal saya tidak bisa terus meninggalkan Aura disana."
Papa Sky mengangguk paham. Ia memahami kesibukan Rayyan dengan segudang aktivitasnya di Indonesia.
"Tapi, jika kamu begini terus, Papa rasa hubungan kamu dan Aura akan semakin menjauh."
Rayyan mengangguk, ia tak menyangkal ucapan mertuanya itu. Apalagi Aura menjaga jarak darinya. Perempuan itu seperti memberi batas, ada dinding yang terbentang diantara mereka meski itu tak dapat dilihat dengan mata te-lan-jang.
"Tapi saya akan berusaha membuat keluarga sebagai prioritas utama saya, Pa."
"Baguslah,. Papa harap kamu bisa membuktikan ucapan kamu hari ini dihadapan Papa, lagipula sebagai lelaki sejati omongan kita adalah jati diri kita yang menunjukkan kwalitas diri kita sendiri. Benar?"
"Ya, saya suka dengan kalimat itu."
Papa Sky terkekeh mendengarnya, namun ia benar-benar berharap ucapan Rayyan dapat dibuktikan dengan tindakan yang realistis.
"Bagaimana dengan Aura disana? Maksud Papa, apa sudah ada perubahan yang lebih baik dengan hubungan kalian?"
Rayyan menggeleng. "Belum ada perubahan yang signifikan. Aura masih dingin terhadap saya, Pa. Tapi saya tidak akan memaksakannya, saya memahami kenapa Aura masih selalu bersikap demikian."
"Semoga kamu selalu sabar, Rayyan!" Papa Sky menepuk-nepuk pundak menantunya, berharap Rayyan memiliki stok sabar yang tak terhingga untuk menghadapi Aura yang sulit dimengerti. Bukan Papa Sky tak tau, anak gadisnya itu hanya bisa terbuka pada keluarga, selain itu ia tak akan mau berbagi. Jika nanti Aura telah menganggap Rayyan sebagai bagian dari keluarga juga, pasti akan lain ceritanya.
"Sebenarnya, Papa ada sebuah rencana untuk melunakkan Aura."
"Rencana?" Kedua alis Rayyan tertaut sempurna, tentu ia bingung dengan pernyataan sang mertua.
Papa Sky mulai mengatakan rencana yang akan ia usung agar Aura sedikit ketergantungan pada Rayyan. Meski terdengar tega, tapi ini demi kebaikan rumah tangga mereka.
Rayyan setuju dengan usul yang direncanakan mertuanya, lagipula Aura memang sudah beralih menjadi tanggung jawabnya.
"Dengan begini, Aura akan menganggap kamu ada. Dia akan menghargai keberadaan kamu. Dia akan membutuhkan kamu nanti."
"Baik. Terima kasih atas saran dan rencananya, Pa."
Jujur saja, ide ini sebenarnya sudah terlintas dibenak Rayyan tapi ia sungkan bila harus mengatakannya pada Papa Sky. Ia takut pria itu tidak setuju sebab ini menyangkut putri satu-satunya yang tak lain adalah Aura. Namun rupanya pemikiran dua pria dewasa yang berbeda generasi itu sama dan sejalan. Maka dari itu, tidak sulit untuk merealisasikan rencana mereka terhadap Aura. Ini demi kebaikan rumah tangga mereka juga.
"Rayyan?"
"Iya, Ma?" Rayyan melihat pada Mama Yara yang datang dengan beberapa box yang tampak sudah dikemas rapi.
"Ini, Mama titip buat Aura, ya. Dia pasti seneng banget dibawakan ini."
"Boleh, Ma. Tapi kalau saya boleh tau, memangnya ini isinya apa, Ma?"
"Itu kue sus kering kesukaan Aura. Ada juga keripik kentang pedas buatan rumahan yang sering menjadi cemilan Aura dirumah. Mama juga buatkan rendang daging sapi, itu bisa awet dan tahan lama meski kamu pulangnya masih lusa."
"Wah, kalau itu saya juga suka, Ma," akui Rayyan berterus terang. Ia menyengir kuda. Untung saja ia tampan, jika tidak pasti mirip kuda beneran. *eh.
"Ya Mama bawakan cukup banyak, untuk kalian berdua bukan cuma buat Aura. Mama titip anak perempuan Mama ya, Ray. Jangan sakiti dia meski dia menyebalkan."
Rayyan dan Papa Sky terkekeh mendengar ujaran Mama Yara. Bagi mereka ucapan Mama Yara yang mengatai putri sendiri itu terdengar tega, tapi mau bagaimana lagi jika yang diucapkan Mama Yara benar adanya. Kadang Aura memang menyebalkan. Tidak, bukan kadang tapi selalu.
Meski kenyataan soal sikap jelek Aura itu sudah tak dapat tertepis lagi bahkan oleh kedua orangtuanya sendiri, tapi Rayyan juga memiliki hati yang keras untuk tetap memilih Aura berkali-kali.
"Saya pamit ya, Pa, Ma." Rayyan akhirnya undur diri dari hadapan kedua mertuanya. Ia menaiki mobil yang disopiri oleh Pak Dery.
Sebelumnya, Rayyan juga menyempatkan untuk menyapa dan menanyai kabar Bi Dima. Wanita paruh baya itu menatap Rayyan sungkan akibat kejadian dengan Jeno tempo hari tapi Rayyan memahami kondisi Bi Dima sehingga menganggap hal itu tidak pernah terjadi. Rayyan tidak lupa memberi Bi Dima uang saku, meski wanita itu menolak pemberiannya tapi Rayyan bersikukuh untuk memberinya.
"Kita kemana, Pak?" Pak Dery bertanya pada Rayyan yang sudah diam di jok belakang.
"Ke Hotel saja."
Akhirnya Rayyan lebih memilih kembali ke tempat tinggal sementaranya yang ada di Jakarta. Ia sudah cukup lelah beberapa hari belakangan ini dan ia akan kembali mencoba menghubungi Aura lagi. Mencari peruntungan tak ada salahnya, siapa tau Aura tergerak hatinya untuk mengangkat panggilan dari Rayyan.
Dan benar saja, ketika di Hotel, Rayyan mencoba menghubungi perempuan itu dan Aura menjawabnya. Rayyan ingin melonjak senang, namun ia harus menjaga sikap kendati ia sedang seorang diri dalam kamar hotel yang ditempatinya itu.
"Ah, akhirnya kamu angkat juga telepon aku, Ra." Rayyan melenguhh penuh kelegaan.
"...."
Aura bergeming disana, tak terdengar sahutan.
"Aku ubah jadi panggilan video, ya?" Rayyan bertanya sembari merealisasikan ucapannya. "Terima telepon videonya, Ra!" ucap Rayyan pada Aura yang tak mengalihkan panggilan suara itu menjadi panggilan yang diinginkan Rayyan.
"Ya udah, kalau gak mau videocall." Rayyan menghela nafas panjang, teleponnya dijawab Aura saja sudah harus bersyukur, jangan lagi menambahi keinginan untuk bersitatap satu sama lain meski itu hanya melalui sebuah panggilan video.
"Makasih ya udah angkat telepon aku. Aku cuma khawatir sama kamu. Kamu baik-baik aja, kan? Sehat-sehat, kan?"
Aura tak kembali menjawab, Rayyan pun kembali mengusap dada di posisinya. Meski demikian, entah kenapa Rayyan yakin jika perempuan itu mendengarkan ucapannya.
"Aku bakal pulang besok atau lusa. Belum pasti memang tapi aku memberitahukannya sama kamu supaya kamu mengetahui hal ini."
"Kenapa baru sekarang kamu mau memberitahu aku. Untuk apa? Gak guna!" ketus Aura dari seberang panggilan.
Meski Aura marah-marah dan mengomel, tapi Rayyan justru tersenyum senang mendengarnya. Akhirnya ia bisa mendengar lagi suara wanita tersebut.
"Kemarin-kemarin kamu mau pergi juga gak bilang aku. Kenapa mau pulang malah ngabarin!"
Aura kembali memprotes, mungkin inilah titik puncak rasa kesalnya pada Rayyan sehingga wanita itu mau melampiaskannya meski dari sebuah panggilan seluler saja.
"Aku tau aku salah, aku minta maaf ya. Kedepannya, aku bakal selalu bilang sama kamu apapun rencana yang bakal aku lakukan. Maaf kemarin tidak mengatakannya jauh-jauh hari karena kepulanganku ke Indonesia juga mendadak."
Terdengar dengkusan keras dari seberang sana. Tapi Rayyan tetap bersyukur itu artinya Aura mendengarkannya dan betul-betul menghargai setiap perkataan yang ia utarakan.
"Lain kali tolong angkat teleponku, ya. Atau kalau kamu mau mengatakan sesuatu boleh kamu yang telepon dan bilang sama aku," lirih Rayyan.
"Buat apa?" Aura kembali ketus.
"Biar aku tau kegiatan kamu dan tau kalau kamu baik-baik aja."
"Hmm ..."
"Bener, ya?"
"Hmmm ..."
Dijawab 'hmm' oleh Aura saja sudah membuat hati Rayyan ditumbuhi kembang setaman. Terima kasih, Tuhan, begitulah batin Rayyan bersorak.
...Bersambung ......
Komentarnya? Mana?
Vote? Kopi? Bunga?
Heheh, Othornya ngelunjak✌️😅