Menyukai seseorang itu bukan hal baru untuk Bagas, boleh dibilang ia adalah seorang playernya hati wanita dengan background yang mumpuni untuk menaklukan setiap lawan jenis dan bermain hati. Namun kenyataan lantas menamparnya, ia justru jatuh hati pada seorang keturunan ningrat yang penuh dengan aturan yang mengikat hidupnya. Hubungan itu tak bisa lebih pelik lagi ketika ia tau mereka terikat oleh status adik dan kakak.
Bagaimana nasib kisah cinta Bagas? apakah harus kandas atau justru ia yang memiliki jiwa pejuang akan terus mengejar Sasmita?
Spin off Bukan Citra Rasmi
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sinta amalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hipertenlove ~ Bab 11
Deru mesin mobil terdengar dari luar. Dan saat itulah Sasi tersenyum lebar, rumah terasa sepi setelah teh Asmi diboyong kang Alva untuk pindah, menempati rumah yang memang telah apih berikan, meski tak benar-benar memberikannya. Alva menolak pemberian apih meski sebenarnya semua anak apih Amar memiliki bagian warisan masing-masing.
Kang Alva lebih memilih mencicilnya pada apih. Entahlah! Kang Alva dan teh Asmi selalu berbicara masalah harga diri lelaki, yang bahkan Sasi tak mengerti seperti apa bentukannya. Padahal jika dirinya, senang-senang saja dapet warisan.
Sasi yang baru selesai mandi dan sempat magrib langsung menyerbu gawang pintu rumah demi menyambut cinta pertamanya itu. Biasanya kalau dulu, akan ada teteh yang berebut mendapatkan perhatian apih sepulang dari pabrik. Kini, perhatian apih, untuknya sendiri.
Dress batik rumahan selutut menampilkan kulit seputih susu dan semulus batu pualam milik Sasi, rambutnya bahkan masih basah, "apihhh!" geraknya lebih cepat dibandingkan sambutan amih yang baru saja keluar dari kamar lalu ke dapur.
Sasi segera meraih tas laptop dari tangan apih, seperti biasa. Kalau dulu, teh Asmi yang begitu dan ia kebagian langsung nemplok digendongan apih, mengingat berat badannya yang masih bisa dikatakan wajar untuk digendong sang ayah.
"Neng..." senyum apih selalu menentramkan jiwanya meski Sasi tau lelaki ini tengah dilanda rasa lelah luar biasa.
"Pih, nanti Sasi mau ngomongin masalah ekskul di sekolah, Sasi ditunjuk buat----" rasa excited yang menggebu-gebu harus terhenti sebab seseorang sudah ikut berbicara dari arah lain.
"Neng...itu apihmu baru pulang, biar duduk dulu..." ujar amih. Layanan wanita yang telah memberikannya 4 orang anak ini memang tak diragukan lagi, ia datang dengan secangkir kopi yang menguarkan aroma harum robusta dan menyerahkannya pada sang lelaki.
"Iya ini juga mau duduk...." sanggahnya manyun. Wajah lelah apih yang di usia senjanya masih harus mengerjakan beban dan tanggung jawab perkebunan serta pabrik itu lantas terobati mana kala melihat orang terkasih, terutama istri dan anak yang hanya tinggal menyisakan Sasi saja.
"Tadi, jadinya pulang naek apa? Atau dijemput siapa?" tanya apih basa-basi, meskipun sebenarnya ia sudah tau. Jujur saja, hal itu sempat membuatnya kepikiran saat Sasi mengatakan jika anak bungsunya itu tak memiliki uang untuk ongkos, ia sampai meminta mang Dedi untuk menjemput Sasi saja dan membiarkannya untuk pulang menggunakan ojol.
Namun saat ia menelfon Asmi demi meminta tolong, nyatanya Asmi bilang, Bagas bersedia menjemput Sasi dan ia membatalkan titahnya. Pemuda itu, ahh! Apih terlalu banyak merepotkannya atas Sasi.
"Dijemput terus dianter a Bagas...lagi.." jawab Sasi menaruh tas laptop apih dan duduk seenaknya di sofa tamu. Belum sempat ia dan amih bicara di ruang baca seperti yang diminta amihnya tadi.
"Neng Sasi datang hampir di waktu magrib, kang..." desisnya melirik sang bungsu sinis dan sekilas, sembari ia yang membuka satu kancing atas kemeja batik yang dipakai suaminya dan memijit pundak serta tengkuk dari arah belakang, moment itu seringkali membuat Sasi keki nan geli, namun memang seperti itulah treatment yang dilakukan amih untuk memanjakan apih. Bahkan jauh sebelum ia mengerti apa itu melayani pasangan. Dan ia serta Asmi terkadang sering kegelian bersama mana kala amih bersikap mesra begitu, jijik!
Lantas alis apih mengernyit setelah berhasil menyeruput beberapa teguk kopi hangat dan menyesap aromanya rakus sebagai penenang jiwa yang lelah, bersama sentuhan sang istri yang melenakan.
Sumpah! Ingin sekali Sasi garuk-garuk ginjal melihat itu. Tapi kembali, ritual ini memang terbiasa dilakukan amih untuk apih, bahkan sudah diikuti Nawang pada Bajra dan Katresna pada Candra, namun Asmi? Entahlah....Sasi belum pernah melihatnya begitu pada Alva.
"Kenapa telat, ada kegiatan di sekolah dulu apa gimana?" tatapan apih lebih lembut, dan memang akan selalu lembut terhadap anak-anaknya terkhusus Rashmi dan Sasmita.
"Sasi ta----"
"Neng Sasi ngelayap dulu sama Bagas, kang..." potong amih cepat-cepat.
"Ngga tau waktu." Kembali desisnya menggerutu. Sasi menghela nafasnya berat. Bolehkah ia membekap mulut ibunya barang sebentar, yang menyela saja padahal ia belum berbicara?
"Tadi a Bagas jemput juga agak sore, soalnya dia lagi di kampus...dari universitas pendidikan butuh waktu nyampe ke sekolah Sasi. Abis itu hujan, jadi neduh dulu sekalian jajan di Dipatiukur, jajan seblak..." jelasnya men-skip bagian studio musik. Jangan sampai ia menceritakan pula, karena sudah dipastikan alasan itu akan semakin memberatkan dosanya di depan amih. Akan menjadi senjata untuk amih, si eksekutor.
Apih mengangguk percaya. Selama ini ia selalu menanamkan kepercayaan pada anak-anaknya, agar kelak mereka takut dan merasa bersalah jikalau harus melanggar.
"Nanti biar apih cek mobil sama Ujang. Buat besok pake mobil amih aja dulu, biar amih sama apih...mang Dedi bisa bolak-balik..." solusi apih yang digelengi Sasi, tentu ia tak mau membuat mang Dedi kerepotan di usia tuanya jika harus bolak balik antar jemput apih dan amih.
"Ngga usah. Biar Sasi naik ojol aja atau nanti minta tolong a Bagas lagi," balasnya enteng.
Namun pernyataan itu tak serta merta membuat apih dan amih setuju, "jangan ngerepotin Bagas terus, neng...udah sering kamu repotin, Bagas. Takutnya besok-besok kan Bagas juga sibuk."
Amih mengangguk cepat atas jawaban apih. Ia menghentikan pijatannya saat apih menyentuh punggung tangannya tanda jika sudah cukup rasa pegalnya sudah sedikit hilang. Dan itu artinya, ia berangsur untuk duduk di samping apih, hingga tua dan ajal menjemput nanti.
"Akang sudah ngomong sama neng Sasi?" tanya amih pada suaminya yang praktis membuat Sasi menatap kedua orangtuanya bergantian dengan sorot penasaran, "ngomong apa?"
"Belum. Nanti saja, setelah akang mandi dan makan..." ia lantas beranjak dari duduknya di susul amih, "akang mau mandi pakai air hangat? Biar saya siapkan?" keduanya berlalu melengos ke arah kamar.
Sementara Sasi, sudah menerka-nerka dalam hati, kira-kira apa yang akan disampaikan oleh apih dan amih.
Sasi kembali ke kamar, karena tadi ia begitu excited menyambut apih, ia sampai lupa jika tadi sedang memakai minyak urang-aring di rambutnya, maka yang akan ia lakukan selanjutnya adalah meneruskan kegiatan yang tertunda.
***
Sasi masih duduk di depan cermin rias kamar, seraya bersenandung mengikuti musik pop yang sedang trending dari pemutar musik yang ia dengarkan lewat headset.
Namun tanpa aba-aba atau permisi, amih membuka pintu kamarnya dan masuk.
Cukup dibuat terkejut dengan kedatangan sang ibu, Sasi sampai menoleh dengan bibir merengut, "ih...amih ngga ketok dulu kalo mau masuk."
"Udah ketok, tapi telinga neng Sasi disumpel ini..." cabutnya di sebelah headset yang ada di telinga kanan Sasi. Ia bahkan mengambil alih rambut Sasi yang tengah gadis itu olesi masker dan minyak rambut dari arah belakang.
Bahkan tak perlu repot-repot, amih dan Sasi saling pandang melalui cermin rias sebesar diri Sasi di depan, "kenapa? Amih tuh mau ngomong apa?"
"Mungkin nanti apih bakal ngomong sama neng Sasi. Tapi amih tau, untuk hal ini neng pasti kurang setuju." sisirnya dengan jari jemari dimana surai hitam Sasi yang legam nan lebat melewati celah-celah jemari lentik amih.
"Apa?" tanya Sasi membiarkan amih melakukan itu--menyisir rambutnya---
"Acara seren taun, taun ini...apih disuruh pulang ke Kuningan. Lebih tepatnya kita sekeluarga, ada undangan ke Paseban dari Bupati, sekalian pulang ke kasepuhan. Dan untuk acara ini, dari pihak event terkhusus sesepuh dan bupati, maunya ada perwakilan yang ikut ngisi acara dari keluarga turunan...." jelas amih lagi, kembali meraup masker beraroma mawar dan madu untuk rambut Sasi yang terasa dingin di kulit kepalanya.
Amih tak sungkan memutar, memelintir dan memijit rambut serta kulit kepala sang putri bungsu, memberikan rasa rileks untuk Sasi, meskipun itu terasa tak ada efeknya, sebab berbicara dengan amih sudah pasti akan merasa terintimidasi dan tegang dalam sekali waktu.
"Sebenarnya, raden rara Kemala pun sudah disiapkan untuk ngisi acara di Paseban. Tapi masa iya, Kertawidjaja sama sekali ngga kirim...mau ditaruh dimana harga diri apih, neng....jangan sampai tersisih sama keluarga uwa kamu..." ujarnya kini alis amih semakin menukikan alisnya bukti jika titah dan ancamannya sudah turun, ia tak mau kalah pamor... perintah untuk menyelamatkan harga diri keluarga, seolah itu sedang berada di ujung tanduk jika ia tak segera muncul.
"Kamu harus mau dan sanggup, neng. Ngga mungkin amih sama apih mau minta teteh kamu, Asmi sedang bulannya."
Tatapan Sasi nyalang ke arah amih, bersamaan dengan selesainya amih berucap, selesai pula rambutnya terolesi masker rambut.
"Jadi, nanti kalau apih nanya neng Sasi sanggup apa engga. Amih mau neng Sasi mengiyakan. Tolong amih sama apih, neng...jangan bikin apih ngga punya muka waktu pulang, jangan bikin raden nini sama aki lebih memperhatikan keluarga uwa..." pintanya.
Amih sudah tau pasti Sasi akan menolak apalagi jika di depan apih yang notabenenya selalu memaklumi Sasi, bagi amih...apih terlalu memanjakan Sasi.
Sasi tak mengatakan sepatah kata pun, dan amih sudah memutar badan Sasi agar melihat ke arahnya dan mereka bisa saling pandang secara langsung.
Tangan amih terulur kembali mengusap rambut lepek bermasker Sasi dari pucuk kepala hingga setengah panjangnya lalu memberikan sentuhan kecupan di kening lembut Sasi, "biar mulai besok amih panggil lagi nyai Iceu buat ngajarin neng Sasi lagi, biar ngga kaku...amih juga ikut nemenin nanti, buat ngawasin."
Sasi benar-benar menelan salivanya sulit, pasalnya ia sudah memiliki segudang rencana kedepan termasuk mengikuti kejuaraan pencak silat membawa nama sekolahnya.
"Kalo Sasi latihannya ditemenin teh Asmi aja gimana, mih?" tanya Sasi ragu, setidaknya jika dengan Asmi ia bisa ijin-ijin tipis buat latihan pencak silat.
Tentu saja amih menggeleng sembari tertawa sumbang, "teteh kamu lagi hamil, udah masuk bulannya neng, masa iya kamu malah minta diajarin orang hamil..."
Benar! Tapi jujur saja, Sasi TAK MAU!!!!
Tolongin Sasi, teh....
.
.
.
.