sekian tahun Tasya mencintai suaminya, selalu menerima apa adanya, tanpa ada seorang anak. bertahun-tahun hidup dengan suaminya menerima kekurangan Tasya tapi apa yang dia lihat penghianatan dari suami yang di percaya selama ini..
apakah Tasya sanggup untuk menjalankan rumah tangga ini...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon neng_yanrie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 28
[Asalamualaikum.] Akhirnya dengan ragu ia mengirimkan sebuah pesan. Jantungnya berdegup lebih kencang ketika centang dua terlihat di sana, was was ia menunggu balasan, tapi apakah mungkin Radit akan membalasnya. Tapi bila mengingat dulu, Radit selalu orang yang lebih dulu memberikannya pesan.
Tangisan Evan membuyarkan pikirannya, ia segera menyimpan kembali ponsel itu dan menghampiri sang anak yang ternyata jatuh dan bibirnya berdarah.
*****
.
.
.
.
"Kamu itu orang baik, berhati lembut. Jadi tidak perlu membiarkan hati kamu jatuh pada mereka yang hanya memiliki setengah hati. Berbahagialah dengan melepaskan sesuatu yang memang seharusnya di buang," upaya Radit seraya menyendokan nasi, lengkap dengan lauk yang di bawakan Mbok Sumi.
"Aku masih belum mengerti dengan segala yang terjadi, semuanya segitu tiba-tiba, Dit." jawab Tasya menerima suapan itu. Sejak melakukan pemulihan di rumah sakit tadi malam, Tasya memang belum mengisi perutnya sedikit pun.
"Pelan-pelan, kamu akan menguasai situasi, kamu juga akan mengerti, bila tempat terbaik untuk pulang dan bersandar itu ya diri kamu sendiri," balas Radit.
"Juga kamu...," jawab Tasya seraya menyungging sedikit senyum. Radit membalas senyumannya, ia sedikit salah tingkah dan kembali menyendokan makanan untuk Tasya.
Ya... Lelah selama ini memang seperti sedang menimpuk Tasya tanpa habis. Mungkin ia butuh waktu sejenak menepi, sambil bertanya apa yang pikirannya mau.
Mungkin benar, pada dasarnya bahagia dan rasa sedih itu datangnya beriringan. Cukup mencintai sewajarnya, percaya sewajarnya, hingga harusnya sakit pun sewajarnya. Rasa berlebihan yang Tasya rasakan kemarin sama sekali tidak memberikan hal baik untuknya.
Lagi... Gemercik hujan kembali datang di tengah kemarau beberapa hari ini. Mungkin membiarkan sejuk turut serta dalam hati Tasya yang semakin patah. Titik-titik air di jendela memberikan indah pada temaram lampu di luar kamar ini.
Radit masih suka memandang wajah Tasya yang khas. Dari orang di hadapannya ini ia belajar mengiklaskannya dan mencintai dengan tabah, ia juga banyak belajar dan lambat laun menjadi paham, bila segala sesuatu yang di mau belum tentu di aaminkan oleh semesta.
Pernah suatu hari ia begitu terluka di penghujung amin ketika memaksa menghapus nama Tasya dari doa-doanya.
"Kenapa melihat ku begitu? Aku cantik?" tanya Tasya sedikit menggoda.
"Kalau itu sudah dari dulu," balas Radit tertawa kecil.
"Tapi aku semakin tua dan mulai berkeriput, sudah tiga puluh satu tahun,"
"Tidak apa-apa, wajah mu tetap sama,"
Tasya tersenyum sambil menundukkan wajah. Ia tersipu malu.
Keberadaan Radit hari ini dan di waktu-waktu terberatnya seperti sedang mengembalikan dirinya dari titik nadir. Ia selalu mengajarkan untuk tetap percaya pada sebuah harapan dan tidak ada yang sia-sia, tidak ada yang perlu di sesali juga atas luka yang sudah terlanjur terbentuk, karena nyatanya Tuhan sedang membuatnya belajar lewat luka.
Melihat matanya yang teduh seolah signal alam, kehidupan mungkin sedang berjalan tanpa waktu, tanpa detik, juga tanpa jeda.
Setelah mengobrol hal lain sampai Tasya kembali terlelap, Radit duduk di sebuah sofa dan mengecek ponselnya, beberapa pesan masuk menyapanya, serta nomor asing.
[ Waalaikumsalam, maaf dengan siapa?]
Pesan langsung terkirim tapi tidak di baca oleh si penerima, ia tidak terlalu memperdulikan dan menutup kembali ponselnya. Kemudian sejenak tertidur karena merasakan matanya begitu lelah.
Dalam lelap antara sadar atau tidak, Clarisa hadir dalam mimpinya. Mengenakan gaun putih cantik kesukaannya. Wajahnya berseri seraya menggandeng seorang putri cantik dan tersenyum ke arahnya. Jarak mereka sangat dekat, tapi setiap kali Radit hendak merengkuh, mereka menjauh tidak teraih. Sebuah lambaian tangan seolah menjadi selamat tinggal yang menyakitkan.
"Nanti kita jumpa lagi ayah," ucap gadis kecil itu di iringi dengan senyum Clarisa juga melambaikan tangan." Lambat laun mereka menghilang. Mengisakan air mata yang berderai di mata Radit.
Seketika, ia terbangun dan merasakan basah di pipinya. Mimpi barusan seperti nyata.
Tidak berapa lama Mbok Sumi mendekat, ia baru saja selesai shalat.
"Tuan Radit pulang saja dulu, istirahat."
"Iya, Mbok. Nanti saya ke sini lagi, kalau ada apa-apa kabarin saja."
"Iya, Tuan."
Tanpa menunggu Tasya terbangun, Radit pun berlalu.
Waktu menunjukan pukul lima sore ketika Tasya terbangun dan mendapati Mbok Sumi sedang duduk di sampingnya sedang berzikir.
"Mbok istirahat, pasti lelah."
"Gak apa-apa. Non Tasya harus segera pulih, banyakin istirahat."
Tasya mengangguk dan berusaha beranjak dari tidurnya.
"Mbok...," panggil Tasya.
"Iya?"
"Mbok tahu apa yang orang tuaku lakukan pada keluarganya Devan?"
Mbok Sumi terdiam dan sedikit kaget mendengar pertanyaan Tasya.
.
.
.
.
.
"Apakah Non Tasya tahu sesuatu," batin mbok Sumi.
kakak-kakak yang cantik dan ganteng, minta vote dan hadiah, dan like nya. biar semangat update nya...