NovelToon NovelToon
Istri Yang Tak Di Anggap

Istri Yang Tak Di Anggap

Status: sedang berlangsung
Genre:Cerai / Penyesalan Suami
Popularitas:7.3k
Nilai: 5
Nama Author: laras noviyanti

Candra seorang istri yang penurunan tapi selama menjalani pernikahannya dengan Arman.

Tak sekali pun Arman menganggap nya ada, Bahkan Candra mengetahui jika Arman tak pernah mencintainya.

Lalu untuk apa Arman menikahinya ..

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon laras noviyanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Ch 25

Arman berdiri di depan cermin, menggenggam kemeja putihnya. Bayangan Lia berkeliaran dalam pikirannya, senyumnya yang lembut menghangatkan hati.

"Segera saja semuanya selesai," bisiknya pada diri sendiri, berusaha menguatkan.

Telepon bergetar, membuyarkan lamunannya. Pesan dari Lia muncul di layar.

“Malam ini kita rayakan. Semangat, ya!”

Arman tersenyum, serasa mendapatkan angin segar.

"Tentu saja. Ini langkah baru untuk kita," ucapnya pelan sambil membayangkan masa depan di samping Lia.

Kakinya melangkah cepat ke ruang tamu, di mana sahabatnya, Tono, duduk bersandar di sofa.

"Semua sudah siap?" Tono bertanya, alisnya terangkat.

"Ya. Aku tinggal menunggu kepastian dari Lia.”

"Jangan sampai ada yang mengganggu, bro. Ini saatnya untuk melangkah maju."

Arman mengangguk, masanya bersama Candra rasanya sudah tertinggal.

"Tapi ada satu hal yang mengganjal di pikiranku," Tono melanjutkan, mengandalkan pandangan tajamnya.

" Apa itu?"

"Kau yakin ini yang kau inginkan? Pernikahan baru? Dalam hati, jangan-jangan masih ada rasa untuknya?"

Arman menggeleng, jari-jarinya menggetarkan kemeja yang dipegangnya.

“Candra sudah pergi. Sekarang, langkahku bersama Lia.”

Dia melangkah menuju pintu. “Aku takkan menoleh lagi.” Tono berkata, "Apa ini tidak terlalu cepat kau bru beberapa hari saja mengenal Lia."

Arman berhenti sejenak, memandangi Tono dengan tatapan tajam.

"Setiap hubungan dimulai dari nol, Tono. Yang penting adalah perasaan sekarang."

Tono mendengus, tidak sepenuhnya yakin. "Jangan sampai kau terjebak pada bayang-bayang masa lalu."

Arman melangkah ke dapur, menyiramkan kopi ke dalam cangkir yang sudah disiapkan. Aroma pahitnya menyebar, membuatnya merasa lebih segar.

“Bisa jadi Lia adalah cara untuk mengakhiriku dari bayang-bayang Candra,” katanya, memandangi Tono yang masih menatapnya ragu.

Tono mengangguk, wajahnya mulai melunak. “Aku berharap begitu. Cintamu dengan Lia harus tulus, jangan hanya untuk melupakan dan jika nanti sikap Lia berubah jangan pernah meyesal karna kau terlalu terburu buru.” Arman mengangkat gelas kopi, meneguk dengan perlahan. Suara Tono seolah menggema di benaknya, tetapi keinginan untuk bergerak maju lebih kuat.

Sepertinya, Arman bisa merasakan sinar harapan.

"Apakah kamu sudah memberitahukan ibu tentang pernikahan ini?" Tono bertanya, menyandarkan punggungnya.

“Belum,” Arman mengakui, mengalihkan pandangannya ke jendela. “Aku ingin memastikan semuanya stabil sebelum memberi tahu mereka.”

“Apa kau sudah gila, bagaimana jika ibu tak merestui" Arman mengernyit, mengatur napasnya sebelum menjawab.

"Aku harus menghadapi itu. Jika Lia dan aku cocok, restu pasti akan menyusul," tegas Arman, menatap keluar jendela, membayangkan hari-hari yang akan datang bersama Lia.

"Tapi, bro, kau harus ingat," Tono bersuara lagi, "Percintaan bukan hanya tentang perasaan saat ini. Kau perlu menyiapkan dirimu, mungkin akan ada kesulitan yang tak terduga."

Arman meneguk kopinya, rasa pahitnya membangkitkan ketegasan dalam dirinya.

"Jangan bersikap seolah aku tidak memikirkannya," jawabnya sambil menyiapkan gelas kosong di tangan. "Aku paham. Cinta butuh usaha, butuh waktu."

“Kalau begitu,” Tono menjuntai, berusaha mencairkan suasana. "Kapan kau akan mengenalkan Lia pada keluarga besarmu" Arman mengerutkan dahi, matanya menyipit mencoba membayangkan momen itu.

“Belum ada rencana,” jawabnya, suaranya serak. “Aku ingin menunggu waktu yang tepat. Ada banyak hal yang perlu kami lalui bersama terlebih dahulu."

Tono mengangguk, tetap tidak puas. “Jangan sampai terlalu lama, Arman. Ibu akan bertanya-tanya. Kau tahu, ia bisa khawatir jika terlalu lama tidak mendengar kabar.”

Arman menepuk meja, berusaha menyusun pikirannya. “Aku tahu itu, dan aku tidak ingin membuatnya lebih cemas. Tapi kita juga perlu mempersiapkan diri. Lebih baik jika kita tetap fokus pada hubungan ini terlebih dahulu."

Tono mengagguk berusaha menerima semua yang di inginkan oleh sahabatnya itu, meski ia merasa keputusan yang di ambil oleh Arman terlalu terburu buru da Tono pun memutuskan untuk pamit pulang pada Arman.

Hari itu, senja datang dengan warna jingga yang menggantung rendah di langit. Suara kereta api yang melintas menggema di telinga Arman, menyemarakkan suasana di luar.

Dari luar, suara riuh klakson dan langkah kaki orang berlalu lalang semakin menambah semarak. Arman menatap keluar, menyimak lalu lintas yang padat dan kehidupan yang tak pernah berhenti. Kontras dengan keheningan di dalam rumah.

Arman tersenyum sendiri, merasakan harapan berputik dalam hati. Tak lama, suara denting bel pintu menginterupsi ruang hampa. Tono beranjak berdiri.

“Itu pasti Lia,” ucapnya membuka pintu dengan cepat. Arman berusaha menahan napas, harapan dan kegugupan mengalir dalam dirinya. Saat pintu terbuka, Lia berdiri di sana, mengenakan gaun simpel berwarna biru.

"Arman!" suara Lia ceria, senyumnya menyemburatkan sinar di malam yang mulai gelap.

Arman mendekat, merasakan detak jantungnya berpacu lebih cepat. "Kau tiba lebih cepat dari yang aku kira," Arman tersenyum, menggoda sambil mengulurkan tangannya mengundang Lia masuk.

“Sekali lagi, maaf jika aku mengganggu waktu santaimu," Lia merespons sambil menginjakkan kaki di dalam rumah. “Tapi aku sangat ingin bertemu denganmu!” Lia membelai wajah Arman.

Arman merasakan getaran hangat saat jemari Lia menyentuh kulit wajahnya.

“Keberadaanmu selalu membuatku merasa tenang,” ucapnya, menghampiri Lia dengan langkah mantap.

Lia tersenyum, mata indahnya berbinar. “Aku senang mendengarnya,” katanya, lalu mengerutkan dahi. “Tetapi ...aku melihat kau tampak cemas. Ada yang mengganggumu?”

Arman menggelengkan kepala, berusaha menyembunyikan kegugupannya. “Sedikit. Tapi aku tidak ingin membiarkan sedikit rasa itu merusak momen kita,” tegasnya, beralih mengalihkan perhatian.

“Baguslah kalau begitu.” Lia melanjutkan, "Karena aku sudah merencanakan sesuatu spesial untuk kita malam ini."

Arman mengangkat alis, penasaran. "Spesial? Apa itu?"

Lia menggigit bibir bawahnya, matanya berkilau penuh rahasia. “Aku sudah menyiapkan makan malam romantis untuk kita berdua di rooftop.”

“Rooftop? Kamu gila!” ujar Lia “Tidak, aku serius!” Lia tertawa, matanya bersinar dengan semangat. “Kita bisa melihat kota dari atas. Ini akan menjadi malam yang tak terlupakan.”

Arman terdiam , membayangkan momen indah yang akan datang. "Kau memang tahu caranya membuat seseorang bersemangat," katanya, senyumnya tak terhindarkan.

Lia menjawab dengan cukup percaya diri. “Terima kasih! Aku hanya ingin kita berbagi momen, menjadikan malam ini istimewa.”

“Boleh juga.” Arman merasa gelisah, namun wajah Lia membuatnya merasa segar. Tangan mereka bertaut saat Lia menariknya menuju pintu yang akan mengarah ke rooftop.

"Mari kita pergi," ajak Lia, suaranya penuh semangat. Arman mengikuti langkahnya, merasakan derap jantung membawa semangat baru saat mereka naik tangga. Seiring mereka mendaki, gelak tawa dan obrolan ringan menghiasi suasana.

Ketika sampai di rooftop, angin malam menyapa lembut wajah mereka, menghadirkan aroma semilir yang menyegarkan. Kota berpendar di bawah sinar lampu, layaknya bintang di permukaan laut.

Arman menghela napas, melepaskan semua ketegangan saat menikmati pemandangan. “Wow,” Lia takjub dengan pemandangan yang di lihat dari atas Rooftop Arman.

“Aku tahu kau akan terpesona,” Arman menjawab, tersenyum sambil memperhatikan Lia yang berkeliling, matanya menerawang seolah mengagumi keajaiban dunia.

Arman melingkarkan lengannya di pinggang Lia dari belakang dan dagunya dia sandarkan di bahu Lia.

"Lihat, semuanya bersinar," bisiknya, menatap kerlip lampu kota yang berkelip-kelip, menciptakan suasana magis di antara mereka.

“Indah sekali” Lia berkata, suaranya lembut.

Arman tersenyum "Mari kita makan malam bersama setelah itu kita habiskan malam ini dengan pergulatan di atas ranjang" bisik Arman.

Lia berbalik, matanya melebar dengan kejutan, namun senyumnya tidak pudar. "Ah, jadi kau sudah siap untuk lebih dari sekadar makan malam?" tantangnya, Arman mendekat, matanya menyala dengan percaya diri. “Hanya jika kamu juga siap, Lia. Aku ingin kita menikmati malam ini sepenuhnya.”

Lia tertawa kecil, “Jangan khawatir, aku sangat siap.” Dia menggoda, menjulurkan lengan untuk menciptakan jarak antara mereka.

Arman merasakan napasnya tertahan. “… …jadi apa yang selanjutnya?” tanyanya, berusaha menjaga nada pikirannya tetap ringan meskipun jantungnya berdebar kencang.

Lia memandangnya dengan tatapan lincah, seolah menikmati permainan di depan mata. “Kita sudah memiliki pemandangan menakjubkan ini,” katanya, memutar tubuhnya sambil mengatur rambutnya yang tertiup angin.

“Sekarang, mari kita mengisi tenang lalu buat kenangan lainnya,” Lia menambahkan, mengangkat tangan menandakan siap untuk memulai malam.

Arman mengangguk, mereka melakukan makan malam berdua dengan tenang dan kadang mereka tertawa karna obrolan yang mereka berdua bicarakan.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

1
murni l.toruan
Rumah tangga itu saling komunikasi dua arah, agar tidak ada kesalah pahaman. Kalau hanya nyaman berdiam diri, itu mah patung bergerak alias robot
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!