Rain, gadis paling gila yang pernah ada di dunia. Sulit membayangkan, bagaimana bisa ia mencintai hantu. Rain sadar, hal itu sangat aneh bahkan sangat gila. Namun, Rain tidak dapat menyangkal perasaannya.
Namun, ternyata ada sesuatu yang Rain lupakan. Sesuatu yang membuatnya harus melihat Ghio.
Lalu, apa fakta yang Rain lupakan? Dan, apakah perasaannya dapat dibenarkan? bisa kah Rain hidup bersama dengannya seperti hidup manusia pada umumnya?
Rain hanya bisa berharap.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon H_L, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jantung Rain tak aman
Hari ini berjalan begitu lambat. Padahal, waktu terbit dan terbenamnya matahari itu sama. Rain tidak diam hari ini. Sebaliknya dia melakukan hal-hal yang biasa dan tak biasa. Waktu seolah-olah memberinya ruang. Lambat.
Namun, Rain senang. Hari ini, sesuatu yang mengejutkannya serasa bagai penyemangat.
Menemukan informasi, Melihat Ghio senang, dan Rain menemukan sesuatu yang membuat jantungnya berdetak cepat dan kuat, tapi menyenangkan. Rain tidak tahu itu apa. Yang pasti, ia suka itu.
"Rain."
Rain yang sibuk melamun sejak tadi, menoleh cepat ke arah Asyama. Asya berdiri di tengah pintu yang terbuka.
"Hm?"
"Besok kamu bisa belanja?"
Rain berpikir sebentar. Apakah ia sibuk atau tidak. Tapi, Rain pikir ia tidak terlalu sibuk.
"Bisa aja. Kakak emang mau kemana?"
"Gak kemana-mana. Tapi, kamu tahu kakak masih pulang malam. Gak mungkin juga aku belanja habis pulang." kata Asya sambil bersandar di pintu.
Rain mengangguk. "Ya udah. Duit?" Tangannya menengadah.
Alis Asya naik. "Uang kamu kan ada."
Rain menatap malas. Lantas ia mengecek saldo dana di ponselnya. "Ini mah duit hasil penjualan lukisan gue. Sisa duit belanja tinggal dikit lagi. Duit kakak aja lah."
"Mau duit hasil lukisan kamu atau apa kek, sama aja, tetap duit." Asya memutar bola matanya.
"Oh... No! Ini buat keperluan kuliah gue." Tolak Rain mentah-mentah.
Asya berdecak kesal. "Pelit banget sih kamu. Padahal yang paling banyak makan itu kamu," katanya sambil melipat tangan di atas perut.
"Lha? Kok, aku?" tanya Rain tak terima. "Perasaan aku makannya dikit."
"Buktinya kulkas kosong. Padahal, belum Sampai satu Minggu kita belanja. Siapa lagi yang habisin kalau bukan kamu? Kucing? Kucing apa yang bisa buka kulkas?" Omel Asya. "Hantu?"
Rain membatu. Astaga. Gue lupa kalau ada Ghio.
Pantas saja belanjaan habis secepat itu. Rain lupa kalau ada makhluk yang masih ia nafkahi.
Rain menyengir kuda. "Iya-iya. Aku yang habisin." Katanya berbohong. "Besok aku belanja. Tenang aja, uangnya pake uang aku, kok," kata Rain. Namun, ada nada tak rela di dalamnya.
"Tapi..." Rain menyengir kembali. "Minta tambahan dong, kak. Kakak gak kasihan lihat adik kakak menderita kehabisan duit," Katanya. Rain memasang wajah memelas, dan mengedipkan mata se-imut mungkin.
Mata Asya berkedut. Sialnya, adiknya tidak cocok dengan ekspresi seperti itu. Tapi, Asya juga tidak bisa menolak.
Ia berdecak. "Besok aku transfer," katanya lalu keluar dari kamar dengan malas.
Rain tertawa kecil. Sangat mudah merayu kakaknya itu. Mau bagaimana lagi, Asya memiliki hati yang lembut.
"Makasih, kak. I love you!" teriak Rain dari dalam kamar. Lantas ia tertawa.
"Rain!"
"Astaganaga!" Rain tersentak dan terhuyung ke belakang. Ia terkejut bukan main. Saking kagetnya, hampir saja kepala Rain membentur lantai. Untung respon tubuhnya bagus, sehingga yang jatuh lebih dulu bukan kepala.
Kenapa dia tiba-tiba muncul?
Dan, apa ini? Dia hanya menampilkan wajah polos. Tidak kah ia melihat Rain yang terjungkal ke belakang? Tidak adakah niat membantu?
"Ghio!" Rain menggeram kesal.
Masih dengan tatapan polosnya, Ghio berkedip. "Apa? Kenapa kamu jatuh seperti itu?"
Mata Rain melebar. Apa katanya? Ia masih bertanya kenapa? Tidak kah ia sadar Rain jatuh karena ulahnya? Matanya ditaruh dimana?
"Kenapa kamu melihat ku seperti itu?" tanya Ghio polos.
Rain berdiri dengan kesal. Lantas ia berlari ke arah Ghio dan mencubit telinga pria itu.
"AAGH! Telinga ku!" teriak Ghio kesakitan.
Rain melepaskan tangannya. Ia menggigit bibir merasa bersalah. "Auhh... Sakit, ya? Aduh, maaf-maaf." kata Rain sambil mengelus telinga Ghio.
Melihat tatapan Ghio, bibir Rain mengerucut. "Aku minta maaf. Lagian, itu salahmu."
Ghio menatap tidak terima. "Salahku apa? Apa yang ku lakukan?"
"Kamu muncul tiba-tiba dan bikin aku kaget sampai jatuh ke lantai. Sakit badan aku. Untung bukan kepala nih yang jatuh." kata Rain dengan wajah cemberut.
Ghio diam sambil mengelus telinganya. "Benarkah? Aku membuatmu terkejut?" tanyanya polos.
Rain memutar bola matanya, lalu duduk di kasur. "Gak lihat aku sampai jatuh?"
Ghio ikut duduk. "Aku minta maaf. Tapi, biasanya aku memang muncul seperti itu. Kamu saja yang terlalu lebay."
Mata Rain melotot. "Apa? Lebay kamu bilang?" teriak Rain tak terima. Ia seolah siap menerkam Ghio.
Ghio menyengir kuda. Ia sedikit takut melihat raut marah Rain. "Aku bercanda. Kamu gak lebay, kok. Aku minta maaf. Hehe..."
Ceklekk!
Pintu terbuka, menampilkan Asya dengan tatapan bertanya.
Rain mengubah posisinya dengan cepat.
"Kenapa teriak-teriak gak jelas, Rain? Suara kamu kedengeran sampai ke dapur." katanya.
Rain menormalkan raut kagetnya. Lantas, ia memaksakan sebuah senyum. "Ahh... Gak ada, kak. Aku kaget aja baca chatnya Mina."
"Apa, sih? gak jelas kamu. Gitu aja sampai teriak." Omel Asya, lalu langsung pergi dari sana.
Rain mengelus dadanya. Kali ini, ia selamat lagi. Rain lantas melirik sosok di sampingnya.
"Dia selalu mengomeli mu," kata Ghio.
Dahi Rain berkerut. Ia menatap pintu yang masih terbuka. Lantas ia segera mengacir dan menutup pintu itu rapat-rapat.
Rain kembali dan menatap Ghio dengan tatapan lurus. "Kapan kamu melihat Asya ngomel?"
"Tadi."
Jawaban singkat itu. Ah, Rain kesal dibuatnya. Ia tahu Asya baru saja mengomel.
"Cuma tadi, kan? Kenapa kamu bilang selalu?"
"Setiap aku datang, saat ada kakakmu, pasti dia mengomel." kata Ghio. Lalu ia merebahkan dirinya di kasur Rain.
Rain mengingat-ingat. Tak lama kemudian, raut wajahnya datar.
"Gimana gak ngomel?" gumamnya. Setiap kali Rain bersama Ghio dan saat itu juga Asya masih berada di sekitarnya, Rain pasti kena omelan. Tentu saja kena omelan. Asya berpikir Rain bicara sendiri.
"Ah... Ternyata disini sangat nyaman. Bantalnya lembut, kasurmu sangat empuk."
Mata Rain berkedut melihat Ghio memeluk bantal dengan senyum lebar.
"Disini sangat nyaman. Aku mau tidur disini, Rain." kata Ghio sambil memejamkan matanya.
"Jangan aneh-aneh. Terus, aku mau tidur dimana? Memangnya kamu mau tidur berdua dengan kak Asya?" tanya Rain.
Ghio membuka matanya. Ia menatap Rain sebentar, lalu memejamkan matanya kembali. "Tidak mau. Tapi, kalau bersama kamu, aku mau."
Mata Rain melotot tiba-tiba. Apa katanya tadi?
"Mimpi! Dari mana kamu belajar menggoda seperti itu?"
Ghio kembali membuka matanya. "Menggoda? Aku bicara serius," katanya, lalu kembali memejamkan mata.
Jantung Rain tiba-tiba berdetak cepat. Pipinya terasa panas. Rain bisa melihat wajah serius Ghio. Tidak nampak kebohongan dari ucapannya.
Astaga! Rungan tiba-tiba saja terasa panas. Rain tak sadar, wajahnya sudah merah seperti kepiting rebus.
Lama-lama, Rain tidak tahan dengan situasi ini.
"Ghio! Pergi sana! Aku mau tidur."
Ghio tidak bergerak.
Rain mengguncang kaki Ghio. "Ghio!" katanya pelan, takut Asya dengar.
Ghio bergerak mengambil posisi nyaman. Ia nampak mengendus. "Sebentar saja, Rain. Aku suka di sini. Bantal ini sangat harum. Pewangi apa yang kau buat di sini?"
Rain menatap bantalnya. "Harum? Aku tidak pakai pewangi." kata Rain dengan alis terangkat.
"Benarkah? Tapi ini sangat harum."
"Seharum itu?" tanya Rain tak yakin. Ia tidak memakai pewangi apa pun di bantalnya.
Ghio mengangguk. Lalu duduk. Ia mengambil bantal Rain dan memberikannya kepada Rain. "Coba cium."
Rain menurut. Mengendus bau bantal itu, dan seketika matanya melebar.
Melihat itu, Ghio tersenyum. "Bagaimana? Harum, kan?"
Mata Rain berkedip. Memang harum. Harumnya seperti bau shamponya. Dan Rain yakin itu memang bau shamponya.
"Ghio."
"Hm?"
"Kurasa, lebih baik kamu pergi sekarang." kata Rain.
Dahi Ghio berkerut. "Kamu kenapa melihatku seperti itu? Kamu marah?" tanya Ghio.
Rain menggeleng cepat. "Bukan... Ah... " Ia menggigit bibir. "Begini. Apa kamu mau menemaniku berbelanja besok?"
"Belanja?" senyum Ghio langsung mekar. "Aku mau."
Rain memaksakan senyumnya. "Baiklah. Besok kita akan menyita banyak tenaga. Jadi, lebih baik kamu istirahat sekarang. Tapi, bukan disini. Karena aku juga mau istirahat."
Ghio mengangguk senang. "Oke. Kalau begitu aku akan pergi. Selamat malam, Rain."
"Selamat malam."
Sekejap mata kemudian, Ghio langsung menghilang dari pandangan Rain.
Saat itu juga, Rain trantum sendiri. Badannya berguling-guling di kasur. Ia menahan teriakan.
Sejak tadi, jantung Rain tidak aman.
"Gila! Gue gila!" kata Rain tertahankan.
Rain tiba-tiba duduk tegak. Ia memegangi dadanya.
"Tenang, Rain! Tenang!"
Ia menarik napas dalam-dalam, lalu mengeluarkannya perlahan. Berkali-kali ia melakukannya. Hingga akhirnya Rain merasa tenang.
Setelah tenang, Rain kemudian menatap bantalnya. Ia kembali ingat bagaimana Ghio mencium aroma bantalnya.
"Ah... Ghio sialan."
Rain lemas seketika. Lalu, ia menjatuhkan dirinya di atas kasur.
"Kayaknya, gue gak sakit jantung, deh. CK! Bisa-bisanya si Ghio."