Kehidupan gadis yang bernama Renata Nicholas tak jauh dari penderitaan, wajahnya yang pas-pasan serta penampilannya yang kurang menarik membuat semua orang terus merendahkannya.
Setelah orang tuanya meninggal, Renata tinggal bersama sang bibi dan sepupunya. Namun, mereka selalu tak adil padanya dan mengucilkannya. Tak pernah mendapatkan kebahagiaan membuat Renata jenuh dan memutuskan pergi dari rumah.
Disaat itu ia bertemu dengan laki-laki yang bernama Derya Hanim, seseorang yang pernah ia kagumi, akan tetapi itu bukan akhir dari segalanya, ternyata Derya hanya memanfaatkan keluguannya sebagai pelukis yang hebat.
Setelah tahu tujuan Derya, Renata kembali bangkit dan pergi dari pria itu, dan akhirnya Renata bertemu dengan Bagas Ankara, dia adalah bos Renata, pria yang diyakini bisa membantu mengubah hidupnya, baik dari segi karir maupun wajahnya. Bagas yang ingin membalas mantannya pun mengakui Renata sebagai pacarnya.
Akankah cinta tumbuh diantara mereka?
Ataukah Bagas kembali memanfaatkan Renata seperti yang dilakukan Hanim?
Siapa sosok Bagas dan Derya, pria yang sama-sama hadir dalam hidup Renata?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nadziroh, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Panggilan Mas
Rasa khawatir, cemas, gelisah, semua membaur mengiringi langkah Bagas menuju kamar Renata.
Ketukan pintu terdengar, Bu Nurmala yang ada di dalam segera membukanya.
"Bagaimana keadaan Renata, Tan?" Bagas menatap tubuh yang ada di balik selimut.
"Kamu lihat sendiri. Dia tidak mau dipanggilkan dokter," ucap Bu Nurmala pelan.
Bagas mendekati ranjang, menatap wajah dengan mata terpejam dan menempelkan punggung tangannya di kening gadis itu.
Panas sekali.
Bagas menyibak selimut dari tubuh Renata, wajahnya pucat dan bibir membiru membuat Bagas semakin khawatir.
"Re…. Bangun, ini aku." Bagas mengucap dengan suara pelan, mengelus pipi dengan lembut. Merapikan beberapa anak rambut yang menutupi sebagian lehernya.
"Ibu, ayah," rancau Renata dengan mata terpejam.
Tanpa sadar, Renata meraih tangan Bagas yang terus membelai pipinya lalu memeluknya erat, "Jangan tinggalkan aku, aku sayang kalian," imbuhnya lagi.
Mata bu Nurmala berkaca, ini pertama kali ia melihat Renata sakit, dan itu membuatnya takut.
"Apa tante sudah panggil dokter?" tanya Bagas tanpa menoleh, matanya masih fokus pada wajah Renata.
"Dia tidak mau dipanggilkan dokter, kalau itu terjadi, katanya mau pergi dari rumah ini."
Bu Nurmala ikut meringsek duduk di samping Bagas.
"Biar aku yang bujuk dia."
Bagas merengkuh tubuh Renata dengan satu tangannya, mendekatkan bibirnya ke telinga gadis itu.
"Re, buka mata kamu," bisiknya.
Perlahan Renata melakukan apa yang diperintah Bagas dan menatap sekelilingnya. Matanya berhenti pada sosok wanita yang sudah menganggapnya sebagai seorang anak.
"Ibu," seru Renata dengan suara serak. Melepaskan tangan Bagas beralih memeluk Bu Nurmala. Mereka saling berpelukan bak ibu dan anak yang lama tidak berjumpa.
Bu Nurmala mengelus rambut panjang Renata, menyalurkan kasih sayang penuh atas kehadirannya yang memberikan warna tersendiri di hari tuanya.
"Sekarang kamu ke rumah sakit."
Renata melepas pelukannya dan menatap Bu Nurmala.
"Tidak usah, Bu. Aku hanya butuh istirahat."
"Harus ke rumah sakit, kalau tidak mau biar aku panggil dokter," sahut Bagas yang masih mematung di samping ranjang.
Renata membalikkan badan, dari tadi ia tak menyadari ada pria gagah itu di kamarnya.
"Pak Bagas, ngapain di sini? Bukankah tadi sudah pulang?"
"Aku balik lagi." Bagas terlihat sewot.
Renata menunduk, ia merasa bersalah karena sudah merepotkan pria itu.
"Sekarang kita ke rumah sakit, sekalian jalan-jalan," ajak Bagas mengulurkan tangannya ke arah Renata.
Salah satu jalan untuk lebih dekat dan mengetahui isi hati seorang Renata, Bagas rela seharian penuh tidak bertemu sang mama yang dari tadi menelponnya.
Akhirnya Renata mengangguk kecil daripada terus dipaksa.
Di dalam mobil yang berjalan sedang, Renata terus menyandarkan kepalanya untuk mengurai rasa sakit di kepala yang hampir meledak.
"Kapan mulai sakit?" tanya Bagas mengakhiri keheningan.
"Tadi setelah bapak pulang," jawab Renata kembali memejamkan mata.
"Re," panggil Bagas.
Renata menoleh, menatap Bagas yang sibuk menembus kegelapan malam.
"Mulai sekarang jangan panggil aku bapak."
"Lalu?" tanya Renata bingung.
"Panggil yang lainnya, yang enak didengar gitu lho," pinta Bagas basa-basi.
Terdengar helaan napas panjang dari Renata.
Mobil berhenti sempurna di parkiran rumahsakit.
"Apa, aku nggak tahu?" Renata pura-pura bodoh, ia ingin panggilan yang disematkan itu langsung dari Bagas sendiri.
Bagas membantu Renata melepas seat belt nya, wajah keduanya saling berdekatan hingga saling merasakan hembusan napas lawan.
Napas Renata memburu saat Bagas semakin mendekatkan bibirnya, kedua tangannya saling mencengkeram erat dan matanya mulai terpejam.
Hampir sekian detik, Renata merasakan benda kenyal menempel kilat di bibirnya. Sesuatu yang belum pernah ia rasakan, dan rasa yang aneh membuat sekujur tubuhnya bergetar hebat.
"Buka mata!" bisik Bagas dengan suara berat.
Renata menghembuskan napas halus lalu membuka mata. Ia menatap ke arah luar, menyembunyikan wajah nya yang merah merona.
Apa tadi pak Bagas mencium ku?
"Mulai sekarang panggil aku, Mas," tegas Bagas membuka pintu mobil.
Tak ada jawaban, Renata masih mengatur napasnya. Mengusap peluh yang membasahi wajahnya, gerogi. Ya, Renata sangat gerogi dengan aksi Bagas yang tak pernah terbesit dalam otaknya, bahkan ia tak menyangka Bagas akan berani berbuat itu padanya.
"Ayo keluar!" ajak Bagas meraih tangan Renata.
Keduanya berjalan bersejajar dan saling bergandengan tangan. Bagaikan pasangan kekasih, mereka nampak mesra dan membuat iri pada semua mata yang memandang.
Seperti permintaan Bu Nurmala, Bagas segera menuju ke ruangan Dokter Nova. Salah satu dokter keluarganya yang tadi sudah dihubungi.
"Kamu Ingat nggak, tadi aku suruh panggil apa?" goda Bagas setelah tiba di lorong rumah sakit.
"Tidak, memangnya apa?" jawab Renata malu-malu.
"Panggil aku, Mas. Coba sekarang lakukan," pinta Bagas menghentikan langkah. Sehingga suster yang ada di belakang hampir menabrak punggungnya.
"Bapak," jawab Renata melawak.
"Aku tidak akan berjalan kalau kamu masih memanggilku dengan sebutan itu," tukas Bagas.
"Aku jalan sendiri," jawab Renata tak mau kalah.
Bagas semakin menggenggam erat jemari lentik Renata membuat sang empu meringis.
"Sakit," keluh Renata manja.
"Cepat, katakan!"
"Mas," ucap Renata lirih. Wajahnya kembali memerah saat berapa orang yang melintas menatapnya.
"Aku nggak dengar, dan semua orang di sini juga nggak denger." Bagas menunjukkan beberapa orang yang sedang duduk di depan ruangan.
Menepuk bahu lebar Bagas dengan satu tangannya, pria itu benar-benar membuat Renata malu dan tak bisa berkutik.
"Iya, Mas."
Bagas tertawa dan langsung melanjutkan langkahnya sesuai dengan apa yang ia katakan.
"Puas?" teriak Renata.
Bagas mengangguk cepat dan melambaikan tangannya ke arah Dokter Nova yang sudah menunggunya.
...----------------...
"Banyak banget obatnya, apa kamu bisa minum semua ini?" tanya Bagas membaca satu persatu resep yang diterima dari dokter Nova.
Usai diperiksa, Bagas melajukan mobilnya ke apotik terdekat. Meskipun bukan penyakit berbahaya, Bagas tetap saja khawatir dengan keadaan Renata yang masih lemah.
"Aku bukan anak kecil, pasti bisa."
Bagas terkekeh, lagi-lagi ia menyaring kalimat yang meluncur dari bibir Renata.
"Iya, kamu sudah dewasa, mau menikah pula, memangnya ada anak kecil menikah?"
"Mas, kenapa ngomongin itu lagi sih." Renata terlihat lebih manja dari biasanya. Entah kenapa, Bagas semakin suka dengan sikap Renata yang kekanak-kanakan.
"Kamu ikut keluar apa nunggu di sini?" tanya Bagas sembari mematikan mesinnya.
"Ikut," jawab Renata yang membuka pintu mobil lebih dulu.
Baru beberapa langkah, ada seorang wanita yang berjalan buru-buru menabrak Renata hingga membuat sang empu terhuyung. Beruntung, Bagas langsung menangkap punggung Renata dan mendekapnya.
"Mbak, lain kali hati-hati dong!" seru Bagas setengah berteriak. Ia kesal saat Renata nampak kaget.
"Ma…. Maaf," ucap wanita itu bergetar sambil berjongkok memungut tasnya yang jatuh.
Seperti suara kak Karin?
Renata menatap wanita yang kini memunggunginya.
"Kak Karin," panggil Renata.